Friend Don't Kissing

Elisabet Erlias Purba
Chapter #85

Terungkap di Depan Alfandy

Langkah Arjun terhenti, tangannya yang ada di handel pintu ruang rawat VIP juga terhenti. Usai dari rumah sakit polri dia segera meluncur ke ruang rawat inap Mama Alfandy setelah membaca pesan WhatsApp group.

"Mama janji jangan marah sama Saka di depan teman-teman kita. Mereka mau menjenguk Mama siang ini. Bentar lagi sepertinya sampai."

"Kamu itu takut banget Mama marah sama Saka, segitu sukanya kamu sama dia?"

"Yang salah di sini, Fandy, Ma. Bukan Saka, Fandy yang maksa Saka buat bantuin Fandy supaya lepas dari jadwal ketemuan sama anak teman-teman Mama. Fandy yang minta Saka buat pura-pura jadi pacar Fandy. Kita cuma nggak nyangka kalau bakal panjang. Kan awalnya Mama bilang mau balik ke Pontianak setelah Fandy kenalin pacar Fandy, terus kita cuma kepikiran besok-besok saat Mama datang kita bilangnya udah putus. Jadikan bohongnya cuma sehari doang. Ehh, Mama kelamaan di Jakarta."

"Ckckck ... Pintar kamu, ya, udah sedetail itu mempersiapkan kebohongan kamu sama Mama."

"Awwwuu. Sakit tau, Ma." Suara pekikan Alfandy terdengar di telinga Arjun yang masih menguping pembicaraan itu. "Kayaknya Mama bohongan deh sakit. Cubitannya masih sekencang ini."

"Kalau kamu nakal seperti ini, mau sekarat juga, Mama bakal bangun buat ngehukum kamu." Tangis mama Alfandy terdengar.

"Lah kok, Mama nangis? Jangan nangis dong, Ma. Kalau teman-teman Fandy lihat kan nggak enak. Fandy minta maaf deh. Fandy janji buat jauhin Saka deh. Fandy bakal jaga jarak dari Saka."

Arjun menarik diri dari depan pintu itu. Ucapan mamanya pagi tadi benar. Hubungan antara Saka dan Alfandy cuma pura-pura. Arjun masih temangu di tempatnya ketika para rekan mahasiswanya muncul dari dalam lift. Ternyata dia lebih dahulu tiba dari teman-teman sefakutasnya. Mata Arjun dan Saka bersua saat menemukan gadis itu datang bersama yang lain.

***

"Tante baru ngaji, ya?" Suara Hanifa terdengar setelah percakapan singkat anak-anak fakultas hukum pada Fandy dan mamanya. Semua mata bisa melihat kitab besar itu di atas nakas di sisi pembaringan mama Alfandy.

"Iya, ini baru baca-baca beberapa ayat buat nenangin hati." Mama Alfandy tersenyum.

"Kayaknya lo kudu baca-baca lagi deh, Fan. Soalnya Alquran kasih semua jawaban buat permasalahan hidup kita kaum muslim. Termasuk soal calon isteri." Hanifa, gadis berhijab biru itu menatap Alfandy yang berdiri di sisi sang mama. "Gue bukan mau ngajarin, tapi berdasarkan riwayat dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassallam bersabda:تُنْكَحُ المَرْأَةُ لأرْبَعٍ: لِمالِها ولِحَسَبِها وجَمالِها ولِدِينِها، فاظْفَرْ بذاتِ الدِّينِ، تَرِبَتْ يَداكَ

Artinya: Wanita biasanya dinikahi karena empat hal: karena hartanya, karena kedudukannya, karena parasnya, dan karena agamanya. Maka hendaklah kamu pilih wanita yang bagus agamanya (keislamannya). Kalau tidak demikian, niscaya kamu akan merugi." (HR Bukhari Nomor 5090, Muslim 1466)"¹

Saka terbatuk seketika saat menemukan berpasang mata rekan mahasiswi dan mahasiswa terarah padanya. Saka ingin menghilang dari tempat itu. Nggak nyaman banget dipelototi seperti penjahat. Salahnya apa coba?

Drrrt ...

Saka bernafas lega saat ponselnya berbunyi. Tak perlu berbunyi kedua kali, dia telah buru-buru mengangkat benda itu dan dia tidak perlu tahu siapa yang menelponnya saat ini, Saka benar-benar merasa berhutang budi pada seseorang di seberang sana.

"Ya, Pa. Papa kok nelpon? Ada apa, Pa?" Saka berucap cepat tanpa memperdulikan ucapan orang di seberang sana yang memprotes perkataannya. Untungnya tak ada yang mengetahui hal itu. Dia lalu mengangkat wajahnya memandang semua orang dengan cepat. "Maaf, Tante, Fandy dan semua, Papa aku nelpon. Sepertinya penting banget. Aku keluar dulu, ya." Saka bergegas pergi ke luar ruang rawat inap itu membuat seluruh mata mengikuti langkah Saka hingga hilang di balik pintu.

Arjun baru akan beranjak mengejar Saka ketika suara Alfandy terdengar meminta izin pada sang mama untuk bicara dengan Saka. Alfandy bahkan tidak menanti jawaban sang mama, dia memilih keluar ruangan rawat inap itu.

***

"Bapak?" Saka menatap supir taksi online yang kini ada di hadapannya itu. Dia tahu Pak Dedy lah yang menelponnya tadi bukan papanya, tapi mengetahui pria ini ada di hadapannya kini, itu cukup mengagetkan.

"Saya mau ketemu Bu Cahaya."

"Tante Cahaya masih sakit, Pak. Belum bisa diganggu." Saka berusaha menahan pria empat puluh tahun itu dengan berdiri di hadapan Pak Dedy, menghalangi langkah pria itu yang berusaha menuju ke kamar rawat inap Tante Cahaya. "Please dong, Pak. Kan saya udah bilang dalam tiga hari saya akan bicarakan hal ini sama Tante Cahaya." Saka mencoba mengingatkan pembicaraan mereka. Semalaman dia berpikir keras karena melihat kondisi keluarga Alfandy yang masih agak menegangkan, dia akan bicara pada Papanya agar diberikan uang pinjaman lima belas jutaan untuk renovasi mobil Pak Dedy, tapi belum niatnya belum terealisasi, malah Pak Dedy sudah ada di hadapannya lagi. "Kita baru ngomongin itu kemarin kan, Pak? Bapak-kan setuju. Kok sekarang balik lagi?"

"Saya bukannya setuju, Neng. Saya terpaksa setuju. Kan Neng maksa."

Saka menghela nafas. "Kita bisa bicara di sana saja, Pak? Soalnya Tante Cahaya lagi menerima beberapa tamu." Tunjuknya pada sebuah tempat yang agak tersembunyi dari kamar rawat inap mama Alfandy. Menghela nafas, pria itu menurut juga. Sesungguhnya dia tak mau membuat malu siapa pun juga. Saka dan Pak Dedy berjalan menuju tempat yang ditunjuk Saka, tepat ketika itu, Alfandy melihat keduanya dan memilih diam-diam mengikuti keduanya.

"Saya nggak mau buat keributan, tapi tetap saja saya was-was, Neng. Neng, memang ngasih saya uang tiga juta lebih, tapikan tetap saja saya nggak punya pegangan. Semacam jaminan bahwa kerugian saya bakal diganti. Neng dan Bu Cahaya bisa aja nggak bisa saya temuin lagi. Saya masuk apartemen Bu Cahaya saja kemarin karena melas-melas minta tolong sama satu penghuni yang numpang ke mobil saya karena buru-buru. Mungkin kalau nggak buru-buru ngelihat taksi online yang datang hancur begitu, Beliau pasti nolak dan kalau bukan karena pertolongan Beliau, saya nggak mungkin bisa masuk ke apartemen yang gitu ketatnya." Langkah Alfandy terhenti. Dia memilih bersembunyi di balik sebuah tembok rumah sakit dan memastikan percakapan antara Saka dan pria yang tidak dia kenal itu. "Mobil saya rusak, Neng, bisa sampai lima belas jutaan biaya perbaikannya, kata tukang bengkel yang saya tanya. Kalau nggak cepat diselesaikan, saya tidak akan bisa mencari nafkah." Saka menghela nafas panjang. Tangannya bergerak meraih dompet dalam ransel hitam yang dia gunakan. Dua kartu Saka ambil.

"Ini KTP dan KTM saya, Bapak bisa simpan, saya nggak akan lari. Alamat saya ada di sana. Itu beneran rumah orang tua saya dan KTM itu bukti bahwa saya mahasiswi fakultas hukum, kalau saya menghilang, Bapak bisa hubungi Dekan Fakultas Hukum bahkan Rektor. Nggak mungkin data saya di sana juga palsukan? Nggak mungkin juga karena perkara begini, saya milih DO. Paling lama setahun lagi saya menyelesaikan kuliah saya, Pak. Saya mohon deh, Pak, kasih saya waktu tiga hari. Saya bakal bicara ke Papa saya dan Beliau pasti ngasih. Masak Bapak nggak percaya?" Saka bicara panjang lebar bagaikan sales asuransi mencoba meyakinkan calon kliennya. "Tolong, Pak." Saka melipat dua telapak tangannya ke dada, untuk memohon. Telapak tangannya bergerak menggosok membuat Pak Dedy tak sampai hati.

"Iya, deh. Saya percaya, Neng, tapi tolong Neng supaya semua bisa diselesaikan secepatnya. Saya butuh uang buat kebutuhan keluarga saya, Neng."

Lihat selengkapnya