Niko yang baru saja selesai mandi, bahkan handuknya pun masih bertengger di leher juga rambutnya masih basah memilih segera duduk di kursi meja makan untuk mengecek notifikasi di instagram lokasimu, kedai miliknya.
Satu per satu Niko mengecek instastory teman-teman Arga yang menandai akun lokasimu. Namun, perlahan senyum Arga memudar saat mendapati satu username dengan nama yanv familiar. Harusnya ia tak kaget, karena Arga sudah bilang jika Rian akan datang. Memilih cuek saja, Niko menutup fitur instastory dan beralih ke fitur lain untuk mengecek insight instagram bisnisnya.
"Lah, bangun tidur apa gimana? Jam segini kok udah tidur aja?" Atensi Niko beralih pada Arga yang berjalan ke kulkas dengan muka bantalnya.
"Ketiduran tadi pas ngerjain tugas." Arga membuka kulkas dan mengambil sebotol air untuk ditenggaknya. "Lo kok balik lebih lama dari kemarin? Hari ini sepi?"
Niko terkekeh mendengar ucapan sang adik yang kini sudah duduk di hadapannya. "Justru saking ramenya sampe baru bisa pulang. Stoknya gue banyakin hari ini."
"Kirain." Laki-laki tampaknya peka dengan bungkusan yang ada di hadapannya. "Ini apaan?"
"Udah makan? Gue tadi beli lontong tahu." Tangan Niko kemudian mengambil bungkusan dalam kresek hitam dan menyodorkan salah satunya ke arah Arga. "Ambil sendok gih kalau mau makan. Ambilin gue sekalian."
"Udah tadi, makan mi. Sekarang laper lagi." Arga kemudian berdiri dan berjalan ke dapur untuk mengambil sendok.
Niko sendiri hanya tersenyum miring dan membukakan bungkus makanan miliknya juga adiknya.
"Eh, tadi kata lo yang dateng enam orang. Kok yang tag cuma lima?" tanya Niko saat Arga sudah kembali.
Terlebih dulu Arga menyodorkan sendok ke arah Niko. "Yang satu nggak punya hape."
"Serius?"
"Iya, dari dulu dia nggak punya hape." Dengan lahap Arga mulua makan lontong tahu yang ada di depannya. Paham saja Niko jika ia lapar sebangun tidur tadi. Niatnya sekalian mengambil camilan yang ada di kulkas taunya Niko datang membawa makanan.
"Tadi nggak ada masalah sama kedatangan Rian?"
Sejenak Arga menghentikan gerakan tangannya yang sedang menyendok juga meghentikan kecapan di mulutnya. "Enggak. Biasa aja."
Niko hanya tersenyum tipis kemudian segera malahap makanannya juga. Sejujurnya tadi ia sempat membuka sebentar profile instagram Rian karena rasa ingin tahunya.
"Kayaknya mereka hidup dengan tenang."
***
"Belum tidur juga kamu."
Rian tak memedulikan ucapan sang ayang yang kini bahkan sudah duduk di sampingnya sambil melepas dasi, dan memilih menonton acara bola di televisi.
"Tadi kamu jadi ke rumah Arga sama Niko? Gimana keadaan mereka di rumah? Mereka baik?"
"Kenapa nggak Ayah sendiri yang cek ke sana." Rian menjawab dengan tak acuh.
Tak ada jawaban dari Lukman. Dari dulu ia sungguh tak ada nyali untuk mengunjungi dua anak itu.
"Kenapa diem aja?" Rian kemudian menoleh ke arah Lukman. "Kenapa Ayah ngehindar terus dari mereka dan pasrah hidup dalam rasa bersalah kayak gini?"
"Rian...."
"Ayah pasti tau keadaan mereka, Ayah pasti tau dimana mereka tinggal tapi Ayah nggak pernah mau jenguk mereka. Ayah sengaja pindahin aku ke Cendrawasih supaya lebih deket sama Arga supaya gampang liat keadaan mereka lagi. Tapi, Ayah justru nyakitin aku." Rian menjilat bibir bawahnya yang sehabis mengucapkan kata panjang bertubi tiada henti. "Ayah nggak tau gimana pedihnya aku ngeliat Arga kayak gitu. Arga nggak akan terima aku lagi. Bahkan aku harus nanggung semua atas hal yang aku pahamin sebelumnya. Kenapa nggak Ayah sendiri yang rasain sakitnya? Ini udah lima tahun berlalu, Ayah masih mau diam di sini?"
Melihat Lukman yang masih terdiam tak ingin menyampaikan sepatah katapun membuat Rian mengengkus kesal. Anak itu memilih langsung beranjak dari dan pergi menuju kamarnya.
Lukman sendiri yang baru saja mendapat omelan dari sang putra semata wayang mengusapkan kedua tangannya ke muka. Sudah lima tahun sejak kejadian itu, hubungannya dengah Rian menjadi ada jarak. Ini bukan pertama ia dimaki seperti itu oleh sang putra. Tak masalah, memang semua ini salahnya.
Pria paruh baya itu menyandarkan punggungnya ke sofa sambil menghel napas berat. "Maafin Ayah, Nak."
***
Bel panjang pertanda istirahat berbunyi. Arga terbangun dari tidurnya dan menggeliat meregangkan otot punggungnya setelah tidur dengan pulas di ruang UKS.
Beruntung sekali UKS sedang tidak ada yang jaga jadi ia bisa leluas tidur serta sengaja membolos. Semalam ia tak bisa tidur dan malah berakhir matanya yang berat pagi tadi. Untung jam mata pelajaran pertama kosong. Niatnya ingin tidur di kelas, tapi seperti biasa jika kelas ramai mana mungkin ia bisa tidur tenang. Namun, sepertinya saking pulasnya ia juga melewatkan jam mata pelajaran selanjutnya, yaitu matematika.
Merasa perutnya keroncongan, Arga segera bangkit dari ranjang UKS untuk segera pergi ke kantai sebelum keadaannya makin ramai.