"Kamu punya banyak uang? Kemarin urusan beli buku, belinya bekas, udah bekas- yang paling ancur lagi biar murah kan? Giliran bawa makanan sebanyak ini." Devano menggeleng-gelengkan kepalanya sambil membuka kotak kue bolu yang ada di hadapannya.
"Nggak usah ngeledek deh, Kak. Kalau nggak suka, ya, udah, nggak usah dimakan. Nina bisa habisin sendiri." Nina mengambil kue bolu yang dia bawa dari atas meja yang ada di hadapan mereka kini. Namun segera mendapatkan reaksi dari Devano:
"Enak aja. Bawanya buat gue kan?" Devano merampas kembali sekotak bolu yang dirampas Nina dari hadapannya. Lalu mencomot sepotong bolu lagi.
"Kak Dev baru selesai makan bubur loh. Nggak baik makan lagi."
"Pernah dengerkan kalau orang sakit butuh banyak makan biar cepet sehat?"
"Banyak a ..." Ucapan Nina terhenti saat Devano mendorongkan sepotong besar bolu ke dalam mulutnya. Cowok itu tertawa saat melihat bagaimana Nina kelimpungan karenanya. Nina buru-buru menegak segelas air di hadapannya.
"Isssh jahat! Kalau tadi pernafasan Nina tersumbat gimana? Kak Dev emang mau tanggung jawab?"
"Kakak kasih CPR plus kissing. Kamu untungnya seribu persen tau. Atau mau diganti ruginya sekarang aja? Ayuk." Devano yang usil menarik tubuh Nina yang ada di sisi sofa lain kearahnya, tapi kini sukses dielakkan oleh Nina. Memeletkan bibirnya Nina terlihat mengejek, membuat Devano mengejar hingga keduanya saling berpelukan berhadapan. Devano menatap wajah natural nan cantik itu. Mata Nina yang bulat dan bercahaya, hidung Nina yang mancung dan bibir Nina yang ...
"Tadi Nina udah bilangkan kalau Nina minta izin ke Pakde buat bisa ke rumah Lasri?" Nina membuka pembicaraan berharap bisa mengurangi degupan kencang jantungnya yang bak genderang perang itu. Devano tak menjawab. Matanya lekat menatap dua garis kembar nan lembut itu. "tapi Pakde nggak ngizinin Nina kecuali Nina diantar Dodo."
"Dodo?" Devano bertanya seadanya. Meneguk ludahnya saat pikirannya mulai liar membayangkan bagaimana bila dia dan Nina saling bertukar saliva.
"Teman sekolah Nina di desa, Dodo ternyata kuliah di Fakultas Sastra loh, Kak. Dodo tadi nggak sengaja ketemu Pakde di pasar dan bantuin Pakde angkat barang belanjaannya ke kantin jadi kita ngobrol, terus waktu Dodo dengar Nina mau besuk Lasri, Dodo nawarin diri buat antarin Nina dan bawa Nina balik pulang juga, barulah Pakde kasih izin."
"Jadi dimana dia? Di lobby?" Devano tak mengalihkan sedetik pun pandangnya dari makhluk di hadapannya itu. Nina menggeleng.
"Di pinggiran jalan. Nina tinggal." Devano melotot. Nina menatapnya tanpa dosa. "Nina nggak mungkin kan bawa Dodo ke apartemen Kakak, nanti Pakde dan Bude tau. Jadi Nina gembosin ban motor Dodo."
"Apa?" Mata Devano membulat tak percaya. Ada tawa lebar di bibir Devano.
"Nina terpaksa," ujar Nina membela diri.
"Kamu beneran nakal, ya. Benar-benar, ya. Gadis nakal harus dihukum." Devano menggelitik pinggang Nina dan membuat Nina kegelian. Menggeliat Nina berusaha melepaskan diri, tapi hal itu malah membuat Devano dan dia saling berpelukan. Kedekatan ini membuat jantung Nina berdegup lebih kencang dari pukulan pemain marching band di acara tujuh belasan yang ada di desanya.
Mengalihkan tatapannya, Nina malah berakhir menelusuri tubuh Devano dari ujung kaki ke ujung rambut. Sebenarnya begitu juga Devano, tapi Nina bahkan tak menyadari hal itu. Semburat merah merona mewarnai wajahnya saat mata Devano memergokinya yang tengah menelusuri tubuh Devano.
"Kamu suka?"
"Maksud Kakak?" Suara Nina terdengar pelan dan bingung.