Marisa meletakkan bolpoinnya kembali dan menyandarkan punggung ke sofa sambil menghela napas panjang. Pantas saja awal melihat Arga ia seperti tak asing melihatnya. Ia seperti melihat Niko. Mata Arga, dan cara mereka tersenyum itu terlalu sama. Beberapa fitur wajah mereka tampak sama. Bahkan ketika menjadi wali kelas ia untuk pertama kalinya melihat nama belakang Arga yang sama dengan nama belakang Niko. Puncak rasa penasarannya adalah ketika beberapa hari lalu saa ia melihat Arga dijemput seseorang, mata orang itu ia hafal itu seperti milik Niko.
Marisa selalu saja bilang pada hatinya jika semua hanya kebetulan. Bahkan ia baru mengecek jika nama wali Arga adalah Nikolas Adiputra Nugraha.
"Kenapa nggak gue liat dari awal kalau kakak dia Niko selama ini." Marisa memejamkan matanya. Niko tak jauh dari jangkauannya dan ia tak tahu. Entah apa yang membuat Niko pergi begitu saja tapi ia begitu ingin bertemu dengan Niko.
Ia pun langsung menggelengkan kepalanya dan melupakan perkaranya dengan Niko. Walaupun setelah mengetahui fakta Niko adalah kakak Arga bahkan ia baru berkunjung ke sana pun, ia mencoba fokus untuk mendengar yang Rendra sampaikan.
Ia bahkan baru tahu tentang kondisi muridnya yang sekronis itu. Kemarin setelah ditampar kenyataan tentang Sukma, kali ini ia kembali ditampar oleh kenyataan hidup milik Yogas. Ia merasa gagal rasanya menjadi wali kelas yang tahu apa-apa soal muridnya.
Ia bahkan juga baru tahu jika Yogas adalah anak angkat Bu Tina walaupun ia tak mau dianggap demikian.
Esok hari ia sudah meminta Rendra untuk diam-diam mempertemukannya dengan ibu Yogas. Ia juga sudah meminta tolong pada Bu Tina untuk membant menyelesaikan perkara Yogas.
Hal ini membuatnya berpikir bagaimana caranya untuk menjadi lebih dekat dengan para muridnya. Agar ia paham apa yang menimpa mereka dan paling tidak bisa membantu.
"Sa...."
Marisa menoleh dan meletakkan bolpoinnya kembali mendapati sang ibu yang berjalan menghampirinya sembari membawa secangkir minuman.
Saidah--ibu Marisa--meletakkan cangkir ke meja dan duduk di sebelah putri tunggalnya. "Sa, kapan mau mampir ke tempat Papa? Sampe udah dicariin."
Marisa terdiam sejenak lalu menghela napasnya panjang. "Ya nanti kalau Marisa udah nggak sibuk pasti bakal coba nengok ke sana."
"Beneran ya, Sa? Sesekali aja bentar aja juga nggak apa-apa."
"Iya, Ma. Mama dateng cuma mau bilang itu?"
Kini giliran Saidah yang terdiam. Tadi pagi ia menyambangi sang suami seperti biasa, dan suaminya menanyakan keadaan Marisa. Sudah lama sekali gadisnya itu tak datang berkunjung. Terhitung sudah sekitar hampir satu bulan, saat dirinya mulai dirawat. Itu adalah kali pertama dan terakhir bagi Marisa.
Hubungan Marisa dan sang ayah tiri memang tak begitu baik, maka dari itu ada rasa enggan untuk Marisa datang berkunjung ke rumah sakit.
"Di minum ya tehnya, Sa. Mama tinggal dulu." Saidah mengusap pundah putrinya sejenak lalu beranjak meninggalkan Marisa dengan pekerjaannya.
Pekerjaan sang ayah adalah hal yang membuat Marisa tak nyaman dengan orang itu. Saat kecil Marisa sudah pernah disuguhi adegan di mana ia pernah melihat sang ayah menyiksa seorang lainnya yang entah itu siapa. Pernah sekali ia mengadu pada sang ibu, dan ibunya menjawab ya begitulah pekerjaan ayahnya. Belum lagi ayahnya itu orang yang keras, sering kali mereka berselisih paham dan berujung adu argumen.
Marisa mengambil secangkir teh buatan ibunya dan meminumnya sedikit. Hidup itu memang pelik tak ada yang benar-benar baik. Berkaca dari masalahnya, Niko, juga para muridnya. Hidup suka dan duka itu memang selalu berdampingan.
***
Laki-laki itu perlahan membuka matanya. Kelopaknya mengerjap pelan, sedangkan korneanya melirik ke sekitar guna mengamati keadaan sekitar.
"Makan malem dulu, Gas?" tanya Rendra begitu melihat sudah kembali bangun.
Pada akhirnya Yogas tadi meminta untuk ke rumah Rendra daripada harus di rumah Arga karena merasa tak enak. Di sini paling tidak ia kenal dengan keluarga Rendra. Dengan diantar oleh mobil Bu Marisa ia datang ke tempat Rendra. Ia juga tak paham apa yang Rendra dan Arga bicarakan dengan Bu Marisa tadi. Wali kelasnya pun hanya mengantarnya tanpa bertanya hal yang macam-macam.
"Buat isi tenaga, Gas. Perlu gue ambilin?"
Yogas mulai beranjak dan menggeleng. "Nggak usah, gue ke kamar mandi dulu ya. Nanti gue ambil sendiri."
Rendra mengangguk. "Perlu gue bantu beridiri?"
"Nggak perlu gue bisa, kok."
Dengan langkah tertatih Yogas menuju kamar mandi kediaman Rendra yang untung saja tak jauh dari kamar Rendra.