Satria membuka pintu depan rumahnya dengan lesu. Perasaan hampa selalu menyelimuti ketika ia masuk kedalam rumah.
Bi Inah tiba-tiba datang tergupuh, “Den, maaf bibi enggak dengar den Satria pulang…”
“Oh enggak papa bi. Emang akunya yang enggak salam. Pintunya juga enggak dikunci.” ucap Satria dengan senyum lemah.
“Mang Mamat tadi juga pulang duluan, den. Anaknya sakit katanya.” Lapor Bi Inah tentang satpam penjaga rumah mereka yang sangat besar dan mewah.
Satria mengangguk, lalu bertanya, “mama papa kemana, Bi?”
Bi Inah, sedikit menunduk, memberikan jawaban yang sudah biasa terdengar, “Belum pulang, den.”
“Oh, yaudah. Bi, aku lapar. Ada makanan?” jawab Satria enteng. Sebenarnya sudah biasa ia pulang tanpa orangtua ada di rumahnya. Namun kali ini, entah mengapa rasanya lebih sakit daripada biasanya.
“Oh, ada den, udah bibi siapkan. Mari den,” Bi Inah mempersilakan Satria menuju ruang makan.
Padahal tadi di rumah Via, Satria sudah makan malam. Ditambah dengan camilan-camilan yang menemani latihan scrabble mereka. Namun, untuk mengobati rasa sakit hatinya, kali ini ia hanya ingin menyantap lebih banyak makanan. Karena sakit hati itu, menguras energi.
Satria membersihkan badannya, lalu mengambil gitar akustik kesayangannya dan menyanyikan beberapa lagu dengan petikan gitar. Hatinya pilu. Sejak kecil, ia memang kurang kasih sayang dan perhatian orangtua. Namun ia selalu berusaha mencuri perhatian orangtuanya dengan menjadi anak yang pintar dan berprestasi, alih-alih menjadi nakal. Ia berharap, sekali saja mama dan papanya membanggakan Satria dan mulai memperhatikannya. Mama dan papanya terlalu sibuk dengan bisnis dan pekerjaan mereka yang seolah-olah akan bangkrut dalam sekejap jika tidak diperhatikan sedikit.
Satria punya seorang kakak laki-laki yang sama sibuknya seperti mama dan papanya. Pasalnya, kakak laki-lakinya itu memegang cabang bisnis di ibukota. Ia juga sudah menikah, walaupun yang Satria tahu, kakaknya tidak menikah dengan gadis yang dicintainya. Pernikahan karena bisnis, terjadi di keluarganya. Papa Satria menjodohkan kakaknya –Devano Hadinata, dengan seorang gadis yang merupakan anak dari rekan bisnis papanya. Dengan pernikahan itu, kedua perusahaan memperoleh keuntungan dan kenaikan saham yang melejit. Satria tidak cukup berani bertanya apakah kakaknya bahagia. Ia masih menjaga perasaan kakak yang dicintainya itu. Namun sampai saat ini, tepatnya 5 tahun sudah kakaknya menikah, belum juga dikaruniai seorang anak.
Setelah menikah, Devano pindah ke ibukota. Ia jarang berkomunikasi dengan kakaknya karena beliau sangat sibuk. Tinggallah ia seorang diri di rumah yang sangat besar ini. Gitar akustik klasik adalah sahabat setianya di rumah ini. Satria memilih untuk tidak memberitahu teman-temannya bahwa ia berasal dari keluarga yang kaya raya, ia bahkan sudah dibelikan mobil pribadi oleh orangtuanya namun ia biarkan begitu saja dan memilih transportasi umum. Ia ingin menjadi sukses dan kaya karena usahanya, bukan karena numpang orangtuanya.
Ia mengecek ponselnya dan melihat jam sudah pukul 11 malam. Ia teringat Via. Dikala sepi dan hampa seperti ini, biasanya sahabatnya itulah yang menghiburnya. Entah mengapa ia ingin sekali meneleponnya dan mendengar omong kosongnya yang sangat membuat telinga sakit, namun membuat hati Satria membaik.
“Halo? Vi. Lo udah tidur?” Tanya Satria pada orang di sebrang telepon.
“Ya kalo gue udah tidur pasti ngga gue angkat, bolot!”
Satria terkekeh, “Yaudah, lagi apa lo?”
“Dih apaan sih nanya-nanya. Kayak lagi PDKT aja, hahaha. Lagi ngerjain Kimia, nih.”