Bagas ingat, Arjun berjalan cepat di depannya setelah kejadian itu. Berlari pelan dia menjejak langkah Arjuna.
"Kamu marah sama Papa?" Arjun tak menjawabnya. Anak itu bungkam seribu bahasa sejak mereka pergi dari rumah Bu Dara. Tadinya Bu Dara mengizinkan mereka membawa mangga yang diambil Arjun, tapi dia yang menolak sebagai pelajaran buat Arjun. Mencuri tidak boleh berakhir dengan mendapatkan hadiah katanya, walaupun Bu Dara menyanggah ucapannya dengan berkata itu bukan hadiah dari mencuri, tapi dari keberanian mengakui kesalahan dan meminta maaf, dia tetap menolak. Jelas putranya itu cemberut berat. "Kamu sudah makan?" Bisiknya pada Arjuna. Namun anak itu tak menjawab. Menoleh padanya juga tidak. "Mau makan gado-gado?" tanyanya saat melintasi rumah penjual gado-gado. Arjun diam saja. Mereka melangkah terus. "Besok Papa belikan mangga kalau kamu kepingin." Arjun tetap diam. "Mau bakso?" Tanyanya saat melihat pedagang bakso keliling memasuki gang menuju rumah mereka yang sempit. Pria itu mendorong gerobak kayunya dan nampak menoleh saat mendengar ucapannya. Arjun tak menjawab, tapi kali ini sudut matanya bergerak mengikuti tukang bakso keliling yang menyapa mereka. "Sebentar, Mas. Beli bakso Mas." Bagas menghentikan penjual bakso dan mata Arjun terangkat menatapnya. "Kamu maukan? Papa tau. Nggak usah pura-pura nggak mau. Papa tahu ini makanan kesukaan kamu." Arjun terkekeh. Kemarahan di hati bocah laki-laki itu terhapus bagai awan hitam yang tersapu hembusan angin di musim kemarau.
Mereka melangkah ke pedagang bakso yang telah berhenti tepat di depan pagar rumah seorang tetangga mereka. "Arjun mau bakso granat nya satu, ya, Pa?" Bagas mengangguk.
"Buat satu mangkok, Mas untuk anak saya. Nggak usah pakai sambal."
"Cuma satu, Mas?" Si pedagang bakso memastikan.
"Iya, satu saja."
"Papa nggak ikutan makan bakso?" Arjun menimpali sambil memandang sang penjual bakso keliling yang mulai meracik bumbu bakso di mangkuk cap ayam jagonya.
"Papa udah kenyang. Tadi ditraktir makan sama teman di restoran," Bagas memilih berdusta plus menambahkan nama sebuah rumah makan Minang terkenal. Pendapatannya akan berkurang banyak jika dia ikutan membeli bakso buat dirinya, lalu bagaimana untuk makan sehari-hari mereka nanti setelah kesenangan memakan bakso dua mangkuk? Bagas menangis dalam hati. Dulu di masa sekolah, makan semangkuk bakso nggak akan pernah jadi masalah buatnya. Dia bisa memakannya setiap hari tanpa harus mikir, nggak seperti sekarang ini. Ada dua mulut lagi yang harus dia kasih makan selain dirinya sendiri. Kenapa dulu bayangan pernikahan begitu mudah di benaknya? Cuma modal cinta dan mereka akan berbahagia. Dia hanya memikirkan bahwa menikah artinya dia bakal setiap hari bersama Alina, bisa memeluk cewek itu saat Alina bersedih, menjaganya dan memberikan hidup lebih membahagiakan daripada rumah tangga papa dan mama Alina, seakan-akan rumah tangga papa dan mama Alina dulu nggak berawal dari cinta. Ahh, dungunya dia. Nyatanya menikah nggak semudah itu. Dia harus bangun pagi-pagi benar buat memasak, menyuci dan mengerjakan tugas rumah tangga sebelum meninggalkan Arjun dan Alina untuk ikut rombongan para tukang bangunan untuk mencari nafkah. Sementara Alina masih terjebak dalam masa eforia remaja dan belum sepenuhnya tahu kewajiban sebagai isteri dan ibu. Hari-harinya habis di luaran sana karena bekerja dan hari-hari Alina habis diluaran bersama teman-teman SMA mereka. Mana ada waktu dia bersama Alina dan Arjun buat memeluk mereka dan berbagi kesedihan. Kadang kalau proyek besar semisal membangun jalan atau gedung pencakar langit dia tidak pulang berbulan-bulan dan itu membuat Alina uring-uringan. Pertengkaran pun tak terhindarkan diantara mereka, tapi saat dia tak mendapatkan pekerjaan, kebutuhan hidup menjadi alasan pertengkaran mereka. Dia lelah. Menjadi dewasa nggak selamanya menyenangkan. Dewasa artinya punya tanggung jawab lebih -bukan hanya untuk diri sendiri, tapi orang lain.
"Uihhh, pasti lezat makanannya, ya kan, Pa?"
"Iyalah. Lezat, tapi maaf, Papa nggak bawa ke rumah. Kan Papa ditraktirin teman. Nggak enak kalau minta dibungkusin juga. Itu namanya nyusahin teman. Kita harus bersyukur dengan apa yang diberi. Artinya orang ingat kita." Arjun manggut-manggut dan tak bisa menyembunyikan sumringah di wajahnya saat semangkuk bakso tersedia untuknya. Anak itu duduk dengan kursi seadanya dan sebuah kursi plastik lain sebagai meja. Bagas menatapi sang anak saat melahap bola-bola daging ayam itu. Lalu meneguk liurnya tepat ketika Arjun mendongak menatapnya.
"Papa mau?"
"Ehh. Nggak. Kan Papa bilang Papa kenyang."
"Kalau mau kita bagi dua."
"Nggak, Papa udah kenyang. Beneran." Bagas menyugar rambut Arjun yang mulai basah oleh keringat akibat makanan bakso panas-panas.
"Hati-hati makannya. Pelan-pelan saja. Ditiup dulu kalau masih panas," Bagas memberi pesan berjibun. Arjun menuruti ucapan sang papa. "Nanti deh kalau Papa punya uang, Papa ajak kamu dan Mama ke restoran besar."
"Benarya, Pa?" Bagas mengangguk. Sekali lagi senyum lebar itu terbit di ujung bibir Arjuna dan sampai saat ini dia tidak pernah membawa Arjuna ke restoran mewah mana pun.
"Kalau kamu belajar rajin, jadi anak pintar, nggak curang buat dapat nilai bagus dan serius sekolah. Jangan nikah muda- nanti pasti hidup kamu senang."
"Emangnya Papa nggak senang sama kehidupan Papa sekarang?" Bagas terbatuk-batuk sejenak. Dia tak bisa menjawab pertanyaan putranya itu. "Tahun depan Arjun lima tahun. Arjun udah bisa sekolah kan, Pa?" Dia ingat sebuah tambang terasa mencekik lehernya saat itu. Usia Arjun akan lima tahun. Sudahkah dia punya tabungan untuk biaya sekolah Arjun? Uhhh, dia harus kerja lebih keras lagi dan menyisihkan uang untuk sekolah Arjun. Namun dia mengangguki ucapan Arjun.
"Iya tahun depan kamu masuk TK."
"Horeee." Anak itu berseru bahagia.
"Tapi kalau sudah sekolah kamu harus rajin belajar, nggak boleh sering nggak masuk dan dapat juara."
"Arjun janji, Arjun bakal juara terus!" Bocah laki-laki itu berseru penuh semangat sambil menandaskan bakso terakhirnya. "Arjun dah kenyang, Pa." Bagas menatap kuah bakso yang tersisa di mangkuk. Rugi rasanya. Kuah baksokan juga berasa bakso. Bagas menarik mangkuk bakso di saat Arjuna telah bergerak turun dari kursi plastik yang dia duduki. Lalu berteriak pada teman-temannya yang melintas. Kesempatan ini digunakan Bagas untuk menyeruput kuah bakso hingga kandas. Lumayan pengobat kerinduannya pada bola-bola daging itu.
"Ini, Mas. Terima kasih, ya." Bagas menyodorkan uang pas sambil menyapa pelanggan lain yang mulai datang.
"Nggak sama Mama Arjun, Mas Bagas?"
"Nggak, Mbak Rara, sayakan baru pulang nukang. Terus ketemu Arjun di jalan dan tuh anak kepingin bakso katanya."
Si ibu manggut-manggut sementara si anak nampak cemas. Dia salah satu yang menjadi teman Arjun dalam komplotan kecil pencurian mangga di rumah Pak Suroso. Mata anak itu menatap Arjun lekat-lekat mencari tahu apa yang tadi terjadi pada Arjun. Arjun berbisik menceritakan semua dengan singkat. Plus rasa kesal karena ditinggal sendirian oleh teman-temannya untuk menghadapi Bu Dara dan suaminya serta papanya. "Bagun apa sekarang?" Bu Rara berbasa-basi.