Isak tangis bocah itu tertahan kuat dengan mulutnya yang dibekap oleh tangannya sendiri. Ia bersembunyi dengan apik di balik sebuah lemari dengan celah yang masih tersisa dan menyaksikan sendiri bagaimana tubuh orangtuanya dibantai habis.
"Arga...."
Arga menoleh dan mendapati suasana berubah. Hanya sebuah lorong gelap.
"Arga, tolong Mama...."
"Mama...." Arga terus mencari arah sumber suara di tengah gelap.
"Tolongin Papa Arga...."
"Arga ... Mama butuh bantuan."
Sebuah tangan penuh darah kemudian mendekat ke arah Arga membuat Arga histeris bukan main dan memilih menjauh.
"Kamu kemana. Kenapa nggak bantu Mama?"
"Kamu jahat biarin Papa mati."
Arga menghentikan langkahnya saat di depan sana terdapat bayangan tangan lainnya yang dipenuhi darah juga.
"Mama mati karena kamu."
"Kenapa kamu nggak bantu Papa."
"Arga kamu anak jahat."
"Kamu biarkan Papa mati."
"Mama butuh pertolongan kamu."
"Harusnya kamu mati."
Arga menutup kupingnya rapat dengan mata yang menatap sekitarnya resah. Bulir keringat terus berjatuhan dari pelipisnya.
"Arga bantu Mama."
"Arga jangan biarkan Papa mati."
"Arga...."
"Arga nggak sayang Mama."
Terbukanya mata Arga adalah akhir dari semua yang impikan barusan. Napasnya ia hembuskan berat berulang kali. Bulir keringat itu benar-benar mengucur deras dari pelipisnya. Arga menarik napasnya dan mengembuskannya perlahan-lahan mengatur ritmenya agar kembali normal. Jantungnya berdetak cepat, badannya masih gemetar mengingat mimpinya. Buru-buru tangan Arga lalu terulur ke laci sebelahnya dan mencari pil andalannya dan segera menenggaknya kembali.
"Ga...." Niko terdiam di tempatnya beberapa detik, saat membuk pintu kamar sang adik yang untungnya tak terkunci karena khawatir sudah siang pun Arga belum juga ke luar kamar. Dengan langkah cepat kemudian menghampiri Arga yang terlihat tak baik-baik saja dan duduk di pinggiran ranjang. "Ga, Arga...."
Arga menundukkan kepalanya saat akhirnya Niko memergoki kondisinya. Perlahan isakan Arga kembali ke luar dan Niko segera pula memeluk adiknya itu.