"Arjun." Arjun tak menggubris panggilan itu padahal Saka hanya beberapa langkah di hadapannya. Tatapan mata Arjun sendu, jelas mengungkapkan isi hati cowok itu. Saka melongok ke kiri dan ke kanan, untuk sejenak dia berada dalam dilema antara mengejar Arjun atau Bagas. Mengambil keputusan di detik selanjutnya, Saka memilih mengejar Bagas. Dia tidak akan membiarkan pria itu lepas begitu saja setelah memperlakukan Arjuna seperti seonggok sampah.
"Om Bagas!" Saka memanggil sebelum Bagas benar-benar tiba di pintu akhir para penumpang pesawat yang akan menaiki pesawat. Pria itu menoleh. Namun tak berniat menghentikan langkahnya, hal yang membuat Saka terpaksa mengejar dan mencengkram bahu pria itu. Memaksa Bagas berhenti, dengan tatapan mata tak suka, dia menepiskan sentuhan Saka di bahunya.
"Pesawat saya akan segera lepas landas, jika saya ketinggalan pesawat ...*
"Kenapa harus Arjun yang minta maaf?" Saka memotong ucapan pria itu. Terserah jika dia dianggap tak punya sopan santun karena dia hanya akan memberikan sopan santunnya pada orang yang pantas menerima itu dan pria di hadapannya ini jelas tidak pantas menerimanya.
"Kau tidak punya urusan dengan itu." Bagas mengacungkan jari telunjuk ke wajah Saka yang kemudian menepis tangan itu dengan kasar. Wajah Bagas memerah marah. Jelas Arjun harusnya menjauhi gadis yang bahkan tidak tahu sopan santun ini. "Seharusnya Arjun menjauhimu. Kau adalah contoh buruk baginya."
"Ohhh, lihat siapa yang bicara? Jika aku adalah contoh buruk, bagaimana dirimu?" Saka mendecih sinis. "Ayah mana yang hitung-hitungan dengan anaknya? Anda bilang Anda sudah membayar lima tahun untuk kesalahan Anda menikah dengan Mama Arjun? Bagaimana dengan Arjun? Kenapa dia harus membayar seumur hidupnya untuk kesalahan lima menit yang kalian lakukan di masa SMA?!" Saka memekik membiarkan mata petugas maskapai penerbangan dan penumpang lain yang melintas menatap mereka, tapi dia memilih tak peduli.
"Diam!" Bagas memekik tak tahan, tangannya terangkat dan melesat singgah di pipi Saka yang sedikit shock menerima tamparan itu
"Apa menamparku membuatmu merasa lebih baikan? Apa menamparku membuat kenyataan bahwa Anda menyia-nyiakan Arjun berubah?" Ejek Saka sambil memegang pipinya yang terasa panas. Langkahnya mundur selangkah. Wajahnya kini benar-benar marah pada pria itu. Papanya saja tidak pernah memukulnya, senakal apa pun dia, tapi pria ini berani-beraninya menamparnya. Kalau bukan karena usia pria ini lebih tua darinya dan bahwa pria itu papa biologis Arjun- diakui ataupun tidak oleh pria itu, sudah dia tantang adu tanding satu lawan satu walaupun, bakal berhadapan dengan hukum. "Anda bilang Anda berhak untuk bahagia? Bagaimana dengan kebahagiaan Arjun?! Apa Arjun tidak berhak bahagia?! Bagaimana bisa Anda menimpakan nasib malang yang Anda alami pada anak empat tahun yang bahkan tidak tahu apa pun?!" Saka memekik, dadanya terasa sakit. "Anda tahu?! Ketika aku pertama kali mengenalnya dia adalah anak laki-laki paling pendiam dan penyendiri yang pernah kukenal," Isak Saka, "Dia takut kegelapan, dia akan bertanya jika diajak makan ..., apa dia boleh makan ini dan itu, dia pulang sekolah paling tepat waktu. Dia tak akan bermain tanpa izin Om Satria atau Tante Kamila, dia belajar lebih keras dari siapapun seakan-akan menepati sebuah janji pada seseorang. Bagaimana bisa kau menyalahkan anak seperti itu? Arjun, sahabatku adalah anak laki-laki terbaik yang pernah ada di dunia ini. Dan teganya Anda mengatakan kata-kata itu tadi padanya."
"Kau benar-benar tidak bisa disuruh diam, ya? Punya istri sepertimu pasti memusingkan." Saka tak memperdulikan ucapan pedas Bagas.
"Semua orang melakukan kesalahan dalam hidupnya, tapi hanya orang berani yang mampu mengakui kesalahannya, tapi Anda bukan hanya seorang pengecut. Anda juga bukan manusia. Kalau Anda manusia, Anda tidak akan berani berkata seperti itu pada Arjun ... karena Anda seharusnya punya sedikit rasa berdosa padanya."
Bagas melangkah pergi. Betapa tidak menyenangkannya dikuliahi oleh anak muda yang merasa lebih tahu segalanya. Melihat itu, Saka berusaha menahan langkah pria itu, tangannya mencoba meraih Bagas. Namun gagal. Kali ini Bagas sukses melewati gerbang akhir maskapai, lepas dari Saka yang mencoba mengejarnya, tapi tentu saja mendapatkan penghalangan dari dua pramugara darat. Sebuah bus telah menunggunya untuk membawanya ke dalam perut buncit si burung besi. Kali ini dia akan benar-benar pergi lama dari negara ini.
***
Saka melangkahkan kakinya menuju kursi tunggu bndara, menemukan Arjun yang duduk menunduk di sana. Membenamkan topi biru dongker di kepalanya. Lama menatap, Saka menyadari bahu Arjun yang terguncang. Arjun jelas menangis. Dia tidak pernah melihat Arjun menangis, bahkan di masa kecilnya -Arjun bukan seorang anak yang cengeng. Bisa dikatakan cowok itu dingin, sedingin es di kutub Selatan. Namun digandrungi oleh semua remaja putri di masa mereka sekolah dulu bahkan hingga saat ini.
Berdiri lebih merapat pada Arjun, Saka membiarkan wajah Arjun sejajar dengan perutnya. Menyembunyikan cowok itu agar tak menjadi perhatian pengunjung lain airport. Namun Arjun yang menyadari hal itu, mendongak menatap sosok cantik yang berdiri di hadapannya itu. Tak perlu bertanya, Arjun tahu- Saka pasti datang setelah pemberitahuan Saint. "Menangislah."
Menggelengkan kepala, Arjun berdusta. "Siapa bilang aku menangis? Mataku hanya kelilipan."
"Lo nggak perlu kwatir pada pandangan orang lain. Gue bakal berdiri di sini dan nggak ada yang akan melihat tangis lo."
"Gue nggak nangis, Saka." Sekali lagi Arjun menyangkal.
"Gue denger semuanya. Kalau lo mau nangis juga nggak apa. Lo juga manusia, Arjun." Mata Arjun menatapnya. "Walaupun gue mau lo tahu bahwa keberadaan lo nggak tergantung pada ucapan dan penerimaan Om Bagas. Lo sempurna tanpa penilaian dia. Buat Tante Kamila dan Om Satria, lo jelas anak laki-laki kebanggaan mereka, Papa dan mama gue juga setuju itu. Dari SD gue selalu dibandingin sama lo. Arjun bisa dapat seratus dalam matematika kok lo nggak? Belajar yang benar seperti Arjun dong Saka. Arjun bimbel kamu bimbel, tapi hasilnya jauh," Saka mengutip ucapan mama atau papanya saat mengetahui nilai ujiannya dan Arjun dengan terkekeh. Manik mata Arjun masih tak bergeming menatap wajah sahabatnya itu. "Dan buat gue, lo adalah cowok terbaik. Sahabat terbaik gue." Arjun tak mengatakan sepatah kata pun. Kayaknya sih motivasi yang dia beri tak bisa menepis kesedihan di hati Arjun karena ucapan Om Bagas. "Arjun, gue mau lo tahu gue bakal selalu ada untuk lo. Atau ... lo mau gue panggil Suheni-untuk menyembuhkan kesedihan lo?" Intonasi suara Saka menelan. Dia menahan sendiri rasa cemburunya, iya, walaupun tidak menyukai gadis kedokteran itu, Saka tak bisa menampik bahwa Arjun nampak bahagia bersama gadis kedokteran itu. Kenyataan itu membuat dada Saka terasa sakit. Namun sekali lagi dia mencoba menepis luka itu sendiri demi kebahagiaan Arjun, sama seperti saat kaki Arjun keseleo akibat terjatuh di tangga rumahnya sendiri dan demi kebahagiaan Arjun, dia melepas ego dan rasa cemburunya lalu membawa Suheni- ke rumah Arjun. "Eh, tapi dari bandara ke rumah Suheni cukup jauh loh. Gimana kalau kita pulang? Gue setirin mobil Om Satria terus gue telponin Suheni- biar datang ke rumah lo? Terus lo bisa berduaan sama gadis kedokteran itu. Gue janji nggak akan ganggu lo berdua," Saka berujar lagi saat telah merogoh saku celana kulot yang dia gunakan dan meraih ponselnya. Ada nomor Suheni- di daftar kontaknya, seseorang yang dia beri nama pelakor. Uhhh, jangan sampai Arjun melihat nama apa yang dia beri buat kekasihnya itu, bisa habis dia diceramahi cowok ini. Saka sudah menekan nomor Suheni- ketika tangan Arjun menarik telapak tangannya dan memaksanya duduk di kursi tunggu yang di duduki Arjun, tepat di samping cowok itu. Lalu cowok itu merebahkan kepalanya di pundak Saka. "Arjun ....?"
"Diam. Gue mau gini aja beberapa menit. Lo nggak keberatankan?"
Keberatan? Ohhh, no. Jangankan beberapa menit, seharian juga Saka rela. Namun asal Arjun memakai handset di telinga nya dan memutar lagu karena kini jantung Saka berdetak begitu kencangnya. Saka tak ingin Arjun tahu bahwa keberadaan cowok itu yang menempel padanya berefek besar buat tubuhnya.
"Lo tegang banget, Ka. Lo nggak nyaman, ya, gue kayak gini?"
"Ehh, nggak. Nyaman kok. Gimana bisa lo mikir gue nggak nyaman? Lo selalu buat gue nyaman. Terlalu nyaman bahkan sampe gue jatuh." Arjun menatap Saka. Gadis itu nyengir. "Jatuh hati. Lo taukan gue cinta sama lo."