7 tahun yang lalu ...
“Kita wujudin mimpi kita bareng-bareng, Bel!”
Suara David masih terngiang-ngiang dengan jelas dalam benak Abel. Suara yang membuatnya merasa begitu terharu. Ia tidak pernah menyangka, mimpinya benar-benar terjadi. Mimpi ia menjadi seorang penulis dan mengeluarkan sebuah novel. Bukunya yang pertama berjudul Friend Zone! Ya Tuhan, hari ini merupakan hari terbaik bagi Abel.
David ....
Nama itu yang membuat dirinya menjadi seperti ini. Nama yang membuat dia galau setengah mati, sedih setengah mati, dan senang setengah mati. David Lucian, nama pemuda yang membantu Abel Asterella meraih cita-citanya!
Ketika Abel masih harus dirawat di rumah sakit karena kecelakaan yang dialaminya, diam-diam David melakukan kejutan yang tak terduga untuknya. David menyusun kembali cerita-cerita di diary Abel menjadi sebuah novel.
Tidak banyak yang diubah oleh David. Dia hanya memindahkan tulisan di buku Abel ke bentuk fail di komputer. Tanpa sepengetahuan Abel, dia mengirimkannya ke beberapa penerbit. Sebuah penerbit besar menghubunginya tak lama setelah itu. Semua proses edit sampai naik cetak dan diterbitkan diurus oleh David tanpa pernah ia ceritakan kepada Abel. Sampai hari ini, Abel datang ke acara launching novel karyanya tanpa dia tahu bahwa tulisannya sudah menjadi sebuah novel.
Dav, kamu memang cowok yang ajaib!
Abel kini tengah berbaring di ranjangnya. Ia masih tersenyum mengingat momen hari ini, her first book signing. Saat acara tadi, Abel sering kali salah tingkah melihat orang-orang mengantre untuk meminta tanda tangannya.
Ahhh, thanks God for everything!
Mata Abel melirik ke arah jam, hampir pukul sembilan malam. Jari Abel mengetuk angka-angka di layar ponselnya, lalu ia ketuk lingkaran berwarna hijau.
“Halo? Dav, mau ketemuuu ....”
“Ya, Bel? Cepet banget kangen sama aku?”
“Ge-er! Aku tuh mau ngomelin kamu, tahu! Pokoknya sekarang kamu harus ke taman kompleks aku! Cepetan!”
“Siap Nyonya Asterella!”
Tut.
Abel tersenyum malu-malu sambil memeluk bonekanya erat-erat. Sebentar lagi ia akan bertemu dengan David! Ya ampun! Berarti ia harus siap-siap sekarang!
OMG! Ada iler atau cemong nggak, ya? Gila! Perlu pakai bedak nggak, sih? Liptint? Pensil alis?
Ia langsung becermin. Huft! Untung saja tak ada iler ataupun cemong. Kalau ada? Yah, nggak apa-apa sih, kan David juga belum sampai. Masih ada waktu buat ngilanginnya. Abel rasa ia nggak perlu ngapa-ngapain karena ia hanya bertemu dengan David di taman kompleks, bukan ke mal ataupun dinner cantik.
Baju yang ia kenakan juga hanya kaus dan celana basket. Tipikal Abel banget kalau sedang ada di rumah. Ia pun menyisir rambutnya yang panjang melewati bahu. Ah, rasanya ia ingin mengganti warna rambutnya menjadi cokelat atau hitam. Ia sering dikatai vampir oleh Axel, Finn, dan Steven. Mereka adalah teman dekat David yang juga dekat dengan Abel.
Tok. Tok. Tok.
“Iyaaa,” Abel segera membuka pintu. Mata Abel membelalak ketika melihat seorang pemuda sedang berdiri di depan pintu rumahnya dengan seulas senyuman yang sangat manis.
“Loh! Dav! Kok, kamu ke sini! Kan, ketemunya di taman!” protes Abel.
Apa-apaan nih si David! Eh, lumayan sih, gue bisa menghemat energi gue, hahaha!
“Emang kamu udah dapet izin dari Mama? Aku kan, tahu, kalau kamu nggak boleh pergi malem-malem sendiri walaupun jaraknya dekat. Kamu nggak mau, kan, kejadian beberapa bulan lalu terulang lagi?” ujar David panjang lebar. Maksud David baik kok, ia tak mau kalau Abel diculik oleh orang asing seperti kejadian yang lalu. Amit-amit, deh!
“Oh ... iya juga, ya. Pengertian banget, sih, cowok akuuu!” balas Abel sambil memeluk lengan David.
“Cieee, kangen ya sama aku? Miss you too, kok, beb,” David menepuk-nepuk kepala Abel dengan lembut.
“So, kita nggak jadi ke taman?” tanya Abel.
“Jadi kok, Bel. Kan, ada aku yang nemenin kamu, hehehe .... Tapi, terserah sih, kalau kamu males jalan, di ruang tamu juga boleh,” balas David sambil tersenyum. “Lagi pula, kan kamu yang mau ketemu sama aku.”
“Maunya di taman aja, Dav. Tapi, jangan takutin aku sama yang aneh-aneh, ya! Awas kamu!”
“Okay, sweetheart!”
Setelah berpamitan, David dan Abel pun berjalan bersamaan menuju taman. Taman kompleks Abel sangat dekat dengan rumahnya. Nggak sampai lima menit juga sudah sampai di sana. Mereka pun duduk di bangku yang tersedia. Abel dan David menikmati indahnya malam hari yang dihiasi oleh bintang-bintang berkelap-kelip.
“Dav, bintangnya bagus, ya ....”
“Aku ngerasa kamu random banget, Bel ....”
Abel mendecak. “Ck! Aku serius sih, Dav.”
“Iya-iya, bintangnya bagus banget, kok. Seperti mata kamu yang bersinar-sinar saat aku melihatnya,” gombal David sambil mengedipkan sebelah matanya.
“Aduh, Dav. Nggak mempan aku digombalin sama kamu,” dusta Abel. Padahal ya, hati Abel tuh sudah mirip sama kembang api yang meletup-letup.
“Bohong, kan? Udah ngaku aja, Bel!”
“Enak aja! Siapa juga yang bohong?”
“Ah, masa sih, kamu nggak suka aku gombalin gini?” kejar David sambil menjawil dagu Abel. Abel diam dan menatap David sejenak.
“Iya deh, aku ngaku. Aku seneng banget, Dav. Aku seneng kamu gombalin gini. Aku bahagia dengan semua perlakuan manismu ke aku. Kamu tuh emang cowok yang selama ini aku impikan. Kamu baik, ganteng, pengertian. Kamu lengkap, Dav!” ujar Abel sambil menatap David lekat. David terkejut dengan pernyataan Abel yang tak terduga itu. Dia hanya bisa melihat gadis yang ada di sampingnya itu, terpana.
“Abel, kamu .…”
“Cieee … David bisa salah tingkah juga cieee …,” ujar Abel tiba-tiba. David melongo. Dia baru sadar kalau skor mereka sekarang satu sama. Niatnya membuat Abel ge-er malah sekarang Abel yang membuatnya salah tingkah.
“Ah kamu, Bel! Aku kira kamu serius. Oke! Satu sama, ya! Tunggu seranganku berikutnya!”
“Hahaha … tapi kamu seneng kan, Dav? Hahaha …,” Abel tertawa panjang. Tawa yang sebenarnya menutupi rasa grogi yang menyerangnya. Ya, sebenarnya kalimat tadi jujur dari lubuk hati Abel untuk David. Tapi, Abel masih gengsi mengakui bahwa itu benar adanya.
Tiba-tiba, David merengkuh pundak Abel dan menariknya mendekat. Abel terkejut dan hanya bisa diam saat David menyandarkan pipinya pada kepala Abel. Meski mereka sudah bersahabat lama, tapi tiap perlakuan manis David yang tiba-tiba seperti ini masih selalu berhasil membuat Abel deg-degan dan salah tingkah. Badan Abel yang kaku karena kaget, perlahan mulai merasakan kenyamanan di samping David. Mereka berdua terdiam sejenak.
“Dav?” Abel memecah keheningan.
“Hmmm?”
“Aku nggak lagi mimpi, kan, ini?”
“Iya, ini bukan mimpi, Abel-ku sayang,” jawab David. Lalu secara tiba-tiba, David mencubit pipi Abel. Abel menarik kepalanya dari bahu David.
“Ih!!! Genit banget, sih! Bilangin Mama, nih!”
David menjulurkan lidahnya. “Coba aja kalau berani, hahaha ....”
“David!”
Selalu aja gini ujungnya. Gue, kan, masih pengin romantis-romantisan sama cowok gue.
“Katanya kangen, kok sekarang marah-marah?” ledek David.
Abel melipat tangannya. “Aku nggak bilang kangen kok, cuma pengin ketemu kamu aja.”
Ya, sebenernya kangen juga, sih ....
“Memangnya ada apa, Bel? Tumben ….”
“Aku mau ngomong serius nih, jangan diledekin,” pinta Abel bersungguh-sungguh.
“Iya, Abel-ku. Aku janji nggak ngeledekin,” jawab David tak kalah serius. Abel diam dan menatap David. Dia sedang berusaha mencari kata-kata yang tepat untuk mengungkapkan isi hatinya untuk David saat itu.