"Lo bilang tadi dari apartemen Fandy? Terus Mamanya ada di sana. Artinya lo udah dapat restu camer?" Arjun men-shoot bola di tangannya sambil berceloteh. Saka tak menjawab dan memilih mengambil si bata merah. Dia ketinggalan satu tembakan dari Arjun. Saka berlari men-dribble bola sambil menghindari usaha Arjun yang hendak merebut si bata merah.
"Gimana rasanya pacaran sama Fandy?" Cowok itu bertanya lagi tepat ketika mereka saling berhadapan dalam usaha mempertahankan dan merebut bola. Arjun memasang badan mencoba memblok lemparan jarak jauh Saka dan sukses.
"Menyenangkanlah. Kayak lo nggak pacaran aja. Manfaat punya pacar kan, sekarang kalau gue sedih ada yang menghibur .."
"Emangnya selama ini lo sedih sendiri? Apa hiburan yang selama ini gue kasih nggak guna? " Arjun berusaha merampas bolanya yang baru saja dia dapat, tapi segera terebut Saka. Keduluan jumping Saka. Gadis itu menggelantung di ring basket saat si bata merah bahkan sudah meluncur jatuh ke lantai.
"Yah nghibur sih, tapikan gue cuma sampingan, yang kedokteran kan yang utama ... Gue tau diri kok."
"Siapa bilang?"
"Gue," ucap Saka dingin. Mata mereka bertemu. Saat itu tepat ketika Saka hendak melompat turun, tangan Arjun malah mendekapnya. Memaksa lengan Saka berguling di leher cowok itu agar tidak terjatuh karena kaget. Saka ingat dulu sekali, ketika mereka masih kecil Arjun selalu membantunya meraih ring basket, juga membantunya turun dari sana. Cowok itu selalu punya seribu satu cara agar bisa memenuhi keinginannya bodohnya untuk bergelantungan di ring basket dan membantunya turun agar tidak cedera. Saat itu mereka masih sangat kecil dan ring basket itu nampak sangat tinggi.
Saka menatap wajah tampan Arjun lekat-lekat. Se-so sweet inilah dulu Arjun selalu memperlakukannya. Satu jam saja dia ingin kedekatan ini tak berlalu sia-sia.
"Hmmm ... Maaf, Mbak Saka dan Mas Arjun." Suara itu menyentakkan Saka dan Arjun. Seorang satpam perumahan berdiri bersama seorang wanita cantik nan anggun dengan dua anak kecil, yang seorang laki-laki dan seorang lainnya anak perempuannya. Mata ketiganya menatap Saka dan Arjun dengan intens membuat Arjun buru-buru menurunkan tubuh Saka.
"Pak Hady?"
"Maaf, Mas. Saya bawa ibu ini. Beliau jauh-jauh dari Amerika mau mencari keluarganya, katanya tinggalnya di sini." Arjuna dan Saka beralih menatap wanita cantik bak model itu. Wanita itu melempar senyum pada mereka.
"Ohh, maaf ... Saya tidak bermaksud mengganggu kesenangan kalian, tapi saya tidak mengenal tempat ini. Bisakah kamu memberi tahu saya dimana keluarga Satria tinggal?" Saka dan Arjun berpandangan.
"Satria?" Saka berceletuk. Ada tiga orang di perumahan ini yang bernama Satria. "Pekerjaannya apa?"
"Namanya Satria Wissesa, pekerjaannya pengacara sementara isterinya seorang dokter bedah."
"Ohhh, itu Papanya Arjun," Saka berseru sambil merangkul pundak Arjun yang menatap wanita itu lekat-lekat.
"Kamu Arjuna? Kamu ingat Tante?" Arjun diam. "Mungkin kamu lupa, ya? Kita memang sudah lama sekali tidak bertemu. Pertama dan terakhir saat pernikahan Tante dan Om kamu di Amerika. Kamu udah sebesar ini ya sekarang."
"Is he our cousin?" Anak laki-laki yang berdiri di sisi wanita itu menarik baju di wanita itu pelan. Menatap wajah sang putra, wanita itu kemudian mengangguk.
"Yeah, he is your cousin." Wanita itu tersenyum lebar pada si anak laki-laki. "Dia anak uncle Satria yang datang ke hotel kita beberapa waktu lalu dan kita juga berjumpa dengannya di mall. Your remember?"
Anak itu mengangguk. "He's big, Mommy," gadis kecil yang sedari tadi diam itu. "Mom said we could play with him, but he was too old to play hide-and-seek with us." Wanita itu tertawa sambil membelai ubun-ubun kepala di putri.
"Dia mungkin lebih besar dari kalian, tapi kalian tetap bisa bermain petak umpet bersamanya."
"Kalian mau bermain petak umpet? Aku pandai memainkan permainan itu. Arjun tidak akan bisa menemukanku jika aku berniat bersembunyi darinya. Kalian mau bermain?" Saka berseru girang, tapi si gadis kecil malah bersembunyi di balik punggung mamanya. Saka mengulurkan tangannya. "Namaku Saka. Saka Putri. Kalian bisa memanggilku Saka atau kakak?" Gadis kecil itu tidak menjabatnya. "Baiklah kalau kalian tidak mau main petak umpet. Kita bisa main basket, aku juga pintar ..."
"You can't even jump down from the basketball hoop." Celetukan anak laki-laki itu membuat Arjun tergelak kecil. Saka menatapnya. Lalu berbisik:
"Anak laki-laki yang sombong. Benar-benar keturunan Wisesa." Arjun terkekeh. Saka menatap ke tiga tamu Arjun dan menemukan senyum di wajah wanita cantik bak model papan atas itu. "Ohhh ... iya, nama Tante siapa?" Saka menyapa wanita cantik itu sekali lagi.
"Saya Verro Daniarta dan ini si cantik Charlote dan Saint Michael." Saka menjabat tangan wanita itu dan begitu juga Arjun.
"Ya, sudah kalau begitu saya balik ke pos, ya, Mas." Pak Hady segera meluncur meninggalkan depan rumah Arjuna.
"Ajak dong Tante Verro, Charlote dan Saint masuk," Saka menepuk pundak Arjun yang masih melongo bisu. "Masuk, Tan ... Nggak apa kan kalau aku panggil Tante soalnya Mama Arjun juga aku panggil Tante. Tante Kamila tepatnya."
"Kalau gitu panggil Tante: Tante Verro." Saka mengangguk mempersilahkan semua masuk ke dalam rumah Arjun, yang terakhir Saka lah yang memasuki rumah itu sambil mendorong punggung Arjun untuk mengikuti ketiga tamu jauh itu.
"Silahkan duduk. Anggap rumah sendiri, tapi ingat jangan memberantaki dan mengotori rumah, Tante Kamila tidak suka rumahnya diberantaki dan dikotori." Saka berkata saat Saint meraih pigura yang tersusun dengan unik di bufet. Bocah laki-laki itu menatapnya tajam, Saka balas memplototi anak itu.
"Saint, sit down and watch your attitude." Tante Verro memperingati sang putra. Saka tersenyum kecil. Puas membalas anak laki-laki itu. Setekah mempersilahkan ketiga tamu duduk, Saka meminta Arjun membuatkan minuman buat tamunya.
"Oke, buatkan minuman buat mereka. Aku balik ke rumah. Gerah. Mau mandi. Bye."
"Eits." Arjun yang tengah berada di dapur bersama Saka segera menangkap lengan gadis itu. "Maksudnya ini .. lo mau ninggalin gue disini sendirian?"