Laki-laki itu melangkah santai menyusuri koridor yang mulai sepi, karena habisnya jam istirahat sejak sepuluh menit lalu. Tidak ada rasa panik dalam dirinya, tak peduli juga jika guru sudah sampai kelasnya lebih dulu, lagi pula ini jamnya Bu Marisa. Ia tinggal beralasan ada urusan di toilet hingga menghabiskan waktu lebih lama, dan guru itu tak akan banyak bicara lagi. Toh, ia tak sampai membolos. Padahal, nyatanya ia menghabiskan waktu lebih lama di atap tadi guna menangkan diri.
Namun, kini ia sudah menebak jika Bu Marisa pasti belum datang. Karena dari jarak lima meter ini ia dapat dengar dengan jelas suara berisik dari kelasnya. Walaupun tak menjamin juga, pasalnya kelasnya itu sering juga tetap berisik dengan ada atau tidaknya guru yang mengajar. Hanya untuk guru-guru tertentu saja kelasnya benar-benar hening.
Bahkan dengan kondisi yang sudah ditutup beginipun berisiknya masih terdengar jelas dari jarak jauh. Arga membuka pintu kelasnya dan langsung mengernyit begitu mendapat sambutan berisik luar biasa dari teman-temannya. Pantas saja para guru itu merasa stres menghadapi kelas ini, baru masuk saja sudah seperti ini cobaannya.
Ia melenggang santai menuju bangkunya. Kepalanya sedikit menghindar saat sebuah bola hampir mengenainya.
"Main bola di lapangan anjir," semprotnya pada Dewo dan melempar bolanya kembali ke anak itu.
Dengan sigap Dewo menangkap bola yang dilempar Arga. "Ya maaf, Ga. Ati-ati nih."
Dengan cuek Arga segera meletakkan bokong ke bangkunya.
"Heh, heh, heh, udah puas mainnya?"
Seketika semua anak langsung kembali ke bangkunya masing-masing dan beberapa detik kemudian kelas menjadi hening saat Pak Wildan berada di ambang pintu.
Begitu kelas mulai kondusif, guru itu mulai masuk kelas dan membuat para murid kebingungan. Pasalnya jam Pak Wildan masih nanti setelah jam pelajaran Bu Marisa.
"Bingung ya? Saya nggak salah jadwal. Memang untuk hari ini saya sama Bu Marisa tuker jam. Tadi, Bu Marisa ada keperluan sebentar dan sayang aja kalau jamnya harus kosong. Jadi, mending tuker sama saya." Pak Wildan memberi pernytaan yang agaknya membuat para siswa IPS 2 itu loyo seketika karena tidak jadi menikmati jam kosong. "Jadi, buka buku kalian sekarang dan kita lanjutin materi kemarin."
Dengan muka loyo para murid itu menurut saja, seolah tenaga yang tadi mereka keluarkan selama sepuluh menit langsung tersedot seketika saat jam pelajaran dimulai.
***
Arga menghela napasnya panjang sembari menyandarkan punggung di sandaran kursi. Ia merasa amat lelah dan jengah dengan kerja kelompoknya kali ini. Tak hanya lelah karena materinya, tapi juga isi orang-orang dari kelompoknya. Dari Anita dan Yogas yang masih berseteru, bahkan ia sendiri pun mulai sebal dengan satu-satunya gadis di kelompoknya itu. Juga karena satu orang lagi. Rian
Ia bahkan sedari tadi memilih tak menghadap laki-laki yang duduk di sebelah Sukma itu. Bukan hanya karena benci yang menyerangnya, tapi ini juga atas saran Dokter Risa. Hindari kontak saja dulu dengan Rian.
Sekarang mereka berlima menunggu keputusan Bu Marisa perihal rancangan yang mereka buat. Guru muda itu sedang membacanya di laptop milik Anita.
"Ini sudah bagus. Cukup simple dan mudah dipahami." Bu Marisa kembali berdiri tegak dan kembali menatap ke lima muridnya. Ia tak menyangka kelompok tujuh mampu membuat rancangan yang menurutnya paling sempurna dibanding kelompok lain padahal kelompok ini yang terlihat problematik. "Rancangan kalian dari pengambilan data hingga penyelesainnya terlihat simple tapi jelas. Semoga bisa terselesaikan dengan baik. Ini tinggal dilaksanakan aja. Semangat untuk kalian."
Semua pun tersenyum basa-basi pada Bu Marisa.
"Makasih, Bu."
Setelahnya Bu Marisa pun pergi dari lingkaran bangku kelompok tujuh dan menuju ke kelompok lainnya.
"Gimana? Kapan kita mulai?"
Semua laki-laki yang ada di sana hanya diam, bahkan dua di antaranya tampak cuek tak peduli.
Anita menghela napasnya berat. "Gue putusin sendiri salah, ini gue nanya lo semua malah diem. Maunya gimana, sih?"
"Gue nanti sekalian bisa kok, Ta. Mau kelompok dari mana dulu?" Sukma menimpali.
"Gue nggak bisa."
Semua mata kini terarah pada Arga.
"Mak--"
"Jangan di rumah gue lagi. Gue bisa ikut dimanapun asal jangan di rumah gue lagi."
"Di sekolah aja?" Kembali Sukma angkat bicara untuk memberi saran.