Yogas yang merasa bahunya digoyangkan membuatnya tak nyaman lagi untuk melanjutkan tidur, dan memaksa kelopak matanya untuk terbuka.
"Gas, bangun. Udah waktunya balik, ayo gue tebengin."
Yogas menggeliat dari posisinya dan terbangun masih dengan mata sayu khas orang bangun tidur. Jam terakhir ini tak ada jam kosong, hanya saja sang guru izin keluar kelas lebih awal dan menyuruh muridnya untuk melanjutkan tugas saja.
Dilihatnya kelas mulai sepi, lalu ia menatap ke arah Rendra yang barusan membangunkannya. "Duluan deh, Ndra. Gue balik sendiri entar."
"Lah? Kenapa?"
"Gue mau ke tempat kerja," balas Yogas sambil membereskan barang-barangnya.
"Ya ayo gue barengin aja."
"Nggak perlu, Ndra. Ngerepotin, arahnya beda."
"Lah, kek ama siapa aja lo. Udah ayo sama gue aja."
"Udah, deh. Lo duluan aja pokoknya."
Merasa tak bisa lagi mendebat Yogas, Rendra pun menghela napasnya panjang. "Ya udah beneran nih gue duluan ya?"
Yogas hanya mengangguk selagi Rendra berjalan meninggalkan kelas.
Setelah Rendra keluar kelas, dan di kelas hanya menyisakan dirinya, Yogas kembali mengatupkan kelopak matanya. Namun kali ini ia menyandarkan kepalanya pada sandaran kursi.
Ia memikirkan kembali di mana ia harus tinggal setelah ini. Ia merasa tak enak menumpang terlalu lama di rumah Rendra. Ingin pulang, tapi ia takut karena rumahnya akan membawa banyak kenangan buruk untuknya. Ingin menyusul ibunya juga Yara ke rumah Bu Tina pun sama saja, ia masih belum bisa menerima keluarga Bu Tina dengan baik.
Pertemuannya dengan psikiater yang direkomendasikan Arga pun belum terlaksana. Ia belum berkunjung ke kliniknya karena masih sibuk dengan urusan hukum yang melibatkan dirinya dan sang ayah.
Merasa ada getaran di sakunya, Yogas mengubah posisi. Ia mengambil ponsel sederhana itu, dan melihat ada pesan masuk dari nomor tak dikenal di sana.
"Gue di depan sekolah lo, bawa ibuk sama adik kesayangan lo."
Mata Yogas langsung terbelalak dan ia langsung beranjak dari kursi lalu berlari ke luar kelas. Ia juga tak tahi siapa pengirimnya. Ia takut jika sang ayah kabur dan berhasil membawa ibu dan adiknya. Kenapa Tuhan seolah tak mengizinkannya tenang sebentar saja.
Kaki panjang itu dengan cepat berlari menyusuri koridor, ingin rasanya sekejap untuk langsung sampai ke depan gerbang.
"Yogas...!"
Ia hafal suara itu. Rendra memanggilnya, namun ia memilih abai dan tetap melanjutkan langkahnya sampai gerbang.
Kaki itu berhenti begitu melihat sosok yang selama ini tak ingin ia temui. Yasya? Diakah orangnya? Terlihat bagaimana Yasya memegang ponsel sepertinya benar jika memang anak itu yang mengiriminya pesan.
Yogas berjalan mendekat mengabaikan rasa takutnya pada Yasya. "Mana ibu sama adek gue?"
Yasya menggeleng dan terang saja itu membuat emosi Yogas meledak. Ia mencengkram kerah seragam Yasya kuat. "Apa maksud lo bajingan?!"
"Gue cuma iseng, ternyata nomor lo masih sama. Ternyata juga cara ini berhasil ngelabuhin lo."
"Bangsat lo, Yas!" umpatnya pelan namun penuh tekanan. Inginnya Yogas menonjok wajah itu, tapi ia tak mau mengotori tangannya lebih lanjut dan memlih melepas cengkramannya. "Lo kira ini lucu?!" Yogas kemudian memilih pergi, tapi lengannya lebih dulu ditahan, dan jelas saja Yogas langsung menghempas tangan itu kasar.
Beberapa murid yang masih tersisa di sana pun memerhatikan perkelahian Yogas dan Yasya dalam diam.
"Woy! Mau apa lo?!" Rendra yang sudah memilih firasat tak enak pun segera menyusul Yogas.
Yasya mendecakkan lidahnya sebal begitu melihat sosok Rendra. "Tolong ya, gue dateng ke sini dengan damai. Gue nggak mau cari ribut, gue cuma mau ajak ngobrol Yogas sebentar."
"Apa? Ngobrol apa? Apa yang perlu diobrolin orang macam lo ini?" Rendra justru jadi yang paling berapi melawan Yasya.
"Lo pergi, deh. Lo tau nyokap lo kepala sekolah di sini, kan? Lo pergi sebelum nyokap lo tau."