Saka mengeringkan rambutnya kembali lalu meletakkan asal handuk di ujung ranjangnya. Kakinya yang menjuntai di tepi ranjang berubah menjadi dilipat, dia masih disibukkan dengan ponselnya. Beberapa menit menelpon dan gagal, Saka memilih beranjak menuju pintu kaca yang ada di balkon kamarnya. Menatap kamar Arjun. Mencemaskan cowok itu.
Sekali lagi Saka mencoba menghubungi. Terakhir kali pikirnya kalau Arjun tak juga mengangkat panggilannya maka dia akan menggedor pintu balkon kamar tidur Arjun.
"Iya?" Panggilan itu akhirnya disambut. Saka menghela nafas lega.
"Aku telpon kamu sedari tadi, Arjun, tapi telpon kamu sibuk. Beberapa menit ini aku telponin lagi malah kamu cuekin. Kamu baik-baik saja kan?" Saka bertanya risau, "buka pintu balkon, aku ke kamar kamu."
"Gue baru aja selesai mandi, Saka. Lo mau ngintipin gue lagi?"
"Gue nggak pernah ngintipin lo."
"Terus kemarin? Kalau lo pikir itu bisa terulang lagi ...lo mimpi." Arjun meraih sebuah buku dan melangkah menuju ke ranjangnya. Sudah jam sebelas malam.
"Yayaa. Terserah lo aja." Saka melangkah menuju ke ranjangnya. "Btw, tumben lo baru selesai mandi jam segini?" Saka bertanya ingin tahu. Hidup Arjun teratur, dia tidak mandi terlalu malam dan tadi sehabis dari hotel, papa Arjun - maksud Saka tentu saja papa Satria mengajak mereka makan di restoran. Sebelumnya mereka bahkan berhenti di sebuah butik dan Arjuna dibelikan pakaian baru karena Arjuna masih mengenakan celana basah dan kemeja kekecilan Saka. Saka juga dibelikan dua buah pakaian satu gaun dari Tante Kamila yang seperti biasa selalu ingin dia berpenampilan feminim dan sebuah kemeja yang dipilih Arjun untuk mengganti kemejanya yang tadi dikenakan cowok itu padahalkan tinggal dibalikin dan dia bisa mengenakannya kembali agar berpenampilan sopan di restoran karena menurut Arjuna Wisesa kaos putih yang sedang dia kenakan terlalu ngepas dan mengundang perhatian. Menuju restoran mereka berbincang banyak hal. Namun baru saja sampai pada pertanyaannya bagaimana Arjun menemukan vidio tentang masa kecilnya itu- percakapan mereka terpaksa terhenti karena mereka telah tiba di resto dan papa Satria telah memanggil. Arjun janji akan menceritakan semua ketika mereka tiba di rumah.
"Tadi nerima telpon Henny dulu." Kalimat itu singkat. Namun menyadarkan Saka artinya buat cowok itu. Dulu ... apapun yang terjadi ketika Arjun berjanji akan menelponnya setiba di rumah, cowok itu pasti beneran akan menelponnya. Kalau ada hal lain yang menghambat, cowok itu tetap akan menelponnya walaupun, hanya untuk mengatakan: kita bicara nanti, aku ada urusan dikit. Sekarang Arjun melupakan kebiasaan itu. Karena sekarang dia bukan yang terpenting buat cowok itu, ada yang lain yang merebut hati cowok itu ... Dada Saka terasa sakit. Dia mengelus dadanya ketika Arjun masih bercerita tentang gadis kedokteran itu. "Dia bilang mamanya tadi ngajak dia jumpa sama tantenya terus malah dicomblangi sama seseorang. Dia minta gue cepat ngelamar dia biar nggak ada pencomblangan lagi."
Serr. Jantung Saka berdetak kencang. Gimana kalau Arjun benaran melamar Suheni? "Te ... Terus lo iya- in?"
"Gue belum tamat kuliah, Saka. Bayangan masa depan aja belum kelihatan. Mau gue kasih makan apa anak orang? Gue nggak mungkin biarin orang yang gue sayang kelaparan dan hidup menderi ..." Arjun menghentikan ucapannya. Dia jelas tahu Saka bakal sakit hati karena itu. "Saka ..." Sejenak Saka membisu, menghapus setetes air mata yang merembes begitu saja di sudut matanya. "Saka lo masih denger gue kan? Kok diam?" Ahhh ... bodoh, Arjun membatin memaki dirinya, pertanyaannya nggak mutu banget. Pura-pura nggak tahu padahal dia tahu, tapi sepertinya hanya itu yang bisa dia lakukan untuk menyadarkan Saka. Namun nyatanya Saka masih menyukainya ... "Saka ..."
"Ehhh, nggak ... iya? Sorry, gue nggak denger tadi soalnya lagi nyusun roster nih." Saka merasa lebih baik berpura-pura nggak pernah mendengar apa yang baru saja diucapkan Arjun.
"Sia-sia dong gue ngomong panjang lebar." Saka tertawa palsu.
"Emang tadi ngomong apa?"
"Udah skip aja deh."
"Sorry .., tapi tadi gue nelpon cuma karena gue pikir lo bakal desperate karena kejadian di hotel tadi ... Nyatanya nggak. Anak kedokteran itu bisa bikin hati lo happy kayaknya. Gue nggak perlu kwartir."
"Henny, Saka. Suheni. Dia punya nama." Saka tak menjawab. "Jadi lo kira gue mengurung diri di kamar dan bakal bunuh diri? Lo selalu membesar-besarkan kecemasan lo tau."
"Itu karena buat gue: kebahagiaan lo itu salah satu hal terpenting di hidup gue."
Tawa Arjun terdengar lagi.
Arjun kembali menertawai semua hal tentang perasaannya buat cowok itu, Saka membatin.
"Gue bisa besar kepala tau kalau terus lo rayu gini. Seharusnya lo lahir sebagai cowok tahu."
"Terus lo jadi cewek?"
"Nggak. Enak aja. Gue tetap cowok dong, tapi dengan ilmu merayu lo itu, lo bisa buat banyak cewek jatuh cinta sama lo."
"Gue nggak minat." Diam sejenak, Arjun memilih membaringkan tubuhnya di kasur begitu juga Saka. Gadis itu memasang earphone di telinganya. Meringkuk menggulung diri di tempat tidurnya. "Terus gimana? Kapan lo tau kalau lo bukan ..."
"Anak kandung Papa?" Arjun memperjelas pertanyaan Saka. Gadis itu membalas dengan gumaman. "Lo segitu keponya?"
"Lo keberatan?" Lirih suara Saka.
"Udah setahunan." Arjun menjawab. Menunjukkan secara implisit bahwa dia tidak keberatan sama sekali. Saka membisu. Dia ingat untuk beberapa kali ketika dia menggoda Arjun sebagai anak pungut cowok itu berubah baper. Seharusnya dia tahu candannya melukai hati cowok itu.
"Gue minta maaf. Kalau hati lo sakit karena becandaan gue saat ngatain lo anak pungut. Gue benaran cuma bercanda, Arjun."
"Gue tau. Lo nggak akan pernah nyakitin hati gue. Lo nggak salah, tapi tadi itu ... kalau dipikir-pikir gue emang salah." Arjun membalikkan badannya dan meringkuk.
"Tentang?"