Devano melajukan mobilnya meninggalkan rumah sakit. Perasaannya sedikit lega karena dia sukses menghindari Denise yang tanpa sengaja dia temui di lantai satu rumah sakit, agaknya Denise tengah berobat. Mata Denise terlihat menatapnya penuh dendam saat mata mereka bersua tatap tanpa sengaja, jelas Denise masih mengingat kekalahannya di bar and lounge tadi malam. Tak ambil pusing, Devano melajukan mobilnya menyusul teman-teman fakultas hukum yang telah meninggalkan rumah sakit lebih dahulu dari dirinya.
Malas melintasi jalan raya yang padat dan ramai, Devano memilih rute alternatif yang agak sepi dan lengang. Dia harus masuk dari satu gang ke gang lain dengan berbekal tuntunan dari google map. Petunjuk google map setelah gang ketiga, dia akan bertemu jalan raya, nyatanya setelah gang ke empat selesai, jalan raya belum juga terlihat. Perasaan Devano mulai tak nyaman ketika dia menemukan gang ke lima.
Mata Devano liar mencari ke sana kemari, berharap ada penduduk yang lewat dan dia bisa bertanya, atau tiba-tiba di depan sana benar-benar ada jalan raya.
Ciiittt!
Devano menginjak rem sekuat tenaga saat sebuah motor keluar seenaknya dari halaman sebuah rumah. Pengendara motor itu mengeluarkan caci maki dan memukul body mobil Devano dengan emosi.
"Turun lo!"
"Lo yang salah! Keluar seenak jidat lo!" Devano menyahut tak mau kalah.
"Keluar lo atau gue hancurin mobil lo sekarang juga!"
Devano hanya tersenyum sambil mengambil ancang-ancang melajukan mobilnya dan memang tepat setelah ucapannya selesai, mobil itu segera ia lajukan dengan kecepatan tinggi sambil mengacungkan jari tengahnya. Si pengendara motor mengumpat kasar lalu berteriak memanggil teman-temannya yang segera keluar dari dalam rumah.
"Ada apa?" Seorang pemuda sebaya Devano muncul belakangan.
"Boss, seperti musuh Boss yang kemarin lalu itu sengaja datang ke sini buat menghina boss."
"Yang mana?"
"Yang kita gebukin di depan kampus, tapi sayangnya ditolong warga sebelum dia benar-benar mampus."
"Devano maksud lo? Cari mati anak itu. Cepat, cepat kejar!" Aryo Bayu ingat bagaimana wajah songong Devano, juga masalah mereka di masa SMA. Emosi laki-laki itu menggelegak saat mengingat bagaimana Sahara, kekasihnya malah berselingkuh dengan Devano dan memilih memutuskan hubungan dengannya. Rasa sakit itu tidak akan pernah bisa hilang. Tangan Aryo Bayu terangkat dan segera segerombolan anak muda itu berlarian menuju sepeda motor mereka dan keluar dari pekarangan rumah, berpencar menembus gang-gang yang ada. Paling akhir adalah si pemberi perintah.
***
Cittt.
Sekali lagi Devano menginjak rem lebih kencang karena sebuah motor yang muncul seenak di hadapannya. Devano belum menyadari apa yang tengah terjadi ketika motor-motor lain muncul di sekitaran mobilnya. Sesekali pengendara motor itu menendang body mobilnya lalu Devano menemukan wajah pemuda yang tadi keluar dari halaman rumah dengan seenaknya dan nyaris terlindas oleh mobilnya.
Sial, Devano mengumpat dalam hati saat memahami situasi. Dia tahu dia sedang bermasalah dengan sekelompok anak muda bermasalah.
Namun baru saja selesai mengumpat, seraut wajah yang muncul di sisi kiri jendela depan mobilnya membuatnya menyadari dia benar-benar berada dalam masalah. Aryo Bayu, rival bebuyutan di masa dia SMA itu ada di sisi luar mobilnya bersama serombongan pemuda pemudi sebaya diri mereka.
"Double shit! " Devano mengumpat lagi. Lalu melajukan mobilnya makin kencang. Dia harus segera keluar dari kejaran para berandalan ini dan tak boleh berhenti atau dia akan jadi bulan-bulanan. Apa pun yang terjadi dia harus tiba di jalan raya yang lebih ramai. Di sana dia akan lebih aman.
Jangan pikir dia takut. Dia tidak pernah takut, hanya realistis dengan perbandingan jumlah yang tak seimbang satu banding tiga puluh atau empat puluh orang, dia bukan hanya akan tinggal nama, tapi benar-benar jadi mayat yang tak dikenali. Devano melaju terus dan kini memasuki jalanan yang lebih lebar hanya saja situasinya masih sama: sepi.
Menekan gas lebih dalam, laju mobil Devano tak tertandingi sampai mobilnya berhenti seketika dan tak mau hidup lagi. Dia kehabisan BBM dan dia baru menyadari hal itu setelah membuka kap mesin dan bergumul dengan bagian printilan dari mesin mobilnya. Meraih ponselnya, Devano segera mencoba menghubungi Andra dan Vano.
"Lo berdua di mana nih? Mobil gue mogok. Gue kehabisan BBM. Gue nggak tahu dimana nih. Mulanya gue cuma coba cari jalan pintas, malas kejebak macet, malah ketemu beberapa berandalan, sekarang mereka masih ngejar gue. Bentar gue shareloc. Prank prenk. Gue nggak main-main, Dra. Gue serius." Devano menegaskan pada Andra yang sempat menyatakan dia mencoba mem-prank mereka. "Bodoh, ahh, kalau lo nggak percaya. Aryo Bayu sama genk nya beneran ngejar gue nih."
Devano menutup ponselnya dan menanarkan pandangannya ke sekitar. Suasana memang benar-benar sepi. Dia harus menghubungi Arjun dan Alfandy, mana tahu keduanya bisa menolongnya. Devano mencoba menghubungi Arjuna, tapi konsentrasi Devano segera pecah saat suara deru sepeda motor terdengar mendekat ke arahnya. Masuk ke dalam mobil, Devano mencari sesuatu yang bisa dia gunakan sebagai alat untuk pembelaan diri. Devano menemukan kunci Inggris dan mengambil ancang-ancang untuk bersiap. Belum sempat menuntaskan usahanya menghubungi Arjuna, deretan motor itu muncul dengan suara memekakkan telinga.
"Lo berani juga, ya, nantangin gue?"
"Gue nggak ada urusan sama lo."
"Bohong itu, Boss, dia nantangin Boss," pemuda yang tadi berselisih paham dengan Devano memotong ucapan Devano.
"Takut lo?"
"Lo yang penakut. Kalau berani, ayo hadapi gue satu lawan satu."
"Ngapain gue nagadapin lo satu lawan satu, mubazir dong gue bawa pasukan segini banyaknya." Tawa Atyo Bayu terdengar mengejek.
"Lo jangan macam-macam, teman-teman gue juga bakal datang."
"Oh, teman-teman lo yang empat orang plus satu cewek cemceman buat berlima itu?"