"Gimana? Gimana, Hen?" Laudya dan Cherry bertanya antusias saat melihat Suheni turun dari mobil Arjun dan bersama Suheni segera ikut melambaikan tangan pada Arjun yang melaju meninggalkan gedung fakultas kedokteran.
"Seharusnya sih sukses," gadis itu berkata. Kedua sahabatnya menatap penuh keingin tahuan. "Sesuai nasehat dari lo -lo berdua, gue sukses buat Arjun terpaksa milih antara gue atau Saka." Suheni melangkah dengan girang. Kedua sahabatnya bergegas mengejar langkahnya. Mereka menuju lab anatomi.
"Ehhh ... Maksud lo?" Suheni dengan gamblang menceritakan kejadian yang terjadi di mobil Arjuna dalam perjalanan mereka ke kampus.
"Bego lo. Frontal amat sih lo ngusir si Saka."
"Kalau Arjun nggak suka cewek galak, habis lo. Besok pasti bakal diputusin."
Wajah cantik Suheni seketika pucat mendengar ucapan Cherry. "Ehhh, tapikan gue ikutin nasehat lo berdua. Lo yang minta gue buat mastiin Arjun harus memilih antara gue atau Saka."
"Tapi nggak gitu juga, Non."
"Saka itu sahabat Arjun sedari kecil. Gila lo muncul dan hancurin semua. Kalau dia beneran bucin ke lo, okelah. Kalau nggak? Image lo jelek."
"Main halus dong."
"Gue udah duluan kesal sama Saka. Lo udah gue ceritain juga, dia muncul beda banget pagi ini. Dia dandan cantik banget ke kampus. Demi apa juga, gue tahu yang dia incar itu cowok gue-Arjun. Mau dibilang dia itu udah punya pacar, mau dia bilang pacarnya, sahabat mereka juga di Fakultas Hukum dan tim basket fakultas. Preett ahh. Kayak gue anak bego aja. Gue anak Fakultas Kedokteran, coy, otak gue udah pasti encer dong, enak aja mau begoin gue. Gue tahu hubungan Saka sama cowoknya Alfabet atau siapa pun namanya itu cuma palsu. Awas aja kalau gue punya bukti. Gue bakal tunjukin ke Arjun."
"Yakin lo mereka cuma pura-pura?"
"Yakinlah. Sepengalaman gue mana ada orang baru pacaran malah milih nebeng sama sahabatnya bahkan saat pulang kampus juga. Gue baru jadian sama Alder aja, pisah bentar udah video call."
"Move on, Non. Arjun bukan Alder," Cherry mengingatkan. Suheni menghela nafas. "Maksud gue sama pacar-pacar SMA gue juga gitu." Suheni berdusta. Mana ada pacar SMA. Alder adalah cinta pertamanya.
"Iya, iya. Nggak usah kesal gitu."
"Kalau gitu, itu yang harus kita pastikan, biar mata Arjun terbuka lebar."
"Udah yuk. Kelas anatomi lanjutan udah mulai nih." Suheni dan kedua sahabatnya bergegas memasuki laboratorium anatomi. Dimana mereka dibagi atas beberapa kelompok dan tiap kelompok menghadapi sesosok cardevers yang sudah tersedia di meja periksa. Ini kelas pengulangan Suheni. Nilainya tidak buruk amat sih, C, beda dengan Laudya dan Cherry yang memang gagal total, tapi Suheni memilih mengulang pelajaran ini. Penting buatnya memastikan memahami seluruh tubuh pasiennya nantinya agar terhindar dari malpraktik. Ini salah satu mata kuliah terakhir yang dia ambil sebelum memastikan mengajukan judul buat skripsinya di semester depan sama seperti rencana Arjuna juga.
Dalam kelas mereka kali ini berisi dua ratus dua puluh orang, dengan enam belas cadaver. Jadi satu cadaver ditujukan buat dua belas hingga empat belas mahasiswa. Praktikum anatomi berlangsung dua kali dalam seminggu begitu juga anatomi lanjutan yang kini Suheni, Cherry dan Laudya ambil selama satu semester. Selama praktikum, mereka akan mengolah dan menganalisa cadaver mulai dari kulit, otot, tulang sampai organ dalamnya. Semua akan mereka bedah dan buka satu per satu, sehingga setelah semester berakhir, kondisi cadaver sudah tidak memungkinkan untuk dilungsurkan kepada angkatan berikut karena sudah berantakan. Maka mahasiswa baru harus menggunakan cadaver baru juga. Itulah salah satu alasan mengapa kuliah kedokteran mahal.
Selanjutnya cadaver tersebut akan dikumpulkan dan dikuburkan di taman samping ruang praktikum anatomi. Cerita-cerita itu didapatkan Suheni dan teman-temannya dari angkatan-angkatan sebelumnya. Suheni sendiri jelas tidak pernah melihat sendiri proses penguburan cadaver-cadaver tersebut. Setelah akhir semester, para mahasiswa-mahasiswi kedokteran kelas anatomi dan anatomi lanjutan hanya meninggalkan cadaver tersebut untuk dirapikan dan diurus oleh staff laboratorium anatomi.
***
Arjun menatap wajah dokter forensik di hadapannya itu dengan gusar. "Siapa yang butuh dilakukan visum?" Si dokter melongok ke kanan dan kiri untuk melihat sekeliling, jelas mencari petugas kepolisian yang bertugas untuk mendampingi dan membawa surat penghantar untuk korban tindak pidana melakukan visum. Namun tak menemukannya.
"Boleh saya mengganggu waktu dokter sebentar?"
Si dokter menatap Arjun lekat-lekat. Dokter itu mengangguk. "Baiklah saya berikan waktu sepuluh menit."
"Begini, Dokter apakah jika telah berjalan jauh dari waktu kejadian, visum masih bisa menemukan bukti kekerasan seksual pada korban?" Si dokter mengamati Arjun dengan serius. Menelaah apa maksud pertanyaan itu.
"Seberapa lama?" Bukannya menjawab sang dokter malah balik bertanya.
"Sangat lama."
"Kamu tahu, akan sulit untuk menangkap pelaku jika begitu. Untuk kasus kejahatan seksual harus segera dilakukan visum pada korban, bahkan sebelum korban berganti pakaian dan mandi atau melakukan hal lainnya agar jejak-jejak pelaku di diri korban dan TKP bisa ditemukan dengan sempurna."
"Saya tahu, tapi untuk kali ini kita singkirkan soal tersangka, saya hanya perlu tahu apakah tetap bisa ditemukan bukti bahwa di tubuh korban telah terjadi kekerasan seksual? Hanya itu," Arjun bicara pelan dengan perasaan gugup dan cemas. Sesekali dia mencengkram tali tasnya. Membicarakan ini terasa aneh dan tak nyaman, apalagi pada orang asing.
"Saya ingin bertemu korbannya."
Sekali lagi Arjuna menelan ludahnya dengan keras hingga tenggorokannya terasa sakit. "Saya." Mata dokter itu membulat. Mungkin bingung menatap pria tampan dengan tubuh sempurna dan proporsional itu serta dia yakini jago olahraga karena otot bisep yang tercetak di lengan Arjun, tapi nyatanya pemuda ini juga mengalami hal itu.
"Kapan kejadiannya?"
"Mungkin ketika saya berusia tiga atau empat tahun." Arjun mengepalkan tangannya keras-keras. Jantungnya berdegup kencang sekali. Apakah keputusannya untuk mencari tahu kejadian itu tepat atau malah akan membawa masalah besar di kehidupnya ke depan nanti? Tapi dia butuh mengetahui kejadian sebenarnya. "Saya tahu dalam keadaan normal visum tidak bisa dilakukan tanpa perintah kepolisian, tapi untuk kasus saya .., saya hanya ingin memastikan apa saya mengalaminya. Untuk menentukan langkah selanjutnya yang harus saya lakukan buat diri saya."