Friend with Benefits

it's her.
Chapter #2

Chapter One - Harry and Paris

Derup jantungnya masih normal sampai ia berdiri di depan pintu itu. Hari ini adalah hari dimana ia akan melepaskan statusnya sebagai seorang istri dari sahabatnya, Harry. Diraihnya gagang pintu itu dengan buku tangannya yang sedari tadi bergetar. Keringat dingin mulai memandikan tubuhnya yang hampir rapuh.

Sebelum berhasil menghembuskan nafasnya dengan teratur, Amy menarik nafasnya sedalam mungkin dan membuangnya perlahan. “Inilah yang terbaik,” gumamnya.

Pintu itu terbuka dan langkahnya terhenti ketika ia melihat sosok itu. Harry duduk di sana dengan wajah yang sama pucatnya – mungkin lebih pucat dari dirinya.

Kedua bola mata biru laut membangunkannya dari keraguan dan kegelisahaan sesaat, Harry tengah menatapnya dengan tenang. Senyum mengembang itu menusuk hatinya. Apakah Harry terluka dengan keputusan mereka?

Amy mengembangkan senyuman dari bibir mungilnya ke arah Harry. Harry menyambutnya dengan senyuman hangat setelahnya.

Setelah kontak mata dan permainan senyum mereka berakhir, sidang pun dimulai. Mereka duduk bersebelahan dengan jarak yang sedikit – lebih jauh satu sama lain.

Telinga mereka fokus dengan apa yang dinyatakan oleh hakim yang tengah menggarap ruangan dengan suara tegasnya. Amy menangkap tatapan kosong yang dibuat oleh Harry.

“Kau tidak menyesal, bukan?” Harry menggerogoti roti yang berada di tangannya setelah melontarkan pertanyaan itu dari mulutnya. Sidang perceraian mereka sempat menyesakkan dan Harry merasa lega sekarang. Ia tidak ingin melepas jantungnya untuk dua jam yang begitu mencekiknya.

Amy berusaha menahan emosi dalam dirinya. “Tidak, ini yang terbaik. Sepertinya kau yang menyesal telah melepaskanku.”

Harry hampir tersedak ketika wanita itu menyuarakan ungkapan angkuh itu. “Amy, kau wanita terburuk dalam persoalan rumah tangga. Setidaknya enam bulan menyadarkanku akan hal itu,” tukas Harry lantang.

Amy bangkit dari kursi panjang yang tengah ia duduki dengan Harry dan berteriak, “Harry, kau pria terbodoh dalam hidupku. Gaya bercintamu bahkan membuatku - paling menjijikkan!”

Secara normal, Harry seharusnya marah dengan hinaan yang dilontarkan wanita itu, tapi ia malah terbakar oleh air matanya. Ia tertawa hingga kehilangan kendali dengan matanya yang kini berair.

“Kau puas?” tanya pria itu sebelum mengambil gigitan terakhir dari rotinya.

Amy tersenyum tulus ke arahnya dan melempar bokongnya kembali di atas kursi itu. “Ya. Tak kusangka kita berakhir seperti ini.”

“Kita hanya berakhir di pernikahan.”

Amy mencaci dalam hati.

Benar. Hanya di pernikahan, ia masih membutuhkan Harry.

“Amy, dengarkan aku. Kau tetap sahabatku.”

Sekali lagi, Amy mencoba menenangkan pikirannya dari dugaan yang tidak ia senangi.

“Aku tahu. Tapi orangtua kita tidak akan menyukai ide ini.”

Harry mengerang frustasi dan bangkit dari tempat duduknya. “Kita hanya akan tinggal bersama,” kata Harry. “Dan kukira kau juga tidak butuh restu mereka, mengingat perasaanmu yang selalu menunjukkan bahwa kau membenci mereka.”

“Benar. Aku membenci mereka. Tapi bukan berarti kau bisa mengalihkan topik pembicaraan kita sekarang,” elak Amy. “Kita akan tinggal seatap bukan sebagai saudara, suami-istri, tapi-“

Pria itu memotong, “Kau dan aku ditakdirkan bersama.”

“Tanpa cinta. Harry, demi Tuhan. Kita tidak saling mencintai.”

“Apa tinggal bersama memerlukan cinta?”

           Baik, ini sudah lebih dari cukup. Pertikaian ini tidak akan berakhir jika salah satu dari mereka tidak ingin meletakkan pedang dalam mulut.

           “Aku hanya takut orang-orang akan membicarakan kita. Kau tahu, kita akan ke Boston-“

           Lagi-lagi pria itu memotong, “Paris, Amy. Tidak akan ada yang membicarakan kita. Sekalipun kita akan merusak ranjang sepanjang hari.”

           Harry benar-benar tahu kelemahannya. “Jangan katakan-“

           “Kau tahu apa yang aku pikirkan sekarang?” tanya Harry.

           Amy mengelak. “Tidak.”

           Harry melirik ke arahnya. “Sekarang.”

           “Kita harus bertemu orang tua kita, dungu,” bantah Amy.

           Demi Tuhan. Mereka baru saja menjalani proses perceraian. Harry bahkan tidak mengerti dan ia yakin bahwa Harry sedang meminta peperangan di ranjang di siang hari seperti ini.

           Ia akui itu. Ia menginginkan Harry untuk menerjangnya di ranjang. Tapi saat ini bukanlah waktu yang tepat.

           Meskipun pernikahan mereka hanya bertahan selama 5 tahun, wanita mana yang tidak merasa nihil dengan keadaan ini?

           Dia menjadi janda!

           Amy tak berani membayangkan ekspresi teman-teman kampus yang akan mengejeknya ketika mereka melakukan pertemuan seperti tahun-tahun sebelumnya. Dia takut jika harus dihadapkan dengan kenyataan bahwa ia masih tetap tinggal bersama sahabat sekaligus mantan suaminya itu. Teman-temannya pasti akan terbakar dengan tawa.

           Kedua orangtuanya juga pasti akan menentang keputusannya untuk pindah ke Paris.

           Amy memang tidak pernah mengindahkan kata-kata orangtuanya, tapi mungkin kali ini ia akan berubah. Berubah untuk menenangkan pendapat para kalangan publik yang mengenalnya, termasuk kedua orangtuanya.

           “Harry.”

           “Ya? Kau setuju? Bagaimana dengan VIP?”

           Tanpa menghiraukan usulan Harry, Amy mengelak secara alami. “Aku akan menyusul. Kau bisa pergi duluan.”

           Kening pria itu berkerut heran, Harry mencoba menangkap permintaan wanita itu. “Maksudmu kau ingin aku pergi sendirian?”

           Amy mengangguk.

           Harry menggeleng dengan cepat, menunjukkan ia tidak setuju dengan keputusan gila yang baru Amy buat.

           “Aku tidak mau.”

           “Kumohon, mengertilah.”

           Harry masih bersikeras. “Tidak tanpamu. Kau tahu aku tidak bisa hidup sendirian. Sudah cukup berat setelah meninggalkan kedua orangtuaku demi dirimu. Siapa yang akan memelukku ketika aku bermimpi buruk?”

           “Kau sudah 27 tahun.”

           Masih dengan nada memelas, Harry memaksa. “Siapa yang akan bercinta denganmu saat kau menginginkannya?”

           Amy mendesah pasrah. Harry selalu membawa alasan itu untuk memelas.

           Dia benar-benar bercanda atau kepolosannya di usianya yang ke-20 tahun masih tersisa?

           Harry bisa menemukan wanita manapun di Paris, yang lebih baik darinya. Meskipun bukan bersamanya, ia yakin kebutuhan seksual Harry tidak akan menjadi penghalang kali ini.

           Ia juga tak mampu menyangkal bahwa ia membutuhkan Harry, lebih dari apapun. Hanya Harry yang akan bercinta dengannya, bukan orang lain.

           Tapi bukan hal itu yang menjadi masalahnya.

           Ia sudah lama kehilangan harga dirinya, namun ia juga tidak ingin memperburuk citranya lebih jauh lagi.

           “Harry, banyak wanita-“

           Harry memotong. “Sudah kukatakan, aku hanya ingin bersamamu.”

           Jawabannya akan sama, tapi bertanya untuk yang kesekian kalinya tidak akan membuatnya masuk penjara bawah tanah.

           “Kau bilang aku tidak cukup baik di ranjang.”

           Harry mengerang frustasi. “Ini bukan masalah ranjang, bodoh!” teriaknya lantang.

           Amy masih berusaha tenang. Tampak Harry sudah tertelan oleh emosinya.

           “Demi Tuhan, Harry. Sekalipun aku membencinya, aku masih butuh restu dari kedua orangtuaku. Dan-“

           Harry kembali memotong. “Tidak. Tanpa restu mereka atau kedua orangtuaku, kita masih bisa pergi.”

           Harry memang terkenal dengan kepala batunya. Harry enggan untuk berpisah, begitu juga Amy.

           Memang terdengar klise. Tapi inilah mereka.

           Harry telah menjadi setengah bagian dari nyawanya.

Lihat selengkapnya