Friend Don't Kissing

Elisabet Erlias Purba
Chapter #101

Petuah Papa

Arjun menghentikan mobilnya, mematikannya dan melangkah turun namun terhenti di depan halaman rumahnya untuk memandangi rumah Saka yang nampak sepi malam ini. Saka tak terlihat di luar sekedar duduk di kursi teras atau bermain basket seperti biasa dia temui saat sahabatnya itu sendirian di rumah. Membuka pintu mobil kembali, Arjun meraih plastik kresek berisi dua bungkus bakso lalu melangkah menuju rumah Saka.

Entah sudah berapa lama Arjun berdiri di sana mengetuk pintu rumah Saka, tapi Saka tak jua kunjung keluar. Meraih ponselnya, Arjun mencoba menghubungi Saka kembali, tapi lagi-lagi panggilannys hanya berakhir pada kesia-siaan.

Mungkin Saka sudah tertidur. Arjun memutuskan kembali ke rumahnya. Namun baru tiba di halaman, dia bersua dengan papanya yang ternyata telah berdiri di halaman rumah sambil menatap jauh ke rumah Saka.

"Malam, Pa."

"Malam. Kamu sudah pulang?" Arjun mengangguk. "Kok dari rumah Saka?"

"Arjun bawakan makanan kesukaan Saka. Bakso." Arjun mengangkat tinggi kresek di tangannya sambil tersenyum tipis. "Tapi Saka sepertinya sudah tidur. Buat papa dan mama juga ada." Dia melangkah membuka pintu mobil dan meraih sebuah plastik kresek lainnya dan mengangkat tinggi. Papa suka nasi goreng seafood kan? Nih."

"Ya, sudah kita masuk." Arjun melangkah ke dalam rumah, mengikuti sang papa. Sesaat matanya masih mencuri lihat pada rumah Saka, berharap gadis itu tiba-tiba membuka pintunya.

"Kayaknya malam ini Papa mau makan bakso bereng kamu." Satria berujar pada putranya yang telah mulai membuka bungkus nasi goreng seafood buatnya sementara dua meraih dua bungkus bakso dari plastik kresek lainnya. "Panasin bareng aja."

"Buat Papa saja, ya. Arjun nggak usah. Satunya buat Saka. Saka udah lama minta makan bakso."

"Nggak usah buat Saka. Saka juga kan nggak tahu kamu bawain bakso. Papa mau kita makan bakso berdua malam ini sambil nonton film atau ngobrol. Papa aja yang panasin."Satria beranjak menuju ke depan kompor, tangannya bergerak meraih panci. Sementara Arjun nampak bingung di tempatnya untuk sesaat sebelum beranjak ke sisi sang papa.

"Satu aja, ya, Pa." Arjun meraih satu bungkus bakso beserta pernak perniknya dan menyisihkannya. "Buat Papa saja, Arjun masih kenyang." Satria menatap sang putra sekilas sambil menuangkan sebagian kuah bakso ke dalam panci. Arjuna masih seperti dulu. Dia ingat saat Arjuna masih kecil, tiap kali dia membawakan oleh-oleh usai bekerja, Arjuna akan mengambil beberapa buat Saka dan berlari ke rumah Saka untuk memberikannya. Buatnya berbagi adalah satu hal kecil yang menggambarkan cinta.

Satria teringat kembali apa yang ditunjukkan sang isteri beberapa jam lalu untuk mendukung ucapannya bahwa putra mereka juga mencintai Saka. Kamila membawanya ke rak buku ruang tengah, menarik kursi dan meraih sebuah buku dari antara buku lainnya di rak atas. Buku itu berisi cita-cita Arjuna saat kecil. Menjadi pengacara seperti dirinya, cita-cita lumrah bagi seorang anak kecil yang papanya juga pengacara. Barulah di lembar selanjutnya dia menemukan cita-cita lebih khusus dari putranya itu: semua hal menyangkut Saka. Sebuah gambar rumah dengan pohon tinggi di sisi rumah bertaman bunga dengan sebuah ayunan di bawah pohon itu ditulis dengan tulisan bersambung khas tulisan Arjun di saat SD: aku ingin membelikan Saka rumah impian Saka lalu sepatu high heels impian Saka dan bahkan gaun pengantin impian Saka. Arjun ingin memberikan semua itu karena Arjun ingin menikah dengan gadis itu. Arjun menggambar dia dan Saka yang bergandengan tangan di buku itu. Persoalannya apa itu hanya impian masa kecil yang kini telah terhapus? Atau sebenarnya masih bertahan namun terlupakan karena sesuatu?

"Dulu waktu Papa kerja jauh dari mama, papa pernah seperti kamu ini. Waktu itu Papa mau libur dan pulang, Papa udah beliin Mama makanan baru yang Papa rasa enak banget, Papa mau kasih ke mama biar mama juga merasakan. Ehh malah teman sekamar Papa dengan seenaknya ngambil makanan itu. Papa kesal banget saat itu. Kamu pasti kesal sama Papa karena papa berubah selera malam ini."

"Nggak kok."

"Papa ngerti kita selalu mau berbagi hal terbaik buat orang yang dikasihi."

"Papa mulai lagi deh."

"Mulai apa?" Satria menatap sang anak sambil menunggu kuah bakso memanas.

"Arjun dan Saka itu cuma teman, Pa." Satria menuang kuah bakso ke dalam mangkok lalu meraih dua pasang sendok dan garpu. "Kita habisin bareng. Mau cabenya sebanyak apa?"

"Terserah Papa aja. Setahu aku Papakan yang nggak tahan pedas?"

"Enak aja. Papa tahan tau. Ngeremehin banget kamu." Satria menuang beberapa sendok makan cabe tanpa memperdulikan peringatan sang anak.

"Terserah Papa deh. Nanti yang mules sama kena omelan dokter Kamila Andini Sp. B juga Papa." Tawa sang papa terdengar sambil menampik ucapan sang putra.

"Mama nggak bakal marah sama Papa. Papa itu cinta sejati Mama." Arjun mencebikkan bibir. "Kayak kamu sama Saka."

"Mulai lagikan? Mama mana, Pa?" Arjun mengalihkan pembicaraan, dia baru menyadari bahwa sedari tadi mamanya tidak nampak. Hanya mereka berdua di meja makan.

"Tidur. Tadi Mama nungguin kamu dengan kesal." Mata Arjuna membulat. Seingatnya dia tidak membuat kesalahan apa pun hari ini yang bisa membuat mamanya kesal. "Ada seorang dokter praktik di rumah sakit." Satria menceritakan segalanya sambil menyeka keringat di keningnya. Arjun benar. Dia kebanyakan menuang cabe. "jadi siapa gadis beruntung itu? Kamu tidak berniat memperkenalkannya pada Papa dan Mama?"

"Arjun sebenarnya mau memperkenalkannya sama Papa dan Mama, tapi belum ada waktu luang aja yang pas. Papa dan Mama sibuk terus" Satria manggut-manggut.

"Iya sih, akhir-akhir ini Papa punya banyak kasus, tapi kalau sekedar menjelaskan bahwa kamu punya pacar dan menceritakan tentang pacar kamu, Papa masih punya waktu mendengarkannya." Satria menyeruput kuah bakso di hadapannya lalu menyadari ucapan Arjuna bahwa dia menaruh cabe kebanyakan.

Lihat selengkapnya