Friend Don't Kissing

Elisabet Erlias Purba
Chapter #88

Menjenguk Kak Dev

"Kita antar lo ke apartemen," Andra dan Vano mengajukan diri pada Devano yang nampak luka-luka.

"Sebelumnya lebih baik lo buat visum dulu, Dev ke rumah sakit kepolisian," Arjun mengingatkan sambil memandangi para polisi menggiring Aryo Bayu dan beberapa temannya memasuki mobil patroli kepolisian yang tadi datang atas permintaan Arjuna. Salah satu keuntungan menjadi asdos dan aktif di pemerintahan kampus adalah dia mengenal dekat beberapa petinggi menengah kepolisian yang menjadi lulusan universitas mereka dan mempermudah dia meminta tolong pada urusan Devano. "Untuk memberi pelajaran buat Aryo Bayu agar jangan macam-macam lagi dengan kamu. Kita anak fakultas hukum tau, berandalan macam mereka nggak boleh macam-macam sama kita."

"Tul. Setuju gue," Andra dan beberapa teman mereka sependapat dengan Arjuna. "Dan gue juga bakal bersaksi di kantor polisi."

"Gue juga."

"Gue juga."

"Saya juga mau divisum. Muka saya lembam gini. Pokoknya saya mau mereka dipenjara lima tahun. Biar kapok."

"Selamat siang, semuanya." Seorang polisi mendekat pada para mahasiswa fakultas hukum yang tengah bergerombol. "Saya meminta kalian semua ikut ke kantor polisi untuk memberikan kesaksian dan mengikuti beberapa prosedur pengumpulan alat bukti termasuk pengambilan visum. Polisi punya komitmen untuk memberantas kejahatan berkelompok termasuk geng motor seperti ini. Kami harap kalian semua tidak keberatan untuk ..."

"Nggak, Pak. Nggak keberatan."

"Kita bersama Polri untuk memberantas sampah masyarakat seperti mereka ini."

"Kalau begitu kita ketemu di kantor polisi."

"Siap, Pak!" Suara serentak bergema dari para mahasiswa fakultas hukum ditambahi penghormatan membuat si polisi dan teman-temannya tersenyum lalu turut menghormat sebelum semuanya bergerak memasuki kendaraan mereka masing-masing, sepeda motor dan mobil patroli lalu disusul oleh Devano dan rekan-rekannya termasuk Arjun.

***

Rasanya hari berjalan dengan lambat sekali usai dia tanpa sengaja mendengar kabar tentang accident yang Kak Devano alami siang tadi dari percakapan para mahasiswa dan mahasiswi fakultas hukum yang tengah makan di kantin. Pembicaraan dengan teman satu sekolah yang muncul di kantin Pakde terasa garing.

"Bentar ya, Do, aku beresin meja-meja dulu," Nina pamit pada Dodo Sutoyo lalu bergegas menuju meja-meja yang telah kosong dan ditinggalkan para pelanggan. Sekali lagi sambil berbenah Nina melirik ponselnya, sekedar memastikan waktu yang ada. Sudah jam lima sore. "Nin, kamu ada masalah apa toh? Kok resah banget? Aku lihat dari tadi kamu lihatin ponsel mulu." Ucapan Dodo mengejutkan Nina. Apalagi saat Nina menyadari cowok itu juga tengah membantunya merapikan meja-meja bekas para pelanggan.

"Ehh .. nggg ... Dod, kamu nggak pulang? Mejanya biar aku yang beresin. Nggak enak aku jadi ngerepotin kamu."

"Kamu nggak ngerepotin aku kok. Aku yang mau bantuin kamu."

"Terima kasih, ya, Dod." Nina buru-buru membawa piring-piring kotor dan segera mencuci piring.

"Nak Dodo duduk aja. Biar Nina yang kerjain," Pakde angkat suara saat melihat Dodo nampak sibuk.

"Nggak apa-apa Pakde. Saya senang bisa bantuin Pakde dan Bude juga Nina." Dodo sudah dikenal Pakde dan Bude Nina sejak lama, bahkan bukan hanya Pakde dan Bude, Ibu Nina juga mengenal dekat pemuda baik itu. Beberapa kali saat liburan sekolah, Dodo bahkan mengunjungi rumah Nina di kampung. Keluarga Dodo ternyata juga memiliki rumah dan sawah di desa Nina.

"Nin, kalau kamu mau cari bojo cari yang seperti Nak Dodo. Cakep, pintar, terus rajin juga. Sempurna." Bude menimpali membuat wajah Dodo, si mahasiswa sastra Indonesia itu sumringah, cowok itu melirik Nina yang nampak cuek dan disibukkan dengan tumpukan piring kotor. Sebenarnya sambil mengerjakan tugas mencuci piring, Nina terus berpikir keras untuk mencari cara meminta izin pergi pada Pakde dan Budenya agar bisa mengunjungi Kak Devano, Nina ingin memastikan keadaan laki-laki kesayangannya itu baik-baik saja. Tapi .. bagaimana dia minta izin ke Pakde dan Bude agar diizinkan? Nina tahu nggak mungkin jujur karena Pakde dan Budenya pasti menolak mentah-mentah permintaannya. Kepala Nina berputar keras. Dia bahkan tak menyadari kalau Dodo bahkan membantunya melap piring-piring yang telah ia cuci hingga mempercepat pekerjaannya sementara di depan sana, Pakde merapikan barang dagangan dan Bude menyapu kantin.

"Nin, kamu ada waktu nggak weekend nanti? Nonton bioskop bareng aku, yuk, ada film bagus katanya ..."

"Bude, Nina udah siap. Nina mau ke rumah Sulastri, ya."

"Loh kok mau ke rumah Sulasri lagi? Piye toh iki?"

"Katanya siang tadi Sulasri kecelakaan, Bude. Abis nganterin Nina ke depan kampus. Nina mau tengokin, Lasri. Nggak enak udah nganterin Nina, eh, malah kemalangan."

"Ya ampun kok bisa apes gitu, ya, tapi kamu tanya Pakdemu sana. Bude sih terserah Pakdemu saja." Nina bergegas menghampiri Pakdenya dan segera meminta izin.

Nina minta maaf dalam hati setelah menggatakan kebohongan lagi. Kalau diingat-ingat ini kali kedua dia berbohong pada keduanya. Nina harap kebohongan ini tidak pernah terungkap. "Boleh toh, Pakde?"

"Nanti Pakde antar kamu."

"Nggak usah, Pakde. Nanti keburu malam."

"Udah tahu nanti keburu malam, gimana Pakde bisa melepas kamu sendirian ke rumah Sulasri"

Lihat selengkapnya