"Mama sama Papa kamu suka apa?" Arjun bertanya saat palayan resto muncul dengan pesanan Suheni. Sebenarnya dia masih memikirkan sosok mirip Saka yang menghilang begitu saja di dekan restoran. Kalau mengingat Saka rasanya dia ingin cepat pulang.
"Kamu mau bungkusin buat kedua orang tua aku?" Arjun mengangguk.
"Sate kambing aja. Papa suka banget itu dengan kerupuk kulitnya." Suheni menyebutkan menu kesukaan kedua orang tuanya.
"Mbak, tolong sate kambing dua dibungkus, mie seafood yang tadi saya pesan juga dibungkus saja. Sate kambingnya tentengannya dipisah dari mie seafoodnya, ya."
Ucapan Arjun membuat Suheni mendongak menatap cowok itu lekat-lekat. "Kamu nggak makan?"
"Nanti aja di rumah. Kamu cepetan makannya, ya, udah malam. Kalau kamu udah selesai makan, kita pulang. Aku nggak mau Mama kamu kesal karena anak gadisnya kelamaan dibawa keluar." Arjun berujar membuat Suheni mayun. Dia masih ingin bersama Arjun lebih lama lagi. Sementara waiters mencoba mengulangi pesanan yang dikatakan Arjuna. "mie seafood nya tambahin jadi dua dan bakso sapinya juga dua."
"Kamu banyak banget mesannya?"
"Mie seafoodnya buat Mama dan papaku, aku sama Saka makan bakso saja nanti." Arjun memutuskan. Dia ingin makan bakso bersama Saka di teras rumah sambil bercerita ngalor ngidul diantara cahaya bintang seperti yang biasa mereka lakukan dulu sebelum dia berpacaran dengan Suheni dan malah membuat hubungan antara dia dan Saka renggang. Suheni lebih mayun lagi seketika saat mendengar Arjun menyebut nama Saka. Bahkan disaat mereka tengah malam mingguan, Arjun masih memikirkan Saka. Cewek mana yang sanggup harus berbagi perhatian sang kekasih dengan sahabat kekasihnya sendiri?
"Sate kambing dua, mie seafood dua dan bakso sapi dua. Semua dibungkus. Sate kambing tentengannya dipisah dari yang lainnya." Waiters memastikan pesanan Arjuna sebelum beranjak pergi. Arjun mengangguk.
"Kenapa, sih, kamu harus mikirin Saka terus? Apa-apa Saka. Apa-apa Saka. Bahkan disaat kita malam mingguan gini. Kamu nggak pernah fokus cuma dengan aku. Alder nggak pernah memperlakukan aku seperti ini."
"Aku rasa sedari tadi aku fokus cuma buat kamu, Hen. Sedari tadi kita nggak ada ngomongin Saka selain yang tadi, saat aku ngerasa ngelihat Saka diluar sana. Aku cuma ngerasa kasihan karena Saka di rumah sendiri dan aku udah bilangkan sama kamu kalau Papa Saka nitipin Saka sama aku? Saka sendirian di sini sekarang. Tolong pahami posisiku. Aku dan Saka nggak ada apa-apa selain sahabat." Arjun lelah harus menjelaskan itu dan itu lagi pada Suheni yang selalu cemburu tak jelas pada Saka.
Suheni menghela nafas bete. Dia bahkan sengaja memakai nama Alder di kalimatnya, tapi bukannya cemburu dan sadar, Arjun malah memintanya memahami posisi cowok itu yang dititipi Saka oleh bokap Saka. Alasan itu mulu. Bosan.
"Gue juga malas makan. Udah bungkus aja sekalian. Ayo, pulang daripada disini terus, tapi ingatan kamu ke tetangga kamu terus." Suheni mendumel sambil melambaikan tangan memanggil seorang waiters yang melintas.
***
"Fandy!" Saka yang baru saja menjejakkan kaki di luar restoran tempat dia dan Andra makan untuk mencek keberadaan Arjun di restoran sebelah, tanpa sengaja melihat Alfandy yang tengah membuntuti Anggreni dan kedua temannya. Cemas pada Alfandy, Saka memilih mengejar Alfandy yang sialnya lebih dahulu memasuki lift. Setelah menanti beberapa menit lift turun kembali, Saka memilih naik ...
Lantai atas itu merupakan bagian dari hotel yang terintegrasi dalam satu kawasan mall, hotel dan kondominium. Saka melangkah menyusuri koridor lantai itu. Ada tulisan artistik di dinding itu bertuliskan bar and lounge juga beberapa aturan dalam bahasa Inggris tentang ketentuan masuk ke tempat itu: berusia minimal dua puluh tahun, tidak membawa senjata tajam dan senjata api serta narkoba. Saka masih dalam pikirannya ketika melihat dua orang petugas keamanan bar and lounge menghampirinya.
"Bisa kami melihat identitas diri kamu?"
"Haa?"
"Kamu harus menunjukkan identitas diri kamu jika, ingin masuk ke sana." Saka masih gamang. "Not for under twenty." Saka manggut-manggut sambil merogoh tas ransel mungil yang dia bawa dan membuka dompetnya sambil menimbang-nimbang, dia bertanya:
"Apa kalian melihat temanku? Dia seorang laki-laki, usianya dua puluh satu tahun enam bulan lalu, kulitnya putih, tingginya seratus enam puluh enam, mengenakan kaos Levis biru dongker?"
"Ya, dia ada di dalam." Saka tersenyum senang sambil menjulurkan identitas dirinya. Namum menariknya kembali sebelum diraih petugas keamanan saat mengingat sesuatu.
"Kalau tiga orang wanita yang ,..."
"Jangankan tiga orang wanita, sepuluh orang wanita juga ada di dalam. Sebenarnya kau itu mau masuk tidak?" Seorang petugas keamanan nampak mulai tak sabar. Dia menjawab Saka sambil memeriksa identitas pengunjung lainnya yang baru tiba di bar and lounge itu.
"Nanti aku kembali bersama temanku." Saka beranjak, tapi salah seorang petugas keamanan segera meneriakinya dengan peringatan:
"Kalau kau berpikir bisa buat keonaran disini, kau bermimpi!"
"Aku tidak berniat membuat keonaran, aku hanya ingin mencegah temanku mabuk di dalam sana," Saka membalas sebelum beranjak pergi ke lift yang tepat membuka.
***
Andra melangkah mondar-mandir di depan mejanya, diantara tatapan penuh pengawasan dari para waiters resto. Bon telah ada di tangannya sedari tadi dan para waiters telah bertanya apakah dia bisa membayarkan dengan segera hingga pelanggan lain bisa duduk makan di tempat mereka dan dia mengatakan akan menunggu temannya dulu. Namun sampai saat ini Saka tak kunjung terlihat batang hidungnya. Kemana sih Saka apa mungkin bukan hanya memastikan keberadaan Arjun yang ada di restoran sebelah atau malah bikin masalah dengan Anggreni dan teman-temannya? Tapi kalau itu ..., seharusnya kehebohan pertengkaran antara wanita terdengar kemari. Nyatanya nggak. Jadi bisa dipastikan kekhwatirannya tentang perkelahian antara Saka dan Anggreni tidak terjadi. Uhhh, tapi dimana sih Saka? Bisa-bisa dia berakhir mencuci piring di belakang sana. Andra menakar-nakar isi dompetnya, dia hanya memilki setengah dari jumlah bon dan uang itu termasuk biaya bensin yang harus dia beli untuk motornya nanti. Dia tak membawa kartu ATM, sengaja untuk penghematan dan menghindari biaya-biaya tak penting. Kalau tidak bisa-bisa dimasa penantian untuk mendapatkan pekerjaan, dia bisa jatuh miskin karena di masa itu uang kiriman orang tuanya bakal habis.
"Kita pergi dari sini." Saka menarik tangan Andra yang baru saja meletakkan bokongnya setelah lelah mondar-mandir.
"Dari mana aja sih lo, Ka? Lo tau nggak gue nyaris ditarik ke belakang buat cuci piring. Lo tau nggak uang gue cuma cukup setengah. Lo, sih, bawanya ke tempat ginian, mahal tau mall ginian buat gue," Andra berbisik dengan suara tertahan. Saka menatap permukaan meja dan segera melongok pada bon di atas meja, lalu merogoh sakunya diam-diam dan menjulurkan lipatan uang itu ke tangan Andra diam-diam. Andra menatap wajah Saka sebelum beralih memandang uang yang telah ada di tangannya lalu dia menarik satu lembar seratus ribu dan menggantikan dengan uang di sakunya sesuai dengan harga di bon. "Biar nggak perlu nungguin kembalian," ucapnya lalu meletakkan uang dan bon pada tatakan yang ada dan memanggil waiters sambil menjulurkan satu lembar seratus ribu yang tersisa pada Saka.
"Jadi kita mau kemana lagi?" tanyanya usai waiter meraih pembayaran mereka.
"Kita cegah Fandy sebelum dia berbuat yang aneh-aneh."