"Oi! Akhirnya udah masuk. Berangkat sama siapa?"
Yogas terperanjat, ketika Rendra tiba-tiba datang dan menepuk pundaknya dari belakang. Laki-laki itu hanya tersenyum tipis menanggapi ucapan Rendra. "Naik angkot aja." Ia kemudian kembali berjalan dengan Rendra yang berada di sisinya.
"Kok nggak hubungin gue aja biar gue susulin?"
"Biar surprise."
"Sok banget lo."
Tak sengaja kepala Yogas mendongak, memerhatikan seseorang yang berdiri di atap sekolah.
"Woi, siapa tuh di atap?!" teriakan dari salah seorang siswa pun membangkitkan atensi siswa lain yang sedang berlalu-lalang.
"Anita!" tambah Yogas berteriak membuat semua orang menatap ke arah atap dan mulai berteriak satu sama lain untuk menyadarkan Anita.
Dila yang baru sampai dan bingung akan keributan yang terjadi ikut mendongak dan langsung saja menutup mulutnya melihat siapa yang berada di sana. "Anita!"
Seisi sekolah dibuat geger seketika melihat pemandangan Anita yang telah berdiri tegak di pinggiran beton atap sekolah.
Sedangkan di atas sana, Arga baru saja menuju ke atap berniat mendinginkan pikiran dan tau tahu apa-apa dibuat terkejut melihat ke arah Anita yang berdiri di pinggiran beton dengan mata terpejam dan senyuman yang terpatri di bibirnya.
"Anita!" Ia segera berlari cepat ke arah Anita yang siap menjatuhkan tubuhnya ke bawah.
Suara teriakan di bawah sana semakin menjadi, ketika tubuh Anita sudah terhuyung ke depan.
Dengan cepat Arga menarik tangan Anita dibarengi suara teriakan keras dari bawah sana.
Hampir, telat satu detik saja Arga menarik Anita dari sana mungkin tubuh gadis itu bukan lagi jatuh ke dekapannya. Melainkan ke aspal keras di bawah sana.
"Ta, Anita...." Arga menepuk-nepuk pipi Anita yang sepertinya tak sadarkan diri.
Dengan segera ia membopong tubuh Anita untuk dibawa ke UKS. Tapi, sebelum benar-benar pergi mata Arga menatap sebuah botol obat yang terlihat tak asing tergeletak tak jauh darinya.
Tak peduli dulu dengan hal itu, Arga memutuskan untuk turun lebih dulu sambil membawa tubuh Anita karena kondisi Anita sekarang jauh lebih penting.
***
Mata bulat itu perlahan terbuka dengan kelopak mengerjap pelan.
"Anita!"
Pekikkan pelan dari Dila mampu membuat indra pendengar Anita bereaksi, korneanya bergerilya mencari keberadaan orang yang memanggilnya.
Kontan tubuh Dila langsung menerjang Anita, matanya sudah sembab sedari tadi menangis. "Jangan pernah lakuin itu lagi, Ta. Lo masih punya gue." Dila berucap dengan sedikit sesenggukan.
Anita yang mendengar itu pun merasa bingung. Ia juga bingung kenapa bisa terbangun di UKS. "Lakuin apa? Kenapa gue ada di sini?"
Giliran Bu Marisa dan Dila yang menatap Anita keheranan. Di UKS yang menunggu hanya Bu Marisa sebagai wali kelasnya dan Dila yang memaksa untuk melihat keadaan Anita.
"Ta, kamu nggak sadar apa yang kamu lakuin tadi?"
"Saya lakuin apa, Bu?"
"Dari mana lo dapet obat ini?" Arga tiba-tiba saja datang ke UKS dan menodong Anita dengan sebuah pertanyaan dan tangannya yang menunjukkan sebuah obat. "Dari mana bokap lo dapet obat ini?"
Arga merasa familiar dengan obatnya karena memang ia pernah melihatnya saat berkunjung ke rumah Anita waktu lalu dan melihat ayahnya sedang menyodorkan obat yang ia pegang. Akhirnya Arga kembalk ke atas untuk mengambil obat yang ia lihat sebelumya dan ia yakini itu adalah milik Anita.
"Gue nggak tau," jawab Anita apa adanya.
Bu Marisa dan Dila yang ada di sana pun semakin dibuat bingung dengan apa yang terjadi.
Arga kemudian menunjukkan obat yang ia pegang pada Bu Marisa. "Gue tau itu amfetamin itu bukan obat biasa. Gue tau bentuknya."
Bu Marisa melihat wadah obat tanpa label itu dengan terkejut. Ia cukup paham apa itu amfetamin.
Sedangkan Arga, ia tahu obat itu karena pernah sekali saja mengkonsumsinya dan itu pun langsung dilarang keras oleh Dokter Risa karena itu bukanlah obat yang tepat untuk Arga.