"Ga...."
Tidak menjawab, Arga malah menunjukkan senyum miringnya. Ia mengembuskan napasnya panjang untuk mengabaikan sosok itu, dan memilih segera ke luar dari toilet.
"Ga, tunggu." Rian berusaha meraih tangan Arga, namun dengan cepat pula Arga menepis tangan Rian.
"Nggak perlu ngomong sama gue." Arga menatap tajam ke arah Rian. "Jangan ajak gue bicara, please."
Beruntungnya kondisi toilet saat ini sedang sepi jadi tak perlu khawatir akan ada yang tahu pertengkaran mereka.
"Ga, gue minta maaf."
Arga menghentikan langkahnya yang tinggal sedikit lagi untuk ke luar toilet. Tangannya yang sudah menggengam kenop pintu toilet pun mengepal erat.
"Please, gue mau minta maaf. Gue akan tebus semua rasa bersalah gue." Rian memberanikan diri untuk mengungkapkan apa yang sudah ia pendam sejak lama ketika ia bertemu Arga kembali.
Lidahnya selalu kelu untuk mengucap maaf bahkan menyapa Arga. Pun Arga terlihat sangat tidak menerimanya lagi membuat nyali Rian makin ciut. Tapi, melihat kondisi Arga yang seperti tadi membuat rasa bersalahnya makin meledak.
Arga berbalik, cowok itu kembali menunjukkan senyum miringnya. "Nggak perlu. Lo nggak perlu menebus hal yang udah sia-sia."
"Ga, gue nggak tau saat itu. Gue nggak tau juga harus--"
Arga mengangkat tangannya menyuruh Rian untuk menghentikan kata-katanya. "Gue bilang nggak usah dan nggak perlu. Yang udah terjadi, biarin udh terjadi." Buru-buru Arga meloloskan dirinya keluar dari toilet dan berjalan cepat untuk menjauh dari jangkauan Rian.
Merasa sudah cukup aman, Arga kembali memelankan langkahnya lalu menoleh ke belakang memastikan Rian tak akan mengikutinya.
Napasnya dikeluarkan lega saat melihat anak itu tak akan berbuat nekat. Ia tak mau dianggap mengenal Rian, ia pun sudah lupa bagaimana mereka dulu bisa dikatakan seperti surat dan perangko. Rian adalah orang yang membuat murid di kelasnya yang berawal ganjil menjadi genap, bahkan saat itupun Arga yang sendiri harus menerima satu bangku dengan Rian. Namun, tak sampai setengah hari laki-laki itu memutuskan bertukar dan membiarkan Rian satu dengan Dewo saja. Sebenci itulah Arga pada Rian.
Merasa jam istirahat masih cukup lama berakhir, Arga melangkahkan kakinya untuk menuju ke tempat persembunyian yang menjadi favoritnya. Atap sekolah.
***
Langkahnya terhenti begitu menginjak di tempat favoritnya.
Atap SMA Cendrawasih bukanlah tempat sepi dan khusus juga. Tempat ini sudah banyak diketahui para murid dan menjadi tempat sembunyi terfavorit. Karena atap adalah bangunan kosong yang biasa untuk membuang bangku-bangku bekas dan barang sekolah yang tak terpakai, pun tak cctv di sini, banyak siswa yang memanfaatkannya jadi tempat nongkrong sambil merokok atau perbuatan nakalnya.
Namun, spot favorit Arga cukup tersembunyi. Ia berada di pojok, dengan tembok beton yang menutup sisi kanannya juga ada tumpukan meja usang yang membuatnya ketika berdiri di sana tak terlihat oleh siapapun.
Bahkan pernah Arga mendapati para pasangan mesum yang beraksi di atap sini. Sungguh tak tahu malu dan tak tahu tempat.
Jika atap sudah terlalu padat dan ramai, maka opsi ke dua Arga akan menuju ke perpustakaan yang jelas tempatnya sepi. Namun, ia datang ke sana bukan untuk membaca buku. Hanya menumpang menyingkirkan diri dari keramaian.