Devano tak bisa memejamkan matanya. Semua kejadian yang terjadi di bar and lounge bermain kembali di ingatannya. Kejadian itu membuat dia harus mendapatkan enam jahitan di keningnya dan bagaimana Nina tetap berada di sisinya. Gadis itu jelas tak suka berbohong apalagi pada Pakde dan Budenya, tapi demi bisa menemaninya, Nina rela melakukan hal itu.
Devano melangkah turun dari ranjangnya, kemudian menuju keluar kamar dan segera menemukan sosok itu terbaring di atas sofa. Devano ingat bagaimana mereka berdebat sebentar tentang dimana Nina akan tidur malam ini. Nina menolak tidur di kamar dengannya. Ketika dia menggugat alasan Nina yang sampai berbohong pada Pakde dan Bude nya agar tidak pulang adalah untuk menemaninya, Nina memastikan bahwa walaupun dia di luar kamar, Nina pasti tahu jika dia membutuhkan Nina. Namun nyatanya, kini Nina tertidur begitu lelap. Devano yang telah berdiri di sisi sofa menggelengkan kepalanya.
Pembohong.
Bayangan Devano melayang ke saat sebelum mereka pergi ke bar and longe, Nina muncul di depan mobilnya dengan pakaian khas gadis itu. Rok panjang dan kemeja lengan panjang, sudah seperti lulusan SMA yang hendak melamar kerja saja.
"Kok nggak pakai pakaian yang Kakak kasih kemarin?" Dia bertanya cepat dan Nina menatapnya dengan pandangan bingung. "Nin, kamu kok nggak pakai baju yang Kakak kasih?"
"Nina malu, Kak. Baju kurang bahan gitu masa dipakai keluar rumah," gadis itu berujar lugu, membuat Devano membulatkan matanya tak paham.
"Gimana kurang bahan? Gaunnya bagus kok. Kamu sendiri yang pilih. Kakak lihat waktu di toko, kamu pegang gaun itu."
"Gaun transparan warna merah dan cuma sampai paha Nina, Kakak bilang bagus?" Devano ingat bagaimana dia nyaris tersedak karena ucapan gadis itu. Itu artinya dia salah memberikan hadiah buat Nina. Hadiah yang seharusnya buat Arimbi, kini ada pada Nina dan hadiah yang dia tinggalkan begitu saja di pesta Arimbi, berarti adalah gaun untuk Nina. "Yang Nina pegang itu gaun hijau lumut ... Ehhh, kalau Kakak beli gaun yang aku pegang, artinya tokonya yang salah kasih. Di-return aja, Kak." Nina bicara dengan semangat, "Nina ambil di rumah dulu."
"Eiitss." Devano buru-buru mencegah gadis itu. "Nggak perlu. Nanti kalau kamu balik ke rumah, Pakde sama Bude kamu tahu dan kita nggak bakal jadi jalan. Mau?" Gadis itu menggeleng. "Ya, udah, naik."
"Tapi, Kak ... Waktu return-nya nggak boleh lebih dari tiga hari. Besok hari ketiga, Kak. Pakaian itu mubazir loh kalau nggak dikembalikan."
"Masuk." Devano menatap Nina tajam. Mau tak mau Nina memasuki mobil.
"Kamu simpan aja lingerie-nya. Nanti kalau bobok sama Kakak, kamu pakai." Devano ingat bagaimana Nina menggeser tubuhnya menjauhi dirinya sambil membekap dadanya dan dia tertawa lebar.
"Nina nggak mau ngulangin itu lagi, Kak. Itu dosa." Nina, si gadis lugu itu mengingatkan dia kembali akan dosa. Hal yang dahulu pernah dia pelajari ketika dia masih kanak-kanak. "Atau ... Maksud Kakak kalau kita udah nikahkan?" Gadis itu bertanya, senyumnya mengembang malu-malu sebelum menundukkan wajahnya, tapi jelas Devano bisa menangkap ekor mata Nina yang melirik padanya. Semburat merah merona di wajah itu, membuat Nina nampak cantik dan menggemaskan. Rasanya ingin dia ciumi dan ya, dia menarik gadis itu. Menciuminya sampai Nina hampir kehabisan nafas.
"Kakak beneran bakal nikah sama Nina kan?" Nina bertanya lagi usai sukses menghentikan kegilaannya yang bisa lebih parah lagi.
"Kalau kamu jadi pacar yang baik dan nurut."
Devano tersenyum kecil mengingat kejadian itu.
Menurunkan badannya, Devano bersimpuh di sisi sofa. Ada sesuatu di dalam dirinya mendesak untuk membunuh jarak diantara mereka. Devano menyempatkan menggunakan moment itu untuk memandangi sosok itu, menyimpan gambaran diri cewek itu di dalam benaknya. Rambut hitam Nina yang lebat dipadukan dengan hidungnya yang mancung, serta bibirnya yang tipis dan semerah buah ceri yang begitu menggoda untuk disantap. Wajah Nina berbentuk oval, membingkai sempurna karya besar Tuhan pada dirinya.
Perlahan Devano menggerakkan jemarinya dengan ragu di permukaan kulit wajah Nina, dari puncak hidung cewek itu yang mancung sempurna lalu menjalar ke ceruk mata Nina. Jari telunjuk Devano bergerak diantara alis hitam Nina yang bagai semut hitam beriring. Bulu mata Nina panjang dan lentik. Perlahan telapak tangan Devano berjalan turun ke pipi cewek itu yang nampak halus bak kulit bayi, lalu menjalar pada permukaan bibir Nina. Bibir itu ... Uhhh. Devano mengesampingkan protes yang akan dia dapati dari Nina, dia membungkukkan wajahnya dan mengecup bibir wanita itu. Bibir Nina manis: rasa strawberry, sepertinya dari lipstik yang Nina poleskan pada bibirnya. Devano suka bibir itu.
"Ugggh." Nina melenguh sebentar membuat bibir Devano mengulas senyum. Sebelum lepas kendali, Devano menarik diri, tak mau mengganggu tidur Nina. Setelah merapikan selimut yang menutupi tubuh Nina, Devano melangkah pergi. Namun baru melangkah beberapa centimeter, dia berbalik saat mendengar salah satu bantal sofa terjatuh. Tidur di sofa jelas bukan tempat yang nyaman. Devano melangkah ke sisi Nina dan sekejap saja telah menggendong tubuh itu.
***
"Kok Nina di sini?" Nina terbangun di tengah malam. Wajah Nina jelas terlihat kaget saat menemukan dirinya berada di atas ranjang spring bed dengan Devano di sisinya dan bukannya di sofa.
"Gue nggak bisa tidur. Temenin gue disini." Devano menatap Nina lembut penuh harap, membuat Nina tak sampai hati menolak.
"Cuma nemenin kan? Kakak di situ, Nina disini?"
"Menurut lo?" Devano tersenyum nakal sambil menelusuri tubuh Nina dengan matanya. "Gue berharap bisa lebih sih. Olah raga kayak dua hari lalu?" bisikan Devano di telinganya membuat mata Nina melotot dan dia buru-buru menarik selimutnya lebih tinggi lagi hingga ke wajahnya. Devano terkekeh beberapa saat sebelum menarik kembali selimut yang menutupi seluruh kepala Nina.
"Nina nggak mau lagi, Kak." Mata Nina menatap Devano menghiba membuat Devano merasa seperti seorang bajingan yang merenggut sesuatu yang berharga dari korbannya.
"Apa lo nggak menikmatinya kemarin? Apa gue perkosa lo?" Suara Devano terdengar kecewa. Tubuhnya yang tadi tengkurap menatapi Nina bergerak hendak turun dari ranjang. Nina buru-buru menyibak selimut dan bergerak memeluk pinggang Devano, menahan gerak pria itu.