Langkah Alfandy baru saja tiba di restoran itu. Dia bahkan belum duduk dan menemui sang kenalan, tapi bergegas mengikuti ketiga wanita cantik itu yang terlihat melangkah keluar dari restoran dan kini melangkah menaiki lift ke lantai atas gedung. Kawasan ini terintegritas antara mall, kafe, restoran, bioskop, hotel serta kondominium. Alfandy melangkah memasuki lift setelah memastikan di lantai mana ketiganya berhenti. Lantai teratas adalah bar and lounge yang menjadi satu kesatuan dengan hotel.
Alfandy menutup telponnya setelah mengucapkan terima kasih dan maaf pada sang teman yang memberikannya informasi tentang keberadaan Anggreni karena dia tidak bisa duduk bersama untuk sekedar minum kopi dan memilih mengejar Anggreni. Orang diseberang sana tertawa dan pernyataan semoga beruntung dan jadian, menjelaskan kalau Ricky berpikir dia mengejar Anggreni karena menyukai wanita itu. Siapa yang tidak salah sangka? Mereka satu fakultas dan Anggreni cantik, jelas semua berpikir, seperti pemuda lainnya dia sedang mengejar idaman hati, tapi Anggreni jelas bukan idaman hatinya.
Dia tiba di lantai teratas yang segera disambut dua orang lelaki berpakaian jas mini hitam-hitam dan segera menyapanya ramah. Hanya orang berusia dua puluh tahun ke atas yang boleh memasuki tempat itu. Mereka meminta Alfandy menunjukkan identitas diri, juga melakukan pemeriksaan diri padanya sebelum memasuki ruangan tertutup yang ada di hadapannya itu, memastikan dia tidak membawa benda tajam dan senjata api serta narkoba. Alfandy menyerahkan KTP-nya. Usianya sudah genap dua puluh tahun setahun lalu.
"Masuklah." Seorang penjaga itu memberi izin. Alfandy melangkah ragu. Ini kali pertama dia memasuki tempat hiburan malam. Suara hentakan musik yang keras dan keramaian pengunjung menghantam gendang telinganya bak sebuah salam, juga kelap-kelip lampu diskotik yang menerpa pengelihatannya.
Alfandy melangkah pelan dan berhati-hati menyusuri tempat itu, sementara matanya menatap serius ke kanan dan ke kiri mencari sosok yang dia ikuti. Seingat dia tadi, dia tak menemukan papanya diantara ketiga wanita itu. Apa papanya mengajak Anggreni bertemu di sini? Cuiih, jika itu benar, itu benar-benar tidak seperti papanya yang selalu mewanti-wanti dia untuk menjauhi pergaulan bebas dan dunia malam, seperti tempat ini. Banyakin sholat, berteman dengan teman-teman yang benar. Cuiih ... Papanya pandainya cuma menasehati, kelakuan beda dengan ucapannya. Alfandy mendumel sepanjang jalan mengitari bar and lounge ini hingga akhirnya dia menemukan Anggreni. Wanita itu tengah duduk bersama dua rekan wanitanya dan dua pria. Tak ada papanya di sana. Alfandy buru-buru duduk di meja yang ada di sisi meja Anggreni yang untungnya saat itu masih kosong sepertinya karena masih di jam awal bar and lounge buka. Alfandy mulai menguping. Mereka membicarakan banyak hal, kebanyakan hal tak bermutu tentang ketahanan satu sama lain soal minum minuman beralkohol.
Akhirnya salah satu teman wanita Anggreni beranjak dari meja itu menuju ke meja lain, sepertinya menyapa tamu lain yang dia kenal. Mata Alfandy mengikuti langkah wanita itu menuju tempat seorang pria setengah baya yang kini duduk bersama seorang wanita seksi lainnya. Teman-teman Anggraini memang nggak beres, geram batin Alfandy. Namun dia merasa punya cara untuk menghancurkan hubungan papanya dan Anggreni. Dia akan merekam semua ini lalu mengirimkannya kepada papanya agar papanya tahu bagaimana binalnya wanita yang papanya pilih untuk menggeser posisi mamanya. Alfandy menggeser tubuhnya dan dari samping diam-diam dia mulai merekam Anggreni dan teman-temannya.
"Kamu juga kuliah bareng Winda?" Cowok itu bertanya pada Anggreni.
"Ya, cuma beda fakultas."
"Wuiih, keren. Saya tahu itu bukan universitas yang mudah dimasuki artinya otak kamu encer." Pria itu berusaha memuji untuk menyenangkan hati lawan bicaranya. "Winda kuliah di fakultas ekonomi, kalau kamu di fakultas apa?"
"Hukum."
"Apa?" Tawa ngakak cowok itu terdengar. "Sekarang memang lagi musimnya yang ngerti hukum malah jadi pelanggar hukum nomor wahid. Saya nggak maksud menghina kamu." Cowok itu menyentuh tangan Anggreni yang segera berusaha menjauhkan jemari laki-laki itu darinya. "Nggak usah pura-pura. Ayam kampus kayak kamu lagi nyari sugar daddy kan? Kalau kamu temenin saya, saya mungkin berpikir jadi sugar daddy kamu. Saya belum nikah loh daripada dapat sugar daddy om-om lebih baik sama sayakan?"
"Siapa yang nyari sugar daddy? Mau situ singel, saya nggak tertarik. Jangan sentuh saya! Jauhkan tangan kamu dari saya." Alfandy bisa mendengar suara protes keluar dari mulut Anggreni. Lalu beberapa detik kemudian teman Anggreni yang tadi pergi menemui tamu lain menghampiri keduanya kembali. Alfandy menolehkan kepalanya ingin tahu dan dia bisa melihat teman Anggreni yang mungkin bernama Winda itu memeluk si laki-laki lalu berbisik manja,
"Jangan gangguin dia, gangguin aku aja. Dia udah ada yang punya."
"Kalau udah ada yang punya ngapain ke sini? Sendiri lagi. Gue cuma buka pikirannya dikit karena gue yakin, kemungkinan besar sugar daddynya juga lagi sama cewek lain, jadi kalau dia cari selingan nggak masalah kayaknya," cowok itu mencoba membela diri. Alfandy mematikan rekamannya yang menurutnya tak berguna buat dipamerkan pada sang papa. Bukannya mengakhiri hubungan mereka, bisa-bisa papanya memuja-muja cewek matre itu dan mengimingi hadiah karena kesetiaan cewek itu pada papanya. Ciuuh. Dia tidak akan rela.
"Iya, sih. Tapi dia bego. Ya, udah daripada kamu malah jadi makin bete gara-gara teman aku dan kerjaan di kantor kamu. Kita turun, yuk. Senang-senang di lantai dosco. Kan aku bilang aku akan memberikan kamu kebahagiaan malam ini." Winda merayu sambil menggigit daun telinga pria itu dan membuat di pria membalas agresif. Keduanya berciuman panas di depan mata Anggreni yang memilih buang muka. Sementara salah satu teman Anggreni yang lain telah turun ke lantai dansa terlebih dahulu. Sebelum turun keduanya menyempatkan diri menuangkan sebotol Jack Daniels ke dalam gelas mereka dan meneguknya.
Sesaat saja hanya tinggal Anggreni di sofa itu. Dia nampak sibuk atau pura-pura sibuk dengan ponselnya. Alfandy memeras otak untuk mencari cara membuat papanya membenci Anggreni.
**
Bruk. Suara keras disertai goncangan pada mejanya membuat Anggreni mendongakkan kepalanya menatap sosok yang tanpa sengaja menabrak mejanya itu dan seketika terkejut.
"Maaf ... Ehhh, lo?" Alfandy memasang wajah pura-pura terkejut saat menemukan sosok itu.
"Lo kok ada disini?"
"Gue yang harusnya nanya lo kok ada di sini? Bareng siapa? Teman-teman lo?" Anggreni celingak-celinguk mencari para sahabat Alfandy.
"Gue sendirian, teman-teman gue alim semua, mana mau ke tempat gini. Gue mau cari ketenangan. Kalau lo?"
"Kalau cari ketenangan lo salah kabur kesini. Disini berisik tau." Tawa Anggreni terlihat, Alfandy ikut tertawa walau hanya pura-pura. Wanita ini benar-benar nggak merasa bersalah sedikit pun padanya, pikir Alfandy dalam hatinya. "Gue mau lepas penat jadi mau happy-happy dikit."
"Iya, sih, ini bukan tempat buat cari ketenangan, tapi ini Jakarta. Aku nggak tahu dimana tempat nyepi di sini. Kalau di Pontianak sih aku tahu beberapa tempat untuk menenangkan diri walaupun, sekarang Pontianak udah nyaris seramai Jakarta." Anggreni manggut-manggut acuh-tak acuh sambil melirik pada kedua temannya di lantai dansa untuk menghindari kecurigaan Alfandy padanya. Bagaimana juga dia mama tiri Fandy sekarang walau, cuma istri siri papa Alfandy. "Kamu nggak percaya?"
"Ehh, percaya kok."
"Kapan-kapan main ke Pontianak, aku bakal bawa kamu ke tempat-tempat bagus di sana."
Duh, Fandy baik banget dan ramah, Anggreni membatin, tapi nggak mungkin juga dia menerima tawaran Alfandy. Mama Alfandy bakal marah besar padanya.