Friend with Benefits

it's her.
Chapter #3

Chapter Two - Paul

Ah, ia akan merindukan tempat ini. Tempat yang membawanya kedamaian. Tempat yang membuatnya bisa melupakan semua pertengkarannya dengan kedua orangtua yang tidak pernah menghargai dan menyayanginya dengan semestinya.

           Memang gila, tapi belajar membuatnya lupa segalanya. Lupa dengan janjinya untuk makan malam bersama Harry. Lupa dengan janjinya untuk berbelanja dengan Harry. Lupa dengan janjinya untuk bercinta dengan Harry. Sebagian besar janji yang ia buat dengan Harry selalu terlupakan karena termakan obsesinya untuk menyelesaikan tugas kuliah.

           Ia lulus dengan IPK tertinggi di Boston dengan jurusan Harvard Law School. Dengan gelar yang ia dapatkan, ia bisa menjadi seorang pengacara. Pengetahuannya tentang bahasa Perancis juga tidak begitu buruk.

           Karena sibuk berkelebat dengan masa lalu yang akan segera ia lepaskan dan masa depan yang akan segera ia rangkul, Amy tak sadar dengan langkahnya yang menabrak.

           Seseorang di hadapannya terjatuh dengan buku-buku tebal yang pernah ia kencani sekitar 5 bulan yang lalu. Itu pria berkacamata.

           Pria itu berusaha membenarkan letak kacamata tebal miliknya dan mengambil tumpukan buku-buku tebalnya.

           Amy langsung menekuk kedua lututnya dan memungut buku-buku tebal yang belum terjangkau pria berkacamata itu.

           “Maaf, aku tidak sengaja. Kau tidak apa-apa?” tanya Amy pada pria yang baru saja ia tabrak.

           Bukannya menjawab, pria itu malah melongo dan seperti kehilangan fokusnya untuk memungut tumpukan buku.

           “Um, maafkan aku. Aku tidak sengaja. Kau tidak apa-apa?” ulang Amy. Ia bingung dengan reaksi pria itu.

           “Ah- merci,” ucap pria itu.

           Merci? Bukankah itu bahasa Perancis?

           Amy mencoba untuk menjawab. “Excusez-moi. Aku tidak sengaja menabrakmu,” Sepertinya pria ini tidak bisa berbicara bahasa Inggris, tapi apa boleh buat. Ini pertama kalinya ia bertemu dengan orang Perancis. “Are you okay?”

           Masih nampak bingung, tapi akhirnya pria berkacamata itu mulai bersuara kembali. “I’m okay. Tidak apa-apa, aku juga tidak memperhatikan langkahku.”

           Dia menguasai bahasa Inggris!

           Mungkin pria itu bingung karena ia terlalu cepat berucap dan perlu waktu untuk mencerna perkataannya. “Pardon, kau orang baru di sini?” tanya Amy dengan hati-hati.

           “Oui?” pria itu balik bertanya.

           “Apakah kau orang baru di sini?” tanyanya ulang.

           “Ah- oui! Aku baru pindah dari Paris. Mereka bilang Harvard adalah yang terbaik.”

           Ah. Pria polos dengan kacamatanya ini ternyata benar-benar orang Perancis. Paris? Dia menetap di Paris sebelumnya!

           “Besok aku akan pergi ke Paris dan kupikir pertemuan ini benar-benar dianugerahi untukku. Je vous donne un coup de main?” tawarnya ramah pada pria itu.

           “C’est sympa, merci.”

           Amy membawa pria itu keliling kampus. Karena baru pertama kali, bisa saja pria ini tersesat-mengingat Harvard begitu luas.

           Pria ini nampak culun. Tapi kacamata itu belum mampu menutup kedua mata indah pria bertubuh atletis ini. Matanya yang besar dan hijau terang itu menunjukkan dirinya asli penduduk Perancis. Kemeja kotak-kotak berwarna biru itu juga gagal menutupi bagian terseksi milik pria berkacamata ini.

           Amy bisa membayangkan 6 balok seksi di perut pria itu. Dan kedua otot lengannya yang mampu merusak ranjang kayu kuno di kamar tidurnya.

           Apa bercinta dengan pria Perancis akan lebih menyenangkan? Atau lebih menggairahkan dari yang ia dapatkan dari Harry, sahabatnya?

           Amy menggigit bibir bawahnya dengan geram ketika fantasi percintaannya berkembang dari dasar kebutuhan seksualnya. Dewi amor dalam dirinya memamerkan ekor palsu dan menusukkan ekor itu ke pusat kebutuhannya tanpa permisi.

           “Jadi John Harvard adalah penyumbang terbesar di universitas ini?” tanya pria itu sambil melirik ke arah kelas-kelas yang mereka lewati.

           Oh, bahkan suaranya! Berat dan benar-benar tampan. Akankah suara tampan itu keluar dari bibir tebal milik pria itu ketika mereka berkuda di ranjang? Atau di sofa berukuran besar?

           Jika mereka sedang di dalam ruang kelas yang sepi, ia rela menggoda dan membiarkan pria seksi berkacamata ini untuk menyetubuhinya selama berjam-jam, meneriakkan namanya dengan keras dan tersiksa dengan klimaks berulang kali.

           Lupakan. Sekarang ia harus menjelma sebagai penunjuk jalan. Ia harus menerima keadaan yang mengharuskan fantasinya ditelan oleh kewajiban yang terduga.

           Dan ia sudah berjanji pada dirinya sendiri.

           Tidak ada pria lain, hanya Harry.

           “Ya, begitulah. Itu yang dikatakan mereka. Aku juga tidak tahu terlalu jauh tentang hal itu.” Amy menjawab sambil tersenyum aneh, berusaha bersikap normal.

           Pria itu nampak takjub. “Tak heran patung John Harvard dipajang di sana.”

           “Kau tidak akan menyesal di sini. Harvard memiliki perpustakaan dengan sembilan lantai. Dari yang kulihat, sepertinya kau suka dengan kumpulan buku tebal. Kau bisa menemukan buku yang lebih tebal di sana,” usul Amy.

           “Really? Aku akan melihatnya nanti.”

           Jam tangan wanita itu sudah memamerkan jarum di angka 3, ia harus siap-siap. Bersiap dengan Beauty Sleep dan terbang ke Paris dengan anggun besok.

           “Pardon, aku harus segera kembali.”

           Raut wajah pria itu berubah. Dari tatapan takjub menjadi tatapan kecewa.

           Apa dia kecewa karena aku harus meninggalkannya sekarang? tebak Amy dalam hati.

           “Baiklah. Waktu memang tidak mengerti,” ungkap pria itu yang kini nampak putus asa.

           “Hei! Semangat! Kau bisa menjelajahinya lebih jauh nanti.”

           Amy tidak ingin tersiksa lebih dalam lagi dengan fantasi liarnya, yang ia tahu tidak akan terwujud. Dan tidak pantas untuk diwujudkan.

           Ia hanya bisa memiliki Harry, itu yang ia tahu.

           Ia berbalik dan mulai melangkah setelah mencetak senyum ramah di bibirnya. Baru sekali ia melangkah, tangan kekar pria itu menghentikannya.

           Alhasil-Amy diam membeku.

           “Sebelumnya, boleh aku tahu namamu?”      

           Ah, benar! Nama, dia belum memberikan namanya.

           “Je suis Amy Anderson.”

           “Je suis Paul Bernadette Canet, Belle.”

           Amy tersenyum dengan panggilan yang diberikan Paul setelah mengungkapkan nama pria itu.

           “Senang bertemu denganmu, Paul.”

           “Aku juga, Amy.”

Paul. Ia akan mengingat nama itu saat bercinta dengan Harry nanti.

 

***

 

Call my name, baby.” Amy tersentak dengan gerakan-gerakan kecil yang dilakukan pria kekar di atas tubuhnya. Hujaman demi hujaman menelan akal sehatnya.

Amy mengerang di bawah tubuh pria itu dan menyebut namanya berulang kali ketika pria itu menyentuh puncak dadanya dengan agresif dan menemukan titik kelemahannya di dalam sana.

“Oh,…..”

Ia sangat yakin bahwa ia meneriakkan nama itu, tapi masih terdengar samar. Mungkin karena dirinya tengah menjadi camilan pria di atas tubuhnya itu, ia kehilangan fokus akan segalanya.

Gerakan pria itu semakin cepat, berpacu dengan detak jantungnya yang tidak ingin tenang sedetikpun. Ia hampir mencapai puncak dan tersiksa dengan semburan yang akan segera meledak di bawah pusarnya, sedangkan pria itu masih fokus mempermainkan dirinya dengan gerakan-gerakan kuat yang membuatnya semakin menggila.

Tidak. Ia tidak bisa menahannya lebih lama. Amy melepaskan semua siksaannya di bawah sana dan menghembuskan napasnya yang masih tersisa. Disusul dengan pria itu, Amy bisa merasakan kehangatan di bawah sana.

Oh, tidak! Dia mengeluarkannya di dalam! Apa ia akan hamil?

Pria itu mengangkat wajahnya setelah sempat ambruk di atas tubuhnya yang sudah dibasahi oleh keringat akibat percintaan mereka.

Wajahnya masih terlihat samar. Mungkin efek dari percintaan tiba-tiba itu.

Amy menembus matanya yang bening karena terbawa emosi percintaannya dan bertekad untuk menangkap wajah pria itu ke dalam matanya.

Setengah terkejut, Amy mengeluarkan suaranya yang masih murni-terdengar seperti desahan.

Itu Paul.

 

***

 

Pagi terburuk dalam hidupnya. Mimpi erotis dengan Paul di dalamnya membuat selangkangannya banjir dengan cairan-cairan yang biasanya akan diteguk habis oleh Harry.

Harry berada di Paris sekarang, bodoh.

Ia mencoba mengingat kepergiaan Harry dan menyesal dengan keputusannya untuk tetap tinggal di Boston selama satu tahun.

Kebutuhan seksualnya tidak terpenuhi pagi ini dan membuatnya berpikir tentang pria asing itu, Paul.

Beraninya Paul menerobos ke dalam mimpi erotisnya dan membuatnya tersiksa akan kebutuhan yang tidak bisa dipuaskan ini?

Andai saja Harry berada di kamar ini sekarang, ia akan menyerang bagian puncak boxer pria itu dengan selangkangannya dan bercinta habis-habisan dengan berbagai gaya bercinta pagi ini.

Lupakan, Harry berada di Paris sekarang. Dan kemungkinan dia sedang bercinta dengan wanita yang lebih berisi dari dirinya.

Tubuh Amy selalu sukses membuat para wanita di kampusnya memendam iri. Dadanya yang secara alami memiliki ukuran yang terbilang besar dan bokongnya yang berisi adalah bagian favorit Harry selama ini. Wajahnya yang masih dikelilingi dua pipi chubby malah membuatnya terkesan seperti boneka Barbie. Bulu matanya yang lentik juga menjadi bagian yang cukup disukai oleh Harry.

Tapi tidak menutup kemungkinan bahwa para wanita di Paris memiliki bentuk tubuh yang lebih baik dari dirinya. Mereka mungkin juga lebih berpengalaman dari dirinya.

Tidak. Mimpi itu hanya bunga tidur. Ia tidak akan pernah bisa ditiduri oleh Paul. Harry akan menjadi pria pemuas kebutuhannya sampai ia berhenti bernapas nanti.

Amy tidak pernah berkencan dengan siapapun, termasuk Harry. Hubungan mereka hanya sebatas sebagai sahabat dan mantan suami-istri hingga saat ini.

Harry yang paling mengerti tentang dirinya dan tidak pernah lelah dengan sikapnya yang terkadang kekanak-kanakan.

Berhubung Harry yang sekarang mungkin sudah resmi menjadi dokter jiwa, Amy yakin suatu saat nanti Harry bisa menyembuhkan luka dalam dirinya. Meskipun ia masih mendamba sentuhan pria itu, Harry akan mampu mengatasinya.

Sekarang ia hanya harus berangkat ke Paris dan menepuk bokong pria itu di ranjang. Setelah itu bercinta sepanjang hari untuk menebus kebutuhan yang tidak terpuaskan pagi ini.   

Paul merenggut, Harry membayar.

Simple like that.

 

***

 

           Dua hari telah lewat, Harry berpikir panjang tentang dirinya dan Amy. Amy benar-benar teguh dengan pendiriannya. Apakah orangtuanya hanya alasan saja?

           Setelah kepergiannya, apakah Amy sempat memikirkan dirinya yang hingga sekarang khawatir dengan wanita itu?

           Atau mungkin dirinya yang mendamba sentuhan Amy. Namun Harry tahu jelas. Amy tidak akan mampu mengendalikan kebutuhannya meskipun hanya untuk sehari.

           Konyol. Benar-benar konyol. Wanita itu sulit ditentang keinginannya. Dia memang benar-benar tidak waras. Dan Harry bersyukur untuk itu.

           Tapi bukan itu yang terpenting, ia tidak ingin Amy merasa kesepian lagi.

           Amy, wanita itu tumbuh secara tidak normal. Kebencian pada orangtuanya kian menjadi ketika Amy bertumbuh dewasa. Harry menemukan penyakit itu ketika Amy mengasuh usia ke-17 tahun.

           Amy hanyalah seorang wanita yang ingin dicintai, namun menolak untuk mencintai.

           Atau mungkin Amy sudah mencintainya ataupun kedua orangtuanya, wanita itu mungkin hanya menyangkal apa yang ia rasakan.

Lihat selengkapnya