Friend Don't Kissing

Elisabet Erlias Purba
Chapter #92

Menjemput Mama Alfandy

Saka, Andra, Vano dan sang kekasihnya Irene melangkah menyusuri koridor rumah sakit menuju kamar inap Tante Cahaya. Agak jauh ada Devano dan juga Arjuna yang datang bersama Suheni. Mereka melangkah dengan suasana yang sedikit tegang karena kemunculan mendadak Suheni yang ingin ikut membesuk mama Alfandy, seperti tidak ada hari lain.

Andra, Irene dan Devano alias Vano nyaris nggak habis fikir alasan Arjun mengizinkan Suheni ikut bersama mereka sementara Saka ada di sini. Kalau ingin membesuk, kenapa tidak diminggu-minggu kemarin saja Arjun membawa Suheni membesuk Tante Cahaya, kenapa harus saat ada Saka-coba? Sebagai laki-laki saja mereka bisa paham kalau itu bisa menyakiti hati Saka, tapi entah mengapa cowok dengan IPK summa cum laude itu malah tak paham. Dasar cowok kutub.

"Lo nggak apa-apa kan, Ka?"

"Apaan sih lo nanyain mulu? Bosen gue tau dengerin pertanyaan itu itu mulu. Emangnya gue kenapa?" Saka mencoba untuk bersikap biasa saja saat pertanyaan itu muncul dari bibir Andra. Itu pertanyaan ke sepuluh kali dari sahabat -sahabatnya sejak sejam lebih dua puluh menitan lalu, saat pertama kali Suheni muncul di fakultas mereka yang sepi karena hari ini Sabtu- dimana kampus hanya didatangi mahasiswa mahasiswi yang mengambil kuliah pengganti atau sedang mengikuti kegiatan organisasi kemahasiswaan semacam pencinta alam dan wall climbing atau sekedar menghabiskan waktu membaca di perpustakaan, yang terakhir adalah hobby kaum intelektual tingkat atas dan introvert.

"Pahami kekwatiran gue. Di belakang sana, ada gebetan lo sama ceweknya, di dalam sana tuh pacar boongan lo. Hidup lo udah kayak drama aja Korea yang berakhir jadi film horor Thailand."

"Setan lo!" Saka memaki sambil memukul punggung Andra dengan kesal. "Nggak ada kisah horor di hidup gue. Lo kira gue Peek Mak? Gue nggak bakal bunuh diri."

"Dengar tuh, Dra. Saka Putri Pertiwi nggak bakal bunuh diri. Dia udah terlatih buat patah hati."

"Sialan lo berdua!" maki Saka saat Vano dan Andra tertawa terbahak-bahak sebelum Irene menegur kekasihnya itu dan membuat tawa Devano seketika berhenti.

"Kasihan banget nasib lo, No. Mau ketawa aja harus dapat izin ibu negara," ejek Andra yang membuat Devano memakinya. Andra ngakak pelan lalu menyanyi penuh sindiran: "ada enaknya jadi bujangan, bebas bicara tak ada yang melarang. Selalu hatinya bahagia. Aduh sedihnya punya kekasih, sebentar salah, sebentar ngambek. Tak pernah hatinya bahagia."

"Lo lagi curhat setelah lepas dari Dela, gitu?" Tawa Saka terlihat. "Kalau gue nggak salah lihat, kemarin Dela jalan sama Juno, anak anggota DPR itu."

"Nggak sakit hati gue. Emang nggak mau lagi sama dia," sambut Andra santai. "Tapi gue tahu yang sakit hati di sini gara-gara cewek fakultas kedokteran," balasnya.

"Lo ..." Saka bergeeak hendak menghajar cowok itu, namun Andra bergegas menghindar, membuat mata Saka tanpa sengaja memaku pada kemanjaan Suheni yang tengah bergelayutan mesra di lengan Arjun. Hati Saka bertanya-tanya apa sedari tadi begitu? Menelan ludahnya dengan keras hingga terasa menyakiti tenggorokannya, Saka menahan rasa sakit di dadanya. Tepat ketika itu, Devano - sang playboy tiba di sisi Saka dan segera memakaikan kaca mata hitam yang bergelantung manis di bajunya. Mata Saka beralih menatap cowok itu.

"Lo bisa nangis tanpa siapa pun tahu sekarang. Bahkan tidak juga Arjun. Jangan mandangin gue kayak gitu, nanti lo jatuh cinta sama gue." Kali ini Saka tak menyindir ucapan penuh kesombongan Devano, dia malah berterima kasih.

Mereka telah berada di depan ruang rawat inap mama Alfandy. Vano hendak mengetuk pintu, tapi Andra melarang. Di dalam sana terdengar suara Alfandy yang meminta mamanya duduk santai menunggui dia membereskan semua. Andra pelan-pelan membuka pintu itu.

"Suprise!" Pekiknya mengejutkan isi kamar. "Pagi menjelang siang, Tan." Suara Andra dan Vano yang serempak mengejutkan Tante Cahaya dan juga Alfandy yang tengah memprepare semua barang untuk kepulangan mereka hari ini dari rumah sakit. Fandy dan mamanya segera mengizinkan mereka masuk.

"Duduk aja. Sorry gue lagi prepare ini," Fandy berbasa-basi tanpa meninggalkan kesibukannya.

"Masuk." Devano yang ada di hadapan Saka memutar tubuh gadis itu dan mendorong Saka mengikuti Andra, Vano dan Irene yang telah memasuki kamar rawat inap mama Arjun lebih dahulu dan menyalami Tante Cahaya yang menerima uluran tangan itu dengan enggan.

"Pa .. siang, Tante, Fandy," Saka menyapa kaku dan buru-buru hendak lepas kaca mata hitamnya. Jelas cemas akan reaksi Tante Cahaya padanya, nggak pakai kaca mata hitam saja karena kesalahan yang dia dan Fandy lakukan, Saka jadi sungkan bertemu Tante Cahaya apalagi sekarang sok-sokan memakai kaca mata hitam. Kata orang itu kurang sopan dalam bertamu. Namun Devano buru-buru menahan niatnya. Tangan cowok itu menahan gerak tangan Saka yang hendak melepaskan kaca mata hitam.

"Lo harus tetap pakai kaca mata hitam. Lo mau apa, semua orang jadi tertular sakit mata lo? Nih si Saka lagi sakit mata, Fan." Devano beralih tatap pada Alfandy dan sang mamanya. "Kata dokter sih virus jadi amannya biarin dia pakai kaca mata hitam supaya tangannya nggak gatal garuk tuh mata."

"Tapi gue nggak sakit mata." Saka membuka kaca mata hitam yang dia gunakan. "Gue nggak bakal nangis di depan umum karena Arjun. Gue punya ketahanan diri," bisik Saka pada Devano. Matanya menatap semua orang.

"Kesombongan diri, maksud lo?"

"Terserah lo." Saka menyambut sambil menatap Devano tajam. Cowok itu tersenyum lebar lalu menyugar ubun-ubun Saka.

"Upss, tadi aku pikir Sak sakit mata, rupanya cuma gaya aja, tapi intinya kita datang buat bantuin lo, Fan," Devano memilih mengalihkan pembicaraan sambil tertawa keki. "Kabarnya Tante udah bisa pulang sekarang," Devano menambahkan, "sehat selalu ya, Tan. Jangan sakit." Devano menyalim mama Alfandy

"Terima kasih, ya, atas doanya. Fandy beruntung punya sahabat seperti kalian."

"Jelaslah, Tan. Kalau tuh anak nggak merasa beruntung punya sahabat kayak kita-kita, itu artinya dia kurang bersyukur."

"Yoi. Bener tuh," sambut Andra dan Vano cepat. Mama Alfandy tersenyum senang dan semua melupakan tentang kaca mata hitam. Namun Saka jelas tahu wanita baya itu menghindari menatapnya.

Lihat selengkapnya