"Kau seharusnya mengalah padaku. Hari ini aku yang sedang sedih tau." Saka membulatkan mata menatap Arjuna yang nampak senewen setelah dia memasukkan tiga bola berturut-turut ke dalam keranjang. Arjun tidak pernah bicara seperti itu selama Saka mengenalnya. Memintanya mengalah? Itu benar-benar bukan seorang Arjun. Mereka memang bermain basket untuk menghilangkan rasa sedih di hari Arjun, tapi kini cowok itu nampak lebih kesal setelah ketinggalan tujuh belas point.
"Aku hanya menggunakan setengah kemampuanku, Arjun. Siapa yang ngomong bahwa Saka Putri tidak pernah menang atas dia?" Saka memajukan bibirnya. "Sombongnya. Makanya jangan jumawa. Lagian kalau kamu merasa aku nggak bisa mengobati kesedihanmu, dari tadi aku bilangkan untuk memanggil Suheni?"
"Gue nggak bisa minta Suheni-datang saat ini. Gue nggak mau dia tahu masalah ini." Arjun melempar bola merah bata itu sambil membalikkan badannya. Saka memperhatikan bagaimana bola itu melayang di udara dan membentur tepi ring basket lalu terkapar di lantai halaman rumah mereka. Nggak masuk. Salah satu dari beberapa daftar kegagalan Arjun yang sangat langka dan hari ini terjadi cukup banyak. Saka berlari kecil mengejar langkah Arjun yang nyaris tiba di teras. "Lo harus janji nggak akan menceritakan hal ini pada siapa pun termasuk pada Heni."
"Kenapa?"
"Lo pikir keluarga mana yang bakal ngasih anak gadisnya buat anak yang nggak pernah diharapkan kayak gue?" Arjun menatap Saka tajam. Rasanya ada ribuan belati yang mencacah hati Saka saat itu.
Arjun jelas sangat takut kehilangan Suheni.
Arjun mencintai gadis kedokteran itu.
Bukan dia.
Menggigit bibirnya, Saka mencoba untuk menepis sedih yang mendera. Arjunkan yang sedang sedih dan butuh penghiburan saat ini. Bukan dia. Dia tak boleh egois.
Saka menarik gemas pipi Arjun yang seketika berteriak protes karena kelakuannya. Tawa gadis itu terlihat. "Ayo, kalahkan aku. Lima belas point lagi."
"Jadi yang tadi?" Arjun membalikkan badannya menatap ring basket. Wajah cowok itu tersenyum lebar. Lemparan asalnya ternyata masuk? Saat sedang pusing dan bad mood ternyata kemampuannya masih bisa diandalkan. Siapa dulu coba. Arjun menaikkan kerah bajunya dengan bangga.
Saka hanya mengulum senyum. Berbohong bukan sebuah kesalahan buatnya jika itu bisa membuat Arjun bahagia.
"Mau bertanding lagi atau berhenti disini dan sebagai hukumannya ... Kamu harus menggendong aku."
"Aku belum mengaku kalah."
"Kau cuma punya waktu lima menit. Kalau nggak bisa, menyerah saja." Arjun tak menggubris ucapan Saka. Dia melangkah menuju bola basket yang terkapar di halaman lalu bergerak men-dribbel bola dan memasukkannya dengan mudah karena Saka masih terdiam.
"Kau tidak akan menghalangiku?"
"Masukkan saja bolanya sebanyak yang kau bisa, anggap ini kebaikan hatiku."
"Enak saja." Arjun melempar bola bata itu ke arah Saka yang masih terdiam. "Giliranmu." Walau kesal kalah dari Saka, Arjun juga tidak sudi menang dengan cuma-cuma. Bisa jadi becandaan Saka, dia seumur hidup. Saka menangkap si bata merah dan kemudian men-dribble bola menuju ring lawan. Namun kali ini bukan dengan semangat mengalahkan Arjun. Semua permainan ini cuma untuk membuat Arjun bahagia, bukan benar-benar kompetisi.
Arjun mencoba merebut bola. Sebenarnya Saka bisa menghindar dan mempertahankan si bata merah, tapi kali ini dia membiarkan bola itu direbut oleh Arjun lalu dibawa pergi untuk menghasilkan dua nilai lagi buat Arjun. Tawa senang cowok itu terlihat. Itulah alasan dia ada bersama Arjun hari ini, bahkan selama ini: membuat cowok itu menyadari bahwa jika bersama mereka akan bahagia.
**
Lima menit berlalu dan Arjun sukses memenangkan pertandingan malam ini. Saka memilih duduk selonjoran di lantai halaman. Keringat membasahi seluruh tubuh gadis itu. "Capek?" Tanya Arjun sambil mendekap si merah bata lalu duduk di sisi Saka. Gadis itu hanya tersenyum kecil. Arjun mengalihkan pandangannya menatap langit malam yang kelihatan cerah. "Saka."
"Hmmm?"
"Terima kasih karena ada bersamaku saat ini." Saka tersenyum manis sambil mengangguk. "Kau yakin Fandy nggak keberatan?"
"Kita lebih dahulu berteman."
Arjun menatap Saka serius. "Tapi kamu kekasihnya." Mata gadis itu menatap bintang kejora di langit malam."Dia akan membunuhku jika kau bertingkah seperti itu di depannya."
"Aku akan membelamu bahkan walaupun harus mati untukmu."
"Ngerayu teroos," Arjun berteriak sambil berdiri dari duduknya tepat ketika sebuah sepeda es krim melintas di depan rumah mereka. Salah satu tetangga mereka adalah pengusaha es krim keliling. Jam tujuh malam seperti ini biasanya para pekerja lepas yang menjajakan es krim kembali untuk menyerahkan es krim yang tersisa berserta sepeda serta hasil penjualan harian. "Mau es krim?" Saka mengangguk.
"Pakai cone saja!" Saka memekik saat Arjun telah berhenti di depan penjual es krim. Cowok itu mengangguk. Sebentar saja dua cone sudah ada di tangannya dengan kertas bersih untuk memegang si cone.
Saka bergegas menyambut Arjun dengan antusias. Senyum lebarnya terlihat bersama gerak refleks tangannya untuk meraih satu cone di tangan Arjun. Namun cowok itu malah menghindarinya.
"Arjun, bagi satu."
"Coba saja ambil kalau bisa."