Marisa meletakkan minuman yang baru saja diseruputnya. Niko mengajaknya ke tempat yang agak jauh dari keramaian. Sepertinya pria itu tau jika ia tak hanya akan membicarakan izin dari Yogas.
Niko sudah mendapatkan cerita Yogas dari Marisa. Ia sudah akan berencana mengunjungi Yogas besok bersama Arga.
"Kamu tau dari mana tempat ini?" Niko yang lebih dulu membuka percakapan untuk membahas topik lainnya.
"Arga."
Niko sudah menduganya. Awal adiknya tahu pun, kemarin Arga langsung mengomel karena Niko masih menutupi sesuatu padahal mereka sudah berjanji untuk tak saling menutup apapu. Dengan dalih karena merasa tak akan bertemu dengan Marisa lagi, Niko akhirnya harus menutupi fakta Marisa adalah kekasihnya dulu.
"Dia yang malah dateng dan nawarin aku buat nemuin kamu." Marisa menambahkan dengan seyum tipis yang mengembang di bibirnya.
Niko menundukkan kepalanya merasa tak enak.
"Kenapa?" tanya Marisa pada akhirnya mengungkapkan hal yang selama ini ingin ia tahu alasannya. "Apa hal yang buat kamu berpikir pergi dari aku? Bahkan aku tanya ke Mas Surya dan Mbak Risa, juga temen-temen kamu yang lain mereka seolah bungkam. Selama ini ternyata kamu dekat sama aku. Kenapa kamu masih nggak mau temuin aku, Nik? Nggak mungkin kamu baru tau kalau aku ngajar di Cendrawasih selama jadi wali muridnya Arga."
Niko terdiam dan meremat tangannya begitu mendpat cecaran dari Marisa. "Maafin aku, Sa."
"Laki-laki yang kamu liat kemarin cuma kakak sepupu aku."
Niko langsung menolehkan kepalanya ke arah Marisa yang dijawab anggukan oleh wanita itu seolah paham apa yang dipikirkan Niko.
"Iya, Arga sedikit cerita kenapa kamu nggak mau ketemu aku."
Niko kembali membuang mukanya. "Aku takut kamu nggak bisa nerima kamu lagi, Sa. Aku juga terlalu malu buat ketemu keluarga kamu setelah sekian lama."
"Enggak, Nik."
Panggilan itu begitu Niko rindukan. Hanya Marisa yang memanggilnya dengan panggilan itu.
"Nik, Mama masih nanyain kamu. Apa kamu hidup dengan baik, gimana keadaan dan kabar kamu." Marisa terdiam sejenak. "Nyatanya kamu memang bisa hidup dengan baik. Aku seneng kamu punya usaha sendiri sekarang. Kamu mampu sekolahin Arga sendiri. Tapi, kenapa kamu pergi?"
"Aku kalut, Sa." Niko akhirnya menyuarakan hal yang paling ingin diketahui Marisa. "Aku merasa nggak layak lagi buat kamu. Hari itu Papa sama Mamaku dibunuh sama orang yang mengaku ditipu atas investasi yang ditawarin Papa, dan bikin istri dan calon anak dia meninggal. Berita itu muncul di seluruh tivi. Tapi, keadaan ekonomi keluargaku sendiri juga nggak baik. Papa kelilit utang bikin semua aset kita disita. Aku nggak punya apa-apa lagi selain badan yang ku punya juga Arga. Aku mutusin pergi tanpa kasih tau kamu karena aku nggak ngerasa cukup layak lagi buat kamu, Sa. Ditambah aku kalut ngurus kasus itu. Aku juga terlalu sibuk ngurus Arga yang psikisnya terguncang saat itu karena ngeliat secara langsung gimana Papa sama Mama dibunuh. Aku juga harus cari kerja buat penuhin kebutuhan. Aku udah nggak bisa mikir apa-apa lagi selain harus berjuang untuk Arga. Aku bersyukur Mas Surya dan Mbak Risa masih bantuin aku. Kamu jangan salahkan mereka, karena aku yang minta. Aku udah merasa nggak layak buat sama kamu lagi, Sa."
Marisa yang sudah tak tahan untuk memeluk Niko pun akhirnya merengkuh tubuh itu dari samping. Ia mengusap bahu Niko dan menepuk-nepuknya pelan berusaha memberi afeksi pada tubuh besar itu. Andaikan ia lebih cepat menemukan Niko, ia akan siap menjadi tempat bersandar pria itu. Marisa tampaknya salah jika menganggap Niko hidup dengan baik, pria itu pasti sudah melalui banyak kesulitan. Ia cukup menyesali tak ada di samping Niko di saat seperti itu.
"Maafin aku, Sa. Maaf, aku nggak tau lagi harus gimana saat itu. Aku cuma bisa prioritasin Arga."
Marisa mengusap bahu Niko lebih intens. "Jangan minta maaf lagi. Sekarang yang penting udah tau kenapa."
Niko merasa menyesali segala keputusannya dulu. Bahkan saat ini Marisa tak terlihat marah sama sekali. Wanita itu malah menenangkannya. Sekarang ia sudah cukup lega tentang apa yang dipendamnya. Ia menggenggam tangan Marisa yang berada di bahunya dengan kuat seolah tak ingin lagi kehilangan wanita itu.
"Aku merasa sangat buruk untuk murid-muridku. Aku baru tau Arga adik kamu. Aku nyesel hari itu aku ada di luar kota dan nggak sempet jenguk kamu dan nggak pernah tau tentang adik kamu. Artinya Arga juga melalui masa sulit. Aku nggak pernah tau apa yang terjadi sama murid-muridku sendiri."
Tangan Niko terulur mengusap kepala Marisa yang bersandar di bahu kirinya. Ia membiarkan wanita itu berganti untuk menyampaikan uneg-unegnya.
"Mereka yang terlalu pinter buat sembunyiin semuanya. Jangan terlalu merasa bersalah. Aku sendiri kadang nggak tau yang Arga rasain. Padahal dia adikku sendiri."
Mereka terdiam cukup lama masih dengan posisi yang sama. Tak peduli dengan beberapa mata yang mulai menatap, karena mereka hanya ingin melampiaskan rindu yang sudah lama dipendam.
"Sa, setelah hampir lima tahun aku nggak hubungin kamu apa kita udah putus?"
"Aku nggak pernah anggep kamu putusin aku, Nik. Aku selalu denial kamu bakal hubugin aku lagi. Walaupun akhirnya kita ketemu dengan perantara Arga."
Niko tersenyum mendengar penuturan Marisa. Tak disangkanya akan ada kesempatan ia bisa kembali pada wanita yang ia cintai sejak dulu hingga sekarang.
***