Arumi berdecak sambil melihat sertifikat Anita tentang juara esaai. "Cuma juara favorit?"
Anita hanya menunduk. Pertanyaan tanpa intonasi namun penuh ketajaman itu membuatnya beku. Anita tak berani mendongak menatap wajah ibunya. Inginnya menyembunyikan hasil pengumuman juara essai, tapi keburu sang ibu tahu saat melihat map cokelat yang ada di tangannya. Harusnya Anita sembunyikan itu sedari tadi sebelum sampai rumah, karena terlalu sibuk meratapi hasilnya, jadilah saat berpapasan dengan Arumi semua jadi terbongkar.
Harusnya juga tadi ia mengambil trophy Dila saja dan mengubah nama yang terukir di sana agar menjadi namanya. Memberikan trophy palsu, lalu mencetak sertifikat palsu untuk ia tunjukkan pada sang ibu.
Arumi melemparkan map beserta isinya itu ke samping Anita dan membiarkannya tergeletak di meja ruang tamu. "Udah mulai menurun ya prestasi kamu? Cuma essai aja kamu nggak dapet juara. Masih kurang lesnya? Kamu masuk les, 'kan? Atau mau Mama tambah lagi?"
Cecaran itu Anita terima saja. "Maaf, Ma. Tapi, aku udah berusaha yang terbaik. Katanya naskahku bagus dan sayang buat nggak dikasih juara akhirnya dapet juara favorit." Anita berusaha membela diri, berharap ibunyabakan melunak.
"Gimana kamu bisa masuk universitas terbaik, dan jadi orang terbaik kalau cuma jadi juara pilihan begini?"
"Apaan, sih. Baru jam segini udah ribut aja."
Satu kesialan Anita kembali datang. Ia tak mengharapkan orangtuanya pulang lebih cepat di saat seperti ini. Ia menghela napasnya panjang dengan samar, begitu mendengar ucapan Hanif. Seolah ayah dan ibunya sendiri tak pernah melakukan dosa berbuat ribut tak kenal tempat dan waktu.
Hanif berjalan dan mengambil map yang tergeletak di meja.
"Ini itu gara-gara kamu," ucap Hanif mengarah pada Arumi.
"Loh, kenapa jadi aku yang salah?"
"Kamu nggak fokus kasih Anita les sampai dia keteteran gini."
"Loh ya itu salah kamu, lah. Aku yang malah kasih dia les bahasa inggris, dan kamu malah jejelin les lain-lainnya yang nggak sesuai kebutuhan dia."
"Justru aku malah kasih dia les sesuai kebutuhan dia sebagai pelajar, nggak kayak kamu yang malah nambah-nambahin aja."
"Mana ada, justru yang aku kasih itu jauh lebih berguna ya buat Anita."
Hanif kemudian mengarahkan pandangan pada sang putri. "Ini kenapa kamu bisa cuma dapet segini? Apa yang buat kamu hilang fokus?"
Anita diam seribu bahasa. Bisakah ia berucap jika dia lelah menuruti semua kemauan ayah dan ibunya.
"Jangan diem aja, Ta. Bilang kalau memang ini karena Mama kamu yang berlebihan."
"Enak aja ya kamu, Mas. Ini juga karena kamu. Kok aku aja yang kamu salahin."
"Ya emang kamu yang salah."
"Cukup...." Anita berucap lirih dan untungnya mampu didengar oleh Hanif dan Arumi. "Anita yang salah. Anita yang nggak fokus makanya naskahnya nggak sebaik itu." Anak itu menunduk dan mengambil mapnya dari tangan Hanif.