"Kau dimana, Arjun? Biarkan aku menemanimu."
"Aku hanya butuh sendiri."
"Kalau begitu beritahu aku kau dimana agar aku tenang."
"Tidak. Kau pasti akan kemari. Aku hanya butuh sendiri saat ini, Saka."
"Arjun ..."
"Aku bilang aku butuh sendiri, Saka."
"Oke. Oke. Jangan ditutup. Kau boleh sendiri. Tapi tolong jangan melakukan hal aneh yang akan merugikan dirimu sendiri. Apa pun yang terjadi aku mau kau tahu bagiku Arjuna Wisesa adalah laki-laki terbaik dan terhebat, tidak peduli masa lalunya, dia selalu menjadi sahabat terbaikku. Tidak perduli siapa pun mama atau papanya, bagiku dia sudah sempurna hanya sebagai Arjuna ku. Arjun, jangan mati, ya." Arjuna terkekeh geli.
"Semua orang memang akan mati, Saka ..."
"Maksudmu ..? Kau akan bunuh diri ...?!" Saka memekik panik.
"Siapa yang bilang aku bakal mati sekarang? Umurku masih akan panjang dan aku akan menyusahkanmu dalam waktu yang lama." Tawa Saka terdengar renyah diantara tarikan ingus di hidungnya. Arjun jelas tahu Saka menangis saat ini. Dia selalu menjadi penyebab tangis gadis itu.
"Ya, kau harus menyusahkanku selama mungkin sampai aku menyerah." Tawa Arjun terdengar pelan. "Aku benaran, tapi kau harus tahu aku tidak akan pernah menyerah untukmu." Saka menghapus air mata di pipinya. Senyum lebar penuh kelegaan terkuak di ujung bibirnya diantara kekehan tawa Arjuna. "Aku akan menunggumu. Kalau sudah lega, segera pulang. Jangan pulang hingga pagi. Janji?"
"Mmm. Tapi tidak perlu menungguku. Tidurlah."
Kini sebentar lagi matahari subuh akan muncul, tapi Arjun belum juga kelihatan. Saka menguap kembali entah untuk yang keberapa puluh kalinya. Udara pagi yang dingin membuatnya menekuk kaki dan menggulung diri sedari tadi di atas kursi teras. Saka bahkan tak tahu kapan dia akhirnya jatuh tertidur karena rasa kantuk yang hebat ini.
Arjun muncul beberapa menit sebelum matahari subuh muncul diantara tembok-tembok gedung pencakar langit. Saat itu jam 04:30 wibb. Dia baru saja masuk ke dalam pekarangan rumah dan seketika berhenti saat menatap sosok yang meringkuk di kursi teras rumah. Sudah nyaris subuh dan Saka menunggunya dengan keras kepala. Padahal dia sudah meminta Saka untuk tidak menunggunya dan tidur saja.
Arjun berjongkok menatap wajah Saka lekat-lekat. Dalam tidur pun Saka terlihat sangat cantik. Bohong jika dia pernah mengatakan Saka tidak cantik. Saka selalu cantik di matanya. Arjun menyempatkan menggunakan moment itu untuk memandangi sosok itu. Menyimpan gambaran diri sahabatnya itu di dalam benaknya. Rambut hitam Saka yang lebat kini terlihat makin memanjang. Dia jelas kurang perhatian dan sibuk pada hidupnya sendiri sampai tak menyadari hal ini. Hidung Saka tidak mancung, biasa saja tapi terlihat sempurna di wajahnya. Bibirnya juga tak tipis, namun tampak seksi dengan warna merah - semerah buah strawberry. Namun wajahnya berbentuk oval sempurna.
Perlahan Arjun menggerakkan jemarinya dengan ragu di permukaan kulit wajah Saka. Dari puncak hidungnya lalu menjalar ke ceruk mata Saka. Bergerak diantara alis hitam sahabatnya itu, turun ke pipi yang nampak halus bak kulit bayi. Arjun tak tahu perasaan apa yang kini merasuki dirinya: ada rasa mendebarkan yang bergolak di rongga dadanya. Mendidih membakar. Namun membuatnya bahagia. Apa yang akan dia jawab jika Saka terbangun dan melihat apa yang sedang dia lakukan?
Jemari Arjun berhenti di permukaan lembut bibir Saka yang merah alami dan menghantarkannya pada pertanyaan terlarang yang pernah ditanyakan Saka padanya beberapa waktu lalu saat mereka menonton film yang salah:
'Arjun, apa kamu udah pernah ciuman?'
Dan dia ingat jawaban apa yang dia katakan:
'I don't wanna cross the line, Saka.'
Dia tidak akan melupakan semua itu.
Jemari Arjun yang tengah menelusuri wajah Saka berhenti seketika. Menarik tangannya, Arjun menghela nafas dalam-dalam. Papa dan mamanya adalah contoh persahabatan yang berubah jadi luka dan dia tidak ingin hal itu terjadi antara dia dan Saka. Dia tidak akan pernah membuat Saka mengalami hal menyedihkan itu.
Tetap pada posisinya dan menjaga batas yang ada - adalah jalan terbaik buat mereka. Arjun beralih meraih lengan Saka dan meletakkan lengan itu di pundaknya sebelum dia menggendong tubuh Saka untuk memasuki rumah.
Saka tidak akan pernah tahu bagaimana dia berada pada dilema setelah menjawab pertanyaan itu. Tapi kini dia bahagia karena mereka masih menjadi sahabat. Kehilangan Saka sebagai sahabat mungkin adalah salah satu hal yang paling menyakitkan dalam hidupnya.
Arjun masih berada pada pikirannya ketika Saka menggeliat dalam gendongannya dan mengeratkan pelukannya. Lengan Saka mengalung posesif di lehernya dan wajah mereka nyaris bersentuhan. Arjun bisa merasakan hembusan nafas Saka menampar permukaan wajahnya dan entah mengapa degup jantungnya berdetak lebih kencang. Untuk beberapa waktu yang cukup lama manik mata Arjun kembali terpaku pada lengkung kembar di wajah manis itu. Kedekatan ini nggak baik buat pikirannya, Arjun membatin. Namun seketika membeku saat merasakan sesuatu yang lembut dan hangat menempel di sebelah kanan batang lehernya, bibir Saka menempel pada lehernya.
Ada degup yang makin kencang bergemuruh di dada Arjun yang dia yakini bahkan akan terdengar jika seseorang berdiri di sisinya. Kedekatan ini benar-benar nggak baik.
"Saka. Saka." Panggilan Arjun tak juga membuat Saka terbangun. Dia tidur begitu lelap hingga Arjun tak mungkin meminta gadis itu untuk memindahkan wajahnya dari ceruk lehernya yang membuat Arjuna merasakan sensasi menggeletik.
Menguatkan diri Arjun memperbaiki posisi tubuh Saka yang nyaris dia buat melorot dari gendongannya karena kejutan singkat Saka baru saja padanya. Dia membawa tubuh Saka menaiki anak tangga menuju ke kamarnya.
Perlahan sekali Arjun meletakkan tubuh Saka di atas tempat tidur dan menyelimuti tubuh gadis itu. Hanya ada mereka berdua di kamar ini. Saint dan Charlotte jelas telah kembali ke kamar papa dan mama mereka. Sejenak dia bersujud di sisi pembaringan. Merapikan riak rambut Saka yang sedikit berantakan.