Setetes air jatuh di dahi Tata, namun gadis itu tetap bergeming. Pandangannya tertuju pada satu titik yang sama, pada tulisan di kayu, yang saat ini tampak tersamarkan oleh kabut di matanya. Kabut yang lama-kelamaan makin memburam, terbasahi air mata yang jatuh semakin banyak.
“Belajar yang rajin ya, Ta. Biar bisa jadi dokter. Nyembuhin orang- orang yang sakit kayak Papa ini.”
Kalimat itu terus bergema di telinganya, bahkan saat kini tak ada lagi suara keramaian orang-orang di pemakaman umum tempat peristirahatan terakhir papanya itu. Semua orang sudah pulang setelah selesai mengantarkan ayahnya ke rumah terakhir. Mamanya Tata, berkali-kali pingsan karena terlalu syok dengan kepergian suami tercinta. Beliau dibawa pulang sebelum upacara pemakaman selesai.
Sepanjang hari, Tata mencoba menguatkan diri, tidak ingin menangis. Berusaha tegar agar papanya yang sudah tidak lagi sakit, tidak bersedih karena duka mendalam di hati Tata. Tapi, sekuat Prolog apapun Tata berusaha, dia tetap kalah. Air mata yang susah payah ditahannya, tertumpah tanpa bisa dibendung.
“Ta.... turun hujan. Kita cari tempat berteduh dulu, ya? Aku temenin....”