“Apa yang Tuan Anderson katakan?” tanya Harry.
Ia khawatir dengan ekspresi yang Amy tahan sejak sejam yang lalu.
Harry tahu, mood wanita itu selalu berubah. Terlebih lagi jika ayahnya yang menghubungi.
Amy hanya menggeleng dan menolak untuk menatap matanya. Rambutnya yang ikal juga berusaha menutupi wajah wanita itu.
Apakah Tuan Anderson berulah lagi?
Sungguh tidak sopan dengan tuduhan “berulah lagi”, tapi itulah kenyataannya.
Amy Anderson tumbuh seperti itu karena kedua orangtuanya yang ceroboh.
Demi Tuhan.
Di hadapan gadis kecil berusia 5 tahun, mereka melakukannya di ruang tamu. Tahu apa gadis kecil itu? Di usia seperti itu, seharusnya Amy bermain dengan teman-temannya. Mengikuti acara sekolah dengan kedua orangtuanya di sana.
Tapi Amy mencari tahu tentang dunia seksual di usia seperti itu. Dengan IQ yang tinggi, sangat memungkinkan untuk Amy membongkar habis seluruh isi perpustakaan di rumahnya.
Ia juga menemukan beberapa novel erotis di kamar kedua orangtuanya. Amy mulai membayangkan sesuatu yang seharusnya tidak ia ciptakan di usia 5 tahun.
Harry tahu bahwa Amy menjadi mahkluk hidup yang tidak normal. Tapi kenyataan itu tidak akan meniruskan tekadnya.
Ia ingin menyembuhkan wanita 25 tahun itu, meski hatinya menjadi taruhan.
“Sayang, sebentar lagi tahun baru. Kau ingin sesuatu dariku?” Harry mencoba membujuk.
“Aku tidak mau apa-apa.”
“Benarkah?”
Amy mengangguk.
“Aku akan membelikan novel-novel erotis kesukaanmu.”
Baiklah, pria ini merasa seperti sedang membujuk seorang gadis kecil untuk menukar lolipopnya dengan benda yang lain.
Amy, meskipun sudah bernapas selama 25 tahun ini, sisi kekanak-kanakannya masih bertahan lama sampai detik ini.
“Tidak perlu,” tolaknya ketus, masih menghindari tatapan Harry.
“90-an? 70-an? Aku akan carikan semuanya. Asal kau-”
“Diam! Aku tidak ingin apa-apa! Aku benci ayah! Aku benci ibu! Aku benci semuanya! Aku benci menara Eiffel! Aku benci hidupku! Aku benci padamu!”
Jantungnya hampir melompat keluar ketika Amy meneriakkan semua isi hatinya. Isakan wanita itu juga tertangkap oleh indra pendengarannya.
Janggal.
Atau memang terlalu janggal.
Tuan Anderson pasti sudah memarahinya lagi sejam yang lalu. Melalui telepon, pria separuh baya itu tidak juga penat untuk menghantui kebahagiaan sesaat Amy.
Yang Amy butuhkan hanyalah tubuh kokohnya sekarang.
Hanya butuh selangkah untuk mendekatinya, Harry menyiapkan kedua lengannya yang kokoh untuk merangkul wanita itu.
Alhasil, Amy menangis di permukaan dadanya yang lapang.
Dalam hatinya, ia merasa Amy masih membutuhkan kedua orangtuanya, namun harga dirinya menolak untuk menyuarakan perasaannya.
Harry, kau tidak boleh meninggalkan wanita ini. Dia membutuhkanmu.
***
“Kehidupanmu hampir sama dengan novel yang kubaca.”
“Aku tidak tertarik dengan romantisme, Harry.”
“Aku hanya sekadar mengatakan. Don’t get upset, boo.”
Harry bertarung dengan kedua bola matanya yang menahan kantuk, mencoba menghibur Amy semampunya.
Amy tertawa berkali-berkali mendengar leluconnya, tapi tidak dengan keseriusannya.
“Aku belum menceritakan ini.”
Harry menunggu dengan antusias. “Apa?”
“Aku bertemu pria Perancis di Boston.”
Pria? Selama ini pria di hidupnya hanyalah Harry.
“Kau menidurinya?”
Amy mendengus. “Wanita macam apa yang meniduri pria?”
“Wanita sepertimu.”
Amy tertawa.
“Jadi benar kau menidurinya?”
Pukulan keras di lengan kanannya memancing erangan kecil dari mulut pria itu.
“Aku tidak suka penjelasan abstrak, Amy.”
Amy menatapnya lekat. “Kau penasaran?”
Harry berusaha mempertahankan harga dirinya. “Tidak.”
“Paul meniduriku di dalam mimpi.”
“Nama yang aneh.”
“Setidaknya tidak seaneh Harry Potter.”
“Aku Harry Berg, 185cm, bertubuh atletis, mempunyai ukuran yang disukai para wanita, pemain terbaik di ranjang, dan mempunyai uang yang cukup banyak untuk menghidupi wanita penafsu sepertimu. Harry Potter? Ia bermain dengan tongkat sihir konyol itu.”
Amy mengelak. “Kau tidak cukup tangguh dengan BDSM.”
“Bodoh, itu menyakitkan. Apalagi jika aku yang melakukannya. Berhenti membaca novel erotis penyiksaan itu.”
Sofa yang mereka duduki berguncang ketika wanita dewasa itu melompat.
“Sial- jangan melompat.”
“Itu salahmu,” ;bantah Amy, dengan sorot mata yang menunjukkan hasrat terpendamnya.
Harry menyukai ini. Amy yang datang kepadanya dalam keadaan yang merah. Merah karena terbakar oleh kebutuhan. Dan Harry-lah yang bersedia untuk mengisi kebutuhannya.
Namun ia berharap jika Paul tidak mengambil posisi special itu dari dirinya.
“Aku rasa ini akan menjadi petualangan yang tidak akan pernah berakhir,” ucap Amy, masih tenang di posisinya yang kembali di atas sofa.
Harry mengernyit. “Apa maksudmu?”
“Aku hanya tidak tahu. Masa depanku benar-benar suram. Aku tinggal denganmu sekarang dan melawan orangtuaku. Jadi kupikir-”
Harry memotong. “Maksudmu, aku adalah kesalahan terbesar dalam hidupmu?”
Sepertinya Amy mencoba memendam perasaannya selama ini dan Harry khawatir akan hal itu.
Tubuh Harry seakan bergerak tanpa aba-aba dan kedua lengan kokohnya dengan sponntan merangkul Amy.
“Aku berjanji. I’ll heal you,” janjinya dengan mantap.
Lagi-lagi Amy terisak di pelukannya.
“Dulu, aku mengira diriku pantas mati.”
“Jangan katakan itu, Amy.”
“Aku, seharusnya aku mati.”
Cukup.
Amy terbawa dengan emosinya, Harry tidak suka melihat keadaan ini.
“Tidak! Dengarkan aku,” bujuk Harry.
Harry melepaskan pelukannya dan menatapnya tepat dan lekat di mata wanita itu.
“Kau Amy Anderson. Sahabatku, keluargaku, mantan istriku, segalanya untukku. Aku tidak akan memaafkanmu jika kau bersikeras untuk membunuh akal sehatmu dengan pikiran seperti itu lagi.”
Nampak Amy berusaha menyerap ancaman halus dari pria itu, tapi masih tidak cukup untuk menghentikan air matanya.
“Amy, aku mencintaimu.”
Diraihnya dagu wanita itu perlahan dan-
Tidak.
Bukan seperti ini caranya.
Kening yang belum pernah tersentuh oleh bibir pria lain itu menjadi tempat pelariannya kali ini.
Mungkin Amy akan menyadarinya, setidaknya sedikit saja.
Harry mengecup kening wanita itu pelan dan bersikukuh di dalam hatinya.
Aku mencintaimu, Amy. Sangat. Dan rasanya sakit aku tidak bisa mengobati luka hatimu.
***
“Aku mencintaimu, Harry Anderson.”
Deringan telepon genggamnya menghancurkan fokusnya dalam mimpi.
Pria itu menggerutu dan mengambil alat komunikasinya dengan perasaan terpaksa.
Belum sempat ia menerima panggilan itu, pesan singkat menyusul.