Suara riuh di apartemen Affandy terdengar. Kedelapan mahasiswa itu bergerak cepat membagi tugas karena nyatanya apartemen Alfandy masih cukup berantakan, mungkin karena Alfandy memilih sepenuhnya berada di rumah sakit untuk menemani sang mama.
Sebenarnya mama Alfandy sudah meminta rekan-rekan Alfandy untuk tidak perlu membersihkan apartemen dan memilih akan memanggil jasa cleaning service keesokan hari. Namun para mahasiswa itu agaknya kurang nyaman membiarkan Tante Cahaya yang baru saja ke luar rumah sakit harus berada di tempat yang berantakan dan kotor. Mereka membagi tugas membersihkan rumah, sementara mama Alfandy memilih meminta Alfandy memesan makanan siap saji.
Keringat telah mengucur dari tubuh semuanya. "Capek," Suheni berkata pada Arjun sambil menerima botol air mineral yang diedarkan oleh Vano lalu menjulurkan botol air mineral itu pada Arjun yang segera membukakan botol itu buat sang pacar. Vano beranjak lalu memberikan air mineral pada Saka yang telah menyelesaikan pengepelan pada lantai apartemen. Memegang tongkat pengepel, Saka tertegun pada pemandangan itu. Dulu perhatian itu hanya tertuju padanya. Menggigit bibirnya Saka menghela nafas, menenangkan diri, dia berkata pada diri sendiri bahwa dia masih punya tangan yang kuat dan tidak butuh bantuan siapapun termasuk Arjun cuma buat membuka segel tutup botol air mineral. Namun baru hendak memutar tutup botol air mineral, sebuah tangan telah meraih botol air mineral di tangan Saka.
"Devano?" Saka menatap sang playboy yang kali ini benar-benar bersikap baik banget padanya. Devano menjulurkan botol air mineral yang telah dia buka. "Gue bisa buka sendiri sih, tapi thanks, ya, buat perhatian lo."
Devano mengangguk santai lalu membelai rambut Saka sambil berbisik: "jangan baper sama perhatian gue."
"Kalau lo nggak mau gue baper, kok lo caper pakai perhatian gini sama gue?" Saka menggoda sambil menegak air mineral di tangannya.
"Ya, udah, lo boleh baper, tapi kalau patah hati, itu bukan salah gue."
"Gue udah terbiasa parah hati tau." Tawa Devano terlihat lebar, Saka menambahnya, tepat ketika itu Alfandy melintas di hadapan mereka kemudian melirik Saka dengan tajam, membuat Saka terdiam seketika karena merasa tidak nyaman. Arjun diam-diam memperhatikan semua itu. Sementara suara Tante Cahaya terdengar menyuruh Alfandy dan yang lain menikmati pizza pemberiannya dan meminta izin ke kamar sebentar.
"Oke, sudah selesai semua? Kita makan snack dulu! Tante Cahaya beli Limousine pizza!" teriakan suka cita Andra terdengar kencang, membuat yang lainnya buru-buru berlari pada pizza yang terletak di atas meja tamu termasuk Saka dan Alfandy. Tak perlu jaim, para mahasiswa mahasiswi itu berebutan meraih potongan pizza di kotak berukuran panjang itu. Tangan Saka dan Alfandy berada pada pizza yang sama. Rebutan pizza membuat Saka dan Alfandy saling bertatapan lalu buru-buru saling melepas pizza di tangannya. Sepotong pizza yang jatuh itu segera membuat teman-teman mereka protes keras.
"Issh, lo berdua itu ... Mubazirkan pizza-nya!"
"Maksud gue mau kasih ke Fandy, mana gue tahu, kalau Fandy juga ngelepasin tuh pizzaa."
Ucapan Saka terhenti saat suara Alfandy terdengar: "Lo semua makan aja, gue nggak selera."
"Fan, tapi inikan dibeliin Tante Cahaya buat kita semua."
"Gue nggak selera." Alfandy melangkah pergi. Saka yang melihat hal itu menghela nafas lalu memilih melangkah mengejar langkah Alfandy yang menuju ke kamarnya.
"Fandy!" Alfandy memilih pura-pura tidak mendengar dan melanjutkan langkah tanpa menoleh. Sukses mengejar langkah cowok itu, Saka meraih pergelangan tangan Alfandy, memaksa cowok itu berhenti. "Gue mau bicara."
"Gue nggak mau dengar apa pun." Fandy kembali memilih melangkah.
"Oke kalau kamu nggak mau kasih sebentar saja waktu kamu buat aku." Saka menghela nafasnya. Berdiri tegak memandang punggung Alfandy yang menjauh, Saka berteriak: "Gue ngomong disini aja! Kata Arjun lo kesal sama gue karena ..." Suara Saka membuat semua mata beralih menatap mereka dan Alfandy buru-buru membalikkan badannya, lalu melangkah menghampiri Saka, meraih pergelangan tangan gadis itu dan menariknya pergi ke luar unit apartemen di bawah tatapan mata Arjun dan teman-teman mereka lainnya yang menghentikan makan pizza. Bertepatan juga dengan mama Alfandy yang baru saja keluar kamar dan kemudian bergegas mengejar keduanya.
Arjun juga berniat mengejar, tapi baru akan melangkahkan kaki meninggalkan teman-temannya, tangan Suheni telah menahannya. "Mau kemana? Ngejar Saka?" Suheni berujar dengan suara berbisik. Dia tak ingin teman-teman Arjun dan Saka bakal bahagia melihat kehancuran hubungannya dan Arjun. Jangan kira dia bego, dia jelas tahu mereka semua tidak menyukai hubungannya dan Arjun. Mereka semua ada di pihak Saka, cewek menyebalkan itu. "Saka bakal baik-baik saja, Alfandy nggak akan melakukan hal buruk sama dia. Stop ngurusin hidup Saka. Kamu yang bilang kalian hanya sahabat. Kamu nggak mau dia salah paham sama kamukan?" Arjun menghela nafas lalu mengangguk mengakui kebenaran ucapan Suheni. "Aaa ..."
Suheni menjulurkan sepotong pizza yang ada di tangannya ke mulut Arjun yang membuka mulut dengan senang hati. Mata seluruh rekan mereka memandangi keduanya, merasa kasihan pada Saka.
***
"Dari awal, lo tahukan siapa selingkuhan Papa gue? Tapi lo milih nyembunyiin itu dari gue, tapi malah nyeritain itu sama orang lain. Lo harusnya ngomong ke gue bukannya ke orang lain! Yang lo ceritain itu masalah gue! Lo punya attitude nggak?!" Alfandy berteriak marah begitu saja setelah mereka tiba di tempat sepi, di tangga darurat. Memojokkan Saka di dinding tangga darurat. Saka masih bisa merasakan sakit di punggungnya sebagai akibat dari dorongan keras Alfandy padanya tadi.
Saka mengangkat wajahnya, membiarkan Alfandy melihat jauh ke dalam matanya. Orang bilang mata adalah jendela hati dan dia ingin Alfandy tahu, jauh di dalam hatinya tak ada niat buruk saat dia meminta pendapat Arjun atas masalah yang dihadapi keluarga Alfandy.
"Gue tahu gue salah. Gue minta maaf karena nggak menceritakan siapa wanita itu sama lo, tapi gue terikat janji sama mama lo. Nggak ada alasan lain." Jeda sebentar, Saka masih mencoba meyakinkan Alfandy, "Fan, gue nyeritain itu ke Arjun juga cuma ingin minta pendapatnya soal janji gue ke Mama lo dan permintaan lo. Apa yang baiknya gue lakuin dan karena gue minta Arjun nolongin gue ngejar lo waktu itu."
"Nggak usah sembunyi dengan alasan minta pendapat," sinis Alfandy. Dia ingat ucapan Andra siang tadi di lift rumah sakit. Andra jelas tahu papanya berselingkuh. Dari mana Andra tahu kalau bukan dari Saka? Saka adalah satu-satunya orang yang melihat dan mengenali Anggreni sebagai selingkuhan papanya. "Lo nggak hanya menceritakan itu sama Arjun! Lo ceritain juga ke yang lain!"
"Gue nggak tahu apa yang lo maksud! Satu-satunya orang yang gue mintai pendapat tentang masalah lo cuma Arjun."
"Kenapa lo nanya ke Arjun? Kenapa lo nggak tanya sama gue? Itu masalah gue! Kalau lo punya attitude, menyebarkan masalah orang lain itu salah dan tidak beretika. Apalagi menceritakannya pada orang lain, tapi menyembunyikannya pada yang bersangkutan." Alfandy menarik ujung bibirnya sinis. Saka menghela nafas. Sekali lagi Saka minta maaf. Namun tidak dipedulikan. "Lo tahu kenapa Arjun nggak suka sama lo? Karena lo itu kayak bocah. Bocah yang suka ngadu dan nyusahin dia mulu."
Saka tersentak seketika karena ucapan Alfandy. "Gue nggak nyangka lo bisa ngomong gitu sama gue. Lo jahat banget, Fan. Lo jahat!" Saka memilih berlari dari hadapan Alfandy yang tertegun karena melihat tangis di pipi Saka. Saat Saka memilih pergi, Alfandy memilih ke roof top. Menyugar rambutnya dan meneriakkan kekesalannya di sana.
"Tante ...?" Saka buru-buru menghapus air matanya dan menghentikan langkahnya saat Tante Cahaya nampak di depannya. "Tante harusnya istirahat di apartemen kok keluar?" Saka mencoba tersenyum setulus mungkin. "Tante nyari Fandy, ya? Bentar dia juga balik ke dalam, Saka antar Tante ke dalam, ya?"
"Nggak perlu, saya bukan orang cacat. Saya bisa sendiri." Tangan Saka yang telah menyentuh lengan Tante Cahaya segera tertarik dan jatuh di sisi tubuhnya. Sekali lagi dia mencoba tersenyum. "Ya, udah. Tante hati-hati, ya. Saka mau balik ke rumah. Mama udah nelpon. Ada urusan keluarga. Saka pamit, ya, Tan." Saka mengulurkan tangannya untuk menyalami Tante Cahaya yang kemudian mau tak mau menerima uluran tangan itu. Saat Saka melangkah pergi Cahaya menghela nafasnya. Dia jelas melihat sisa tangis di pipi Saka. Apakah hubungan antara Saka dan putranya benar-benar hanya sebuah kepura-puraan atau sebenarnya lebih dari itu ...? Dan kini keduanya terluka? Cahaya menghela nafas. Tapi bagaimana pun perpisahan adalah hal terbaik buat mereka.