"Kakak masuk dulu?" Devano menurut, kakinya melangkah memasuki rumah kediaman Nina yang walaupun kecil sebenarnya nyaman, terlepas kenyataan bahwa di ruang belakang antara dapur dan ruang makan, ada bertumpuk minuman ringan dan mie instan dalam dus-dus untuk stok jualan di kampus.
Devano menghempaskan diri di sofa depan. "Langsung bawa buku lo, Nin. Kita kupas soal bentar sebelum gue balik."
"Tapi katanya Kakak mau ada acara. Nina belajar sendiri aja hari ini, kalau Kakak nggak bisa nggak apa kok, Kak."
"Bentaran bisa kok. Lo punya soal yang perlu lo tanya sama gue nggak? Yang lo nggak paham?" Nina mengangguk. Meletakkan plastik berisi beberapa buku yang dibelikan Devano buatnya lalu bergegas menuju ke kamarnya. Ada beberapa soal matematika dan kimia yang dia tak tahu. Dia harus ambil IPC kalau mau masuk Fakultas Ekonomi dan artinya dia juga harus benar dalam soal-soal kimia dan fisika, biologi sih mudah buat Nina.
Sebentar saja Nina telah duduk disisi Devano dan menunjukkan soal yang kurang dia pahami yang dia dapat dari mengkopi beberapa bank soal bimbingan tes dari teman-temannya. "O, ini begini." Devano segera meraih selembar kertas HVS kosong dan mulai mengajari Nina pada relavitas koevalen. "Jadi ini jawabannya yang ini. Bukan yang kamu pilih. Udah ngerti?" Nina mengangguk. "Kalau gitu Kakak buatin soal, kamu kerjain." Nina mengangguk. Saat Devano disibukkan pembuatan soal, Nina memilih menatap wajah itu sepuasnya. Devano bukan tak tahu itu. Dia jelas tahu apa yang dilakukan gadis itu. "Kamu kenapa sih nggak bosan memandangi wajah saya terus? Saya ganteng ya?"
"Nggak kok." Nina buru-buru mengalihkan pandangannya. Devano tetap disibukkan urusan membuat soal.
"Saya nggak ganteng maksud kamu?"
"Ganteng," Nina menjawab cepat lalu merasa malu sendiri saat tawa Devano terdengar. Cowok itu mengangkat wajahnya menatap Nina yang kemudian memilih turun dari sofa dan duduk di karpet saja sambil menekuk kaki.
"Nggak dibilangin juga saya tahu saya ganteng." Cowok itu menjawab narsis. Namun malah makin memerahkan wajah Nina. Devano melirik gadis itu. Dia telah menyelesaikan soal buatannya. Lima soal sepertinya cukup. "Nin, kamu menggemaskan tau ... makin menggemaskan kalau lagi mandangin saya. Jadi jangan mandangin saya kayak gitu lagi atau kamu bakal saya cium."
"Apa?" Mata Nina membelalak kaget. Namun cowok itu bahkan nampak biasa saja tanpa dosa. Kebiasaan Kak Devano suka menggoda tanpa peduli perasaan orang lain karenanya, Nina berbisik dalam hati.
"Ini." Devano menjulurkan kertas yang telah berisi soal-soal buatannya. "Fokus." Nina meraih kertas yang diberikan Devano dan segera mengerjakan soal yang diberikan cowok itu.
Saat Nina mengerjakan soal pemberiannya gantian mata Devano yang mengamati seluruh diri gadis itu. Rambut Nina yang panjang sepunggung kini dicepol asal pakai pulpen dan memamerkan leher jenjangnya yang indah. "Kok Kakak mandangin Nina? Katanya nggak boleh mandangin ..."
"Saya yang bilang kamu nggak boleh mandangin saya, kalau kamu -nggak bilangkan nggak boleh saya pandangi?"
"Kakak juga nggak boleh mandangin Nina." Nina menghentikan aktivitasnya mengerjakan soal yang ada di hadapannya, kemudian menoleh ke belakang punggungnya.
"Kenapa? Karena kamu deg-degan?"
"Nggak." Nina memilih berdusta. Dia harus menjaga harga dirinya sebagai wanita, tapi ucapannya tak berdampak bagi Devano. Cowok itu tertawa kencang.
"Kamu nggak bisa bohong sama saya," Devano berbisik di sisi wajah Nina yang makin memerah bak kepiting rebus. Dia bahkan yakin kedekatan ini membuat Devano bisa mendengar detak jantungnya yang berdegup kencang. "Muka kamu merah gitu. Bilang enggak segala."
"Kakak Dev, Nina mau ngerjain tugas Nina. Kak Dev bilang Kakak punya acara yang harus didatangi kan?"
"Yup, kamu bener. Ya, udah kerjain aja. Lebih cepat lebih bagus." Devano menahan gerak Nina yang hendak berdiri, memaksa gadis itu tetap duduk di posisinya sementara dia memilih membaringkan tubuhnya di sofa, yang artinya dia ada tepat di belakang punggung Nina. Dengan usil jemari Devano bergerak di punggung Nina membuat gadis itu menggeliat kegelian.
"Kak Dev, tangannya tolong menjauh, ya."
"Kalau nggak mau?"
"Ishh." Nina menepis sentuhan Dev yang merindingkan bulu romanya. Pria itu hanya terkekeh. Namun terlihat ganteng di mata Nina. Wajah Nina memerah seketika saat memikirkan hal itu, menghindari tatapan mata Devano -Nina buru-buru membalikkan tubuhnya kembali menghadap meja melanjutkan tugas yang diberikan Devano padanya.
"Nin, kamu udah pernah pacaran belum?" Devano menyilang kedua tangannya di belakang kepala. Tiduran sambil menatap langit-langit rumah Pak De Nina.
"Maksud Kak?"
"Di kampung: kamu punya pacar nggak?"
"Nggak."
"Nggak percaya. Anak desa sekarang lebih ganas pacarannya dari anak kota."
Nina memutar kepalanya menatap Devano, mata gadis itu mendelik tak suka, tapi menggemaskan. "Issh, Kak Dev. Fitnah itu dosa loh." Devano tertawa geli."Ibu nggak izinin Nina pacaran dulu. Kan masih sekolah," Nina akhirnya menjawab.