Suheni baru saja keluar bersama Laudya dan Cherry ketika langkahnya dicegat oleh Alder. "Gue mau bicara sama lo sekarang."
"Gue nggak mau. Nggak ada lagi yang perlu dibicarakan diantara kita." Suheni melangkah tanpa berhenti. Alder menjejal langkah ketiga sahabat itu.
"Kita sepakat. Nggak ada lagi yang harus dibicarakan diantara kita, tapi yang gue mau omongin bukan tentang kita. Tapi tentang cowok lo: Arjuna." Suheni menatap sinis pada Alder lalu mengacuhkan cowok itu. "Dia nyelingkuhi lo dengan Saka."
"Stop deh jelekin Arjun. Lo bisa move on nggak sih?!" Suheni- menghentikan langkahnya dan kini menatap Alder dengan geram memaksa kedua sahabatnya juga berhenti. Kini ketiga cewek itu memplototi Alder. "Bukannya lo yang mutusin gue? Lo bilang apa? Gue posesif, galak dan lo nggak rugi kehilangan cewek kayak gue. Cewek kayak gue banyak diluaran sana. Buktiin dong kalau lo bisa nemuin cewek kayak gue diluaran sana. Jangan terus grasak-grusuk gangguin hidup gue."
"Gue nggak mau gangguin hidup lo. Gue minta maaf kalau lo sakit hati karena ucapan gue. Waktu itu gue jelas sedang kesal. Gue cuma mau lo tanya Arjun dimana dia Sabtu kemarin dan dengan siapa." Suheni menghela nafas.
"Gue tahu cowok gue dimana. Gak usah kepo deh. Ayok, cabut deh. Lama-lama ngeladeni Alder umur gue kurang sepuluh tahun." Suheni menarik tangan kedua sahabatnya. Kali ini Alder tak mengejar. Dia menatap kepergian Suheni lalu meraih ponselnya. Memasang kartu baru yang dia beli. Suheni memblokir nomornya usai mereka putus, jadi dia tidak bisa mengirimi cewek itu langsung foto-foto Saka dan Arjun yang dia ambil kemarin lusa di Dufan. Lagi pula dia nggak mau cewek itu berpikir dia memfitnah Arjun maka dia memilih bicara langsung.
Gue lihat mereka kemarin lalu di Dufan waktu gue sedang ngawasin adek gue dan cowoknya yang anak fakultas hukum itu. Terserah lo mau percaya atau nggak. Gue cuma nggak mau satu orang pun membodohi elo. Cuma itu. Bukan berarti gue berharap lo balik sama gue.
Alder
Ting
Ting
Ting.
Suara beruntun dari ponselnya itu mau tak mau memaksa Suheni meraih ponselnya. Mengintip sejenak dari layar depan, Suheni menemukan pesan dari nomor yang tak dikenal. Sedikit enggan, Suheni membuka pesan itu. Sepuluh foto dan sebuah vidio muncul dilayar dan sebuah pesan dari Alder.
Suheni membaca diam-diam pesan Alder saat sahabatnya disibukkan bercengkrama dengan teman lain yang mereka jumpai di koridor fakultas kedokteran. "Cerr, mana kunci mobil lo?" Cerry yang tengah sibuk berbincang dengan teman yang lain menyusupkan tangannya ke dalam kantong jaket kedokteran yang dia kenakan lalu menyodorkan kunci yang dia raih pada Suheni.
"Gue pergi dulu."
"Lo mau kemana, Hen?!" Teriak Laudya.
"Mobil gue?!"
"Gue pinjam bentar!" Suheni melambaikan tangan sambil bergegas pergi.
***
Devano menguak pintu besar toilet wanita fakultas hukum. Toilet di lantai dasar gedung dua, letaknya jauh ke belakang gedung jadi tak sering dikunjungi mahasiswa dan mahasiswi. Lampu-lampu yang putus di sana sini dan tak pernah dipasang kembali malah menciptakan kesan seram pada kamar mandi ini.
"Ehh, lo kok masuk di sini?! Toilet cowok disamping tuh," seru seorang mahasiswi dengan tatapan tajam saat Devano masuk.
"Sorry, salah kamar. Kebelet." Alasan itu dia ucapkan lalu ngacir masuk ke kamar mandi cowok. Sialan banget predikat kamar mandi terseram di fakultas nggak juga menghalangi orang-orang kebelet buang air singgah ke sini. Devano menanti mahasiswi itu keluar bersama seorang temannya sebelum dia keluar dari kamar mandi cowok.
Devano berdiri sambil menekuri lantai di luar kamar mandi wanita. Kakinya menyepak sebuah tisu yang tergeletak di lantai, teremas membentuk bulatan dan menyepak benda itu. Bertingkah seakan tengah bermain bola kaki. Tingkahnya terhenti saat ekor matanya menemukan sepasang kaki mengenakan sandal jepit ungu keluar dari kamar mandi.
"Ehh, Kak Devano. Ngapain di sini?" Nina menyapa lembut.
"Menurut kamu ngapain?"
"Kebiasaan si Kakak nih ditanya malah balik nanya."
"Ya, nunggu kamulah. Kangen." Devano meraih pinggang Nina dan mendekapnya. Memutar tubuh dan membuat gadis itu terdorong hingga ke dinding.
"Kak Devan, jangan. Nanti ada yang lihat. Kakak mau dikeluarkan dari kampus?" Nina mendorong dada Devano sementara wajahnya mencoba menghindari bibir Devano.
"Tapi kangen."
"Jangan, Kak." Nina nyaris menangis saat Devano menyusupkan tangannya ke dalam kaos putih Nina. Telapak tangan cowok itu terasa di kulit perut Nina, merindingkan bulu roma Nina. Namun itu hanya sesaat karena Devano segera menarik tangannya.
"Maaf, Nin." Devano mengusap wajah Nina lembut. Menatap gadis itu dengan hangat.
"Nina nggak mau kita ngelakuin dosa itu lagi, Kak. Nina takut hamil. Kalau Nina hamil ..."
"Kakak bakal tanggung jawab." Nina menatap wajah Devano lekat-lekat, mencari keseriusan di wajah itu. Namun dia hanya menemukan keraguan. Kak Devano adalah cowok keren, mahasiswa fakultas hukum dengan tunggangan mobil sport sekaliber Pajero atau mobil sedan Audi, belum lagi cewek seksi yang dekat dengan Kak Devano saat ini - uhhh dia nggak bisa dibandingkan dengan cewek itu walaupun kemarin lalu saat di ranjang Kak Devano memastikan mereka hanya teman bukan sepasang kekasih, tapi entah mengapa hatinya tetap was-was. Devano menyisir lembut helai rambut Nina yang jatuh ke kening gadis itu.