Nina melangkah pelan di belakang tubuh Devano walaupun tangan cowok itu tetap tak melepaskan tautan jemari mereka. "Kenapa sih lo harus jalan terus di belakang gue?" Devano menggerutu setelah menghentikan langkahnya hingga Nina bahkan menubruk tubuhnya. Gadis itu menunduk takut-takut padanya sejak semua pengunjung resto memandanginya.
"Kakak nggak malu jalan sama aku?" Suara pelan Nina terdengar. "Aku mau balik aja, Kak. Nanti beli bukunya di pasar loak aja bareng Pak De."
"Nggak. Bareng gue."
"Ya, udah, tapi langsung ke toko buku aja, ya, Kak. Jangan kemana-mana lagi, ya." Nina menatap Devano sebentar sebelum menurunkan pandangan matanya menekuri garis-garis ubin marmer mall.
"Lo malu karena orang-orang di resto mandangin lo? Lo bisa cuek aja. Nggak usah mikirin mereka. Lo makan nggak minta uang merekakan?" Devano coba menebak apa yang ada di benak cewek itu.
"Tapi ..."
"Nggak usah pakai tapi-tapi. Ayok." Devano menarik lagi tangan Nina, tapi gadis itu menolak.
"Kak Devan janji dulu kita langsung ke toko buku."
"Iya. Iya. Ayok." Devano kembali menarik tangan Nina. Mereka melangkah mengelilingi lantai lima mall sampai kemudian Devano mengajak Nina memasuki sebuah toko pakaian.
"Mau ngapain, Kak?"
"Beli pakaian lah. Masak beli ikan." Devano berujar asal.
"Tapi, tadi kakak janji kita bakal ke toko buku," Nina merengek bagai bocah kecil saat sang kakak tak menepati janji.
"Selesai dari sini. Gue ada acara. Butuh pakaian."
"Pakaian di lemari Kakak semua bagus-bagus." Nina tahu itu karena Nina sempat melihat seluruh isi lemari Devano bahkan bukan hanya melihat, dia sempat membenahi isi lemari cowok itu.
"Nggak matching sama acaranya. Lo bantuin gue milihnya."
"Nina nggak paham selera orang kaya Kak."
"Kalau bagus waktu gue pakai lo bilang oke, kalau enggak lo bilang skip aja. Bisakan?" Nina manggut-manggut. Nina memilih empat dari beberapa pakaian yang dipakai Devano walaupun semuanya jelas terasa sempurna buat Devano. Ketika Devano membayar belanjaan itu, Nina menyempatkan diri memandangi satu dua pakaian wanita di tempat itu. Gaun-gaun indah dan halus itu memang mengundang decak kagum. Namun harganya membuat Nina buru-buru menurunkan tangan dari gaun-gaun itu. Harganya nyaris membuat Nina pingsan di tempat. Dia tak habis pikir: kok ada ya, orang yang mau membeli sebuah pakaian dengan harga jutaaan bahkan ada yang nyaris sepuluh juta saat masih hidup di negeri ini. Dimana disana sini kemiskinan jadi pemandangan umum. Di lampu merah aja banyak pengemis dan pengamen. Berita-berita di televisi juga menanyangkan kemelaratan di pelosok negeri. Ada nenek-nenek yang hidup sendirian di rumah repot dan makan atas bantuan tentangganya yang juga miskin, anak-anak sekolah yang bertarung nyawa melewati seutas tali untuk menyeberangi sungai, anak-anak Papua yang bahkan tak berpakaian dan tak punya uang untuk membeli beras dan masih tinggal dalam gubuk dengan bahan ijuk dan daun nipah. Kesenjangan sosial memang jauh amat di negara ini. Nina menghela nafas.
"Mas-nya udah beli, Mbak mau beli yang mana? Mau dicoba?" pegawai toko menyapa Nina yang segera menolak dan buru-buru beranjak pergi. Devano yang tengah menerima telpon dari Arimbi menatap itu diam-diam dari tempatnya berdiri sebelum akhirnya menutup ponselnya.
"Saya beli ini," Devano meraih sebuah lingerie merah maroon dan segera memberikannya pada pegawai toko pakaian. "satu lagi gaun hijau tosca yang tadi dipegang teman saya." Si pegawai toko pakaian ternama bergerak cepat meraih gaun yang tadi dipegang Nina. "Dibungkus saja."
"Buat kado, Mas?"
Devano mengangguk. "Dibungkus terpisah."
***
"Gue kaget Alder ngasih izin kita jalan berdua hari ini," Vano berujar saat dia dan Iren menaiki kora-kora di Dunia Fantasi. "Kamu apain kakak kamu?"
"Aku kasih pelajaran lah sekali-kali. Nangis se-bombastis mungkin. Enak aja ngatur mulu kayak aku bocah TK yang pipis sendiri belum bisa." Vano tertawa kecil mendengar ucapan kekasihnya itu. Tangannya menyugar lembut rambut Iren. Lalu jemarinya kembali menaut pada jemari sang kekasih.
"Setelah ini naik histeria gimana?"
"Nggak. Aku mau senang-senang bukan mau cari tantangan. Nggak perlu naik histeria, hubungan kita aja udah penuh tantangan tau." Tawa Vano tersibak lebar karena ucapan Iren. "Tapi, Sayang ..."
"Mmmm?"