Laki-laki itu makin mempercepat langkahnya, tak peduli dengan napasnya yang ngos-ngosan tak karuan, degup jantungnya yang berdetak tak aturan, hingga peluh yang sebesar biji semangka itu membanjiri pelipis sampai hampir seluruh badannya. Senandung lagu yang ia dengarkan melalui earphone pun terasa begitu kacau di telinga.
Kakinya terus melangkah tiada kendali karena frustrasi yang mendera di otak.
Sampai rasa tak kuat itu menghanpiri, sisi normalnya berkata untuk menghentikan paksa langkah kakinya yang berlari kencang atau ia akan pingsan di tempat yang masih sepi ini.
Arga memgembuskan napasnya panjang dan berat kemudian membawa dirinya ke tepi jalan dengan langkah pelan. Ia terduduk di bahu jalan sembari memgembuskan napasnya yang masih tak beraturan.
Ia bukan orang yang rajin olahraga tiap pagi, tapi sudah hampir dua minggu ini ia rutin melakukannya berharap sesuatu yang menganggu di otaknya akan hilang. Namun, selama dua minggu itu pula ia tak mengalami perubahan apapun. Tiap malam ia terus dihantui hal yang sudah lama ia kubur dalam.
Usai merasa deru napasnya membaik, Arga memgambil ponsel yang letakkan pada perekat di lengannya. Tangannya bergerilya mencari sebuah nama di daftar kontaknya. Hingga tangan itu berhenti pada nama Dokter Risa.
Gerakannya pun tak berlanjut lagi. Ia hanya diam dan melihat nama itu. Hingga akhirnya ia kembali mengunci ponselnya.
"Ck, nanti aja lah." Ia kembali menyimpan ponselnya lalu berdiri, dan berjalan santai menuju rumahnya.
Arga sudah merasa haus sekali. Berani sekali memang lari pagi begini dengan kecepatan maksimal seperti tadi, dan tak membawa sebotol minum pun. Semoga saja ia bisa sampai rumah dengan selamat nanti tanpa pingsan karena dehidrasi.
***
"Kirain masuk sekolah bakal berenti lari pagi." Niko yang baru saja selesai membuat jus menatap sang adik yang baru sampai dapur dengan muka kusut super lelah, dan menenggak hampir sebotol air yang baru ia ambil dari kulkas.
Arga menyeka lebih dulu air yang menetes di sekitar bibirnya. "Hah, masih butuh olahraga kayaknya gue."
"Ya gitu dong hidup sehat jangan kebanyakan tidur terus." Niko kemudian menyodorkan jus yang baru saja dibuatnya ke arah Arga. "Mau?"
Langsung saja Arga memgambil gelas yang dibawa Niko dan menenggaknya. Rasanya hampir sebotol air tadi masih kurang untuk tenaganya yang hampir habis.
"Lo habis lari pagi apa habis bikin seribu candi? Gitu amat habisinnya."
Seperti tadi, Arga menyeka bibirnya dulu dan meletakkan gelas di sebelah Niko. "Capek lah, Kak. Tadi lumayan jauh gue lari-larinya. Ini jus lo enak, nggak pengen bikin kedai jus sekalian?"
Niko tertawa renyah menanggapi pertanyaan sang adik. "Punya satu kedai makanan aja udah pusing. Lo mau urus emang?"
Jelas Arga menggeleng. Ia sama sekali tak ada minat di bidang bisnis seperti sang kakak. Walaupun Niko sendiri bukan orang yang cukup ahli di bidang bisnis paling tidak ia paham. Apalagi di bidang makanan seperti yang ia geluti. Heran juga Arga rasanya melihat Niko yang mahir dalam banyak hal.
"Gak, gue belum tau mau jadi apa." Lebih dulu ia menyeka keringatnya dengan mengangkat baju ke arah muka. "Dah ah gue mandi dulu, keburu telat nanti di hari pertama."
"Tumben peduli."
"Salah terosss."
Niko tertawa sejenak memerhatikan adiknya yang mulai melangkah menuju kamar mandi. "Nanti dianter nggak? Gue ke kedai agak pagi."
"Nggak usah!" balas Arga dengan berteriak karena ia sudah masuk ke kamar mandi.
***
Kaki panjang itu melangkah ke area sekolah yang masih sepi dan tenang. Earphone masih tertancap di telinganya mengalunkan lagu yang sesuai dengan irama langkahnya.
Arga bukan rajin karena datang sepagi ini ke sekolah. Karena, ini hari pertama masuk setelah liburan semester itu tandanya ia akan mendapat kelas baru. Hari berebut bangku dimulai, dan Arga sudah mengincar dimana ia akan duduk di kelas barunya.
Kelas baru bukan berarti suasana baru. Hanya tempatnya saja yang berpindah ke kelas pojok lantai satu itu, namun tidak dengan isinya. Bertemu dengan orang-orang memuakkan itu lagi membuat Arga harus menahan diri di tahun terakhirnya untuk segera terbebas dari kelas yang mendapat julukan kelas neraka baginya itu.
Ia masuk ke kelas yang benar saja masih sepi. Hanya ada beberapa orang yang sudah menempati bangku depan dan tengah. Ia cukup puas karena bangku paling belakang yang berada di pojok dekat jendela dan menghadap ke lapangan itu masih kosong.
Bangku yang sangat strategis untuk dirinya dan cukup nyaman untuk melalui satu tahun yang membosankan.
Baru saja tangan Arga meraih bangku tersebut untuk ia geser dan duduki, tapi seseorang mendorongnya hingga hampir terjungkal.
"Nggak bisa ini bangku gue."
Mata Arga melotot seketika tak terima dengan kelakuan dua orang yang sudah cengengesan dan duduk di bangku incarannya. Yogas dan Rendra. Yogas adalah yang mendorongnya tadi.
"Woy! jangan main serobot dong! Gue duluan," protes Arga tak terima.
"Buktinya gue dulu yang duduk di sini. Masih banyak bangku kosong lain tuh."
Arga sudah mengepalkan tangannya kesal. Ini masih pagi dan anak ini sudah membuat masalah saja dengannya. Ia mengembuskan napasnya panjang mencoba untuk menetralisir kekesalannya, dan tak mencoba untuk menghajar dua orang di depannya. Kalau saja ia tidak ingat tentang kata-kata Niko untuk lulus dari sekolah dengan tenang, ia pastikan untuk berbuat keributan di hari pertama sekolah di semester awal kelas dua belas.