Friend Don't Kissing

Elisabet Erlias Purba
Chapter #90

Tekad Alfandy

Entah berapa lama Alfandy memandangi wajah sang mama, wanita yang telah melahirkannya itu kini nampak jauh lebih segar. Dia baru saja memberikan mama obat. "Kenapa kamu memandangi Mama seperti itu sedari tadi?" Mama tersenyum manis. Namun tetap saja Alfandy bisa melihat luka dalam senyum itu. Air mata mama yang tertahan demi agar dia baik-baik saja. Papa menyelingkuhi mama. Mamanya pasti menangis deras sekali, tapi dia bahkan tidak tahu hal itu sampai kemarin, dia benar-benar bukan anak berbakti.

"Fandy, ada yang kamu pikirkan?" Mama bertanya. Ada kecemasan yang dapat dirasakan oleh Alfandy dari nada suara mamanya.

Apa mamanya mulai mencemaskan kemungkinan dia mengetahui rahasia yang mama dan Saka simpan beberapa lama ini? Alfandy menebak-nebak.

"Kamu mikirin Saka lagi? Apa Saka mengatakan sesuatu?"

"Mengatakan apa, Ma?" Alfandy menatap sang mama serius membuat mamanya jelas tergagu.

"Kee ... marin kaa .. mu nyusul Saka keluar kan, mung .. kin dia mengatakan sesuatu? Maksud Mama tentang hubungan kalian."

"Nggak ada yang dikatakan Saka tentang hubungan kita, Ma, tapi dia mengatakan sesuatu yang sangat penting ..."

"Sangat penting? Apa pun yang dikatakan Saka itu tidak benar." Mama terlihat panik. "Jangan dengarkan Saka ... Saka itu kalau ngomong suka berlebihan."

"Saka cuma bilang, Fandy harus selalu menyayangi Mama karena Mama jelas telah menyayangi Fandy lebih dahulu bahkan sedari Fandy masih ada di kandungan Mama. Apa yang nggak benar?"

"Benar Saka bilang begitu?"

"Mama jangan negatif thinking mulu ke Saka." Senyum mama terlihat. Ada kelegaan di sana. Fandy menghela nafasnya saat rasa haru merayap di hatinya. "Fandy ngeliatin Mama karena terpesona. Fandy baru nyadar kalau Mama tuh cantik banget." Tawa mama terlihat lebar.

"Ngerayu kamu. Mama jadi curiga pasti mau sesuatu kan? Mau minta apa?"

"Tuh kan .., tuh kan, kebiasaan Mama nih, kalau orang bersikap baik langsung curigaan."

"Abis kamu nggak pernah baik kalau nggak ada maunya," ucap Mama sambil tertawa lepas dan walaupun ucapan mama pedas, tapi kali ini Alfandy juga tertawa. Nggak sakit hati sama sekali.

"Mama cantik tau kalau ketawa seperti ini."

"Ngerayu terus. Anak Mama ini sebenarnya mau minta apa?" Alfandy terkekeh kecil. Dia membiarkan mamanya menangkup pipinya. Mata mereka bertemu dan entah mengapa Alfandy rasanya ingin menangis sekencang mungkin sambil memeluk sang mama, menangisi keadaan keluarga mereka saat ini. Namun perkataan Saka membuatnya mengurungkan niat itu. Dia ingin mamanya bahagia, seperti mamanya yang telah bertahan untuk tersenyum dalam situasi sulit ini, dia juga akan tersenyum selebar mungkin untuk mama.

"Fandy sayang sekali sama Mama. Mama tahukan? Apa pun yang terjadi, Fandy akan selalu ada untuk Mama. Maafkan Fandy kalau Fandy sudah buat Mama sedih dan kecewa. Maafkan Fandy kalau nggak tahu itu buat Mama sesakit ini." Fandy mendekap erat tubuh mamanya. Air mata pemuda itu jatuh juga.

"Fandy, Sayang. Mama baik-baik saja." Mama Alfandy mengelus punggung sang putra. "Mama tahu kamu sayang sama Mama dan Mama sakit bukan karena kamu, tapi karena Mama saja yang kurang jaga kesehatan. Masalah kamu sama Saka nggak buat Mama sakit, apalagi Mama tahu itu cuma pura-pura." Cahaya berhenti bicara. Dia tahu jelas bagi Alfandy perasaan cinta putranya itu ke Saka bukan pura-pura. Dibelainya rambut sang putra dengan penuh kasih. Matanya menatap sang anak dengan hangat. "Mama baik-baik saja, kamu juga harus baik-baik saja. Rajin-rajin sholat. Minta petunjuk sama Allah, kamu pasti dikasih ganti gadis yang lebih cantik dan soleha daripada Saka. Kalian beda, Nak. Baiknya cuma untuk menjadi teman. Mama harap kamu paham. Nikah beda agama itu rumit. Waktu muda mungkin kamu ngerasa itu benar, tapi ketika tua. Satu-satunya pegangan hanya Allah, saat itu kamu mulai mikir harusnya dulu nggak gini. Udah. Anak laki-laki nggak boleh cengeng tau." Mama Alfandy menyeka air mata sang putra dengan penuh kasih sayang demikian juga Alfandy menyeka air mata mamanya. Perlahan sang mama melangkah menuju meja besi berlaci dua di sisi tempat tidur dan meraih sebuah gelas, mengisinya dengan air yang akan dia berikan buat sang putra. Alfandy menatap punggung sang mama lekat-lekat dengan sebuah tekad bulat di dadanya.

Dia akan mencari wanita itu. Wanita yang berani-beraninya memasuki kehidupan keluarganya yang aman dan tentram dan merebut papa dari mamanya. Dia akan membuat perhitungan dengan wanita berengsek itu. Dia akan membuat wanita itu membayar setiap tetesan air mata yang keluar dari pipi mamanya. Dia bersumpah demi Allah. Alfandy mengepalkan tangannya.

Namun hal pertama, dia jelas harus kembali ke perumahan pondok Indah Mutiara. Alfandy bertekad akan menemui pelakor itu.

"Mama baik-baik sajakan kalau Fandy tinggal?"

"Memang kamu mau kemana?"

Lihat selengkapnya