Hari sudah cukup sore ketika Fandy melangkah gontai menuruni mobil yang dia kendarai di pelataran depan sebuah bengkel. Wajahnya nampak kusut. Dari kejauhan Arjun yang melihatnya segera melambaikan tangan sambil memberitahu seorang lelaki tiga puluh tahunan yang tengah sibuk memeriksa si hitam.
"Over all semua masih bagus. Kamu cukup telaten menjaga si hitam."
"Udah kayak pacar sendiri soalnya," ujar Arjun sambil tersenyum lebar.
"Terus Saka?"
"Bang Iko sama kayak yang lain, suka salah sangka mulu. Gue sama Saka itu sahabatan, Bang. Ngertikan sahabatan. Bestie."
"Emang ada yang marah kalau kau suka sama dia?"
"Bukan soal ada yang marah, Bang, tapi nggak suka aja. Maksud saya: saya nggak ada rasa tertarik sama Saka sebagai wanita buat dipacari."
"Masak lama sahabatan sama Saka kau nggak ada rasa suka sedikit saja sama Saka. Saka itu cantik, tapi tak sok cantik, tak manja juga. Tipe aku."
"Kan tipe bang Iko. Bukan tipe saya. Udahan ngomongnya tentang Saka, Bang. Tuh teman saya, Bang yang mau itung-itungan soal mobil yang masuk kemarin." Arjun melambaikan tangan pada Alfandy yang berjalan ke arah mereka.
"Ini Alfandy, Bang."
"Ini Bang Iko, Fan, tapi bukan Iko Uwais, Iko Panjaitan. Tepatnya Bang Nikolas Panjaitan. Masih satu marga sama Pak Luhut."
"Opungku itu. Aku keturunan ke ke-sepuluh. Tapi ... tunggu dulu, kok kulihat-lihat kusut kali mukamu itu? Nggak apa-apa kan Mamakmu itu?"
"Maksud Bang Iko, Mama lo, Fan. Tante Cahaya."
"Baik. Mama saya baik-baik saja, Bang." Alfandy menatap Arjun tajam, jelas tak suka sahabatnya itu asal umbar masalah keluarganya.
"Waktu kecelakaan ini luka cemana dia?" Bang Iko lebih sering menggunakan gaya bahasa Medan padahal sudah di Jakarta.
"Maksud Bang Iko bagaimana luka yang Mama lo alami waktu itu?"
"Luka ringan di kening, Bang. Udah dijahit. Baik-baik saja."
"Berarti masih dilindungi Tuhan dia itu. Lihatlah rusaknya mobil ini, kalau lihat kerusakan mobil ini, pasti mobil mamakmu itu lebih hancur lagi. Jadi dia pasti patah tulang kaki atau tulang punggung. Tapi cuma luka ringan di keningnya?" Alfandy mengangguk. "Naik mobil apa waktu itu Mamakmu? Pasti pas atret dia kan, terus nabrak mobil di belakangnya? Untungnya Bapak itu lagi di luar kalau tidak udah jadi perkara itu di kantor polisi." Alfandy menggangguk-angguk saja. Kepalanya sedang mumet, menterjemahkan bahasa bang Iko lebih buat sakit kepala lagi. Atret-atret bahasa apalagi itu?
Mekanik Arjun memang orang Medan, tapi parahnya setelah lama di Jakarta dia masih asyik dengan bahasa kampung halamannya.
"Langsung hitung-hitungan harganya aja, Bang, maaf saya masih ada urusan lain," Affandy buka suara. Bang Iko yang bukan Iko Uwais segera menurut. Sebentar saja pria itu telah menjulurkan perkiraan kerusakan dan harga yang harus dibayarkan buat perbaikan itu.
"Ada beberapa bagian seperti yang disini. Disini dan disini." Bang Iko menunjukkan bagian bagian mobil yang dia maksud. "Bisa diketok magic, tapi ini dan ini jelas harus diganti baru." Alfandy manggut-manggut sambil terus mendengarkan penjelasan bang Iko. "Kalau di tempat lain pasti lewat dari harga yang ditawarkan. Karena kau sahabat Arjun, bolehlah harga persahabatan asal jangan lupa kalian nanti kalau udah sukses dan aku punya masalah, belalah aku. Jangan pula kalian pura-pura lupa."
"Emang Bang Iko punya niat kena kasus?"
"Tak ada niatku, cuma bersiap-siap, tak ada salahnya kurasa. Aku buka bengkel, preman banyak kalau lagi naik darah tinggiku bisa kena perkara aku."