19 Sebelum bel sekolah berbunyi, seorang cowok sengaja memperlambat langkahnya saat melewati kelas XII MIA1 2. Cowok berperawakan tinggi dan bermata agak sipit itu membuka pintu, celingak-celinguk mencari seseorang. Dia sudah hafal di mana tempat duduk orang yang sedang dia cari. Di bangku ketiga dari depan, barisan paling kanan. Tapi, sepertinya orang itu belum datang. Belum ada tas punggung berwarna toska yang nangkring di laci mejanya. Menyadari orang yang dia nanti belum datang, dia mengacak asal rambut undercut-nya.
“Malik, buruan oy! Abis ini pelajaran Matematika. Bisa mampus kalau telat!”
Malik mengangguk sekali pada temannya yang sudah jalan duluan di depan. “Lo duluan! Gue ada perlu dulu!” ucap Malik setengah berteriak.
Temannya pun lantas melambaikan tangan, beranjak menjauh dengan berlari kecil sambil berusaha merapikan seragam kemejanya, sementara Malik menghentikan langkah di depan pintu kelas. Dipindahkannya gitar yang tadi dia pegang pakai tangan kiri ke tangan kanan, lalu melirik jam di tangan kirinya itu. Tinggal lima menit sebelum bel masuk berbunyi, kenapa orang yang dia cari belum datang?
Malik hafal betul di mana Tata biasa duduk. Tapi hari ini bangku cewek itu kosong. Tasnya pun tak ada. Dia lalu merogoh ponselnya di saku celana. Disandarkannya gitar miliknya ke dinding saat akan mengirimi pesan buat Tata.
Nama Tata sudah muncul di layar, dia tinggal mengetik dan menuliskan apa yang ingin dia katakan. Tapi, belum ada satu huruf pun yang ditulis di sana. Jari-jari tangannya tiba-tiba kaku, berbarengan dengan dirinya yang tertegun selama beberapa detik— tampak sedang berpikir. Malik mengurungkan niat. Dia memasukkan ponselnya kembali ke dalam saku dan bersiap untuk pergi.
“Malik!”
Malik berbalik badan, menemukan Indy, sobatnya Tata, membungkukkan tubuh dan terbatuk seperti habis lari-lari.
“Hei, Ndy!”
“Lo nyari Tata, ya?” serbu Indy, feeling-nya pasti benar. Buat apa Malik pagi-pagi diam di sini kalau bukan untuk nunggu Tata?
Malik menggeleng cepat, tak mau ke-gap begitu saja sedang mencari sang mantan pacar.
“Eh, nggak. Kebetulan lewat aja,” sahut Malik santai. “Lo lari- lari gitu kenapa?”
“Gerbangnya udah mau ditutup! Makanya gue lari-lari gini!” Indy masih ngos-ngosan. Kucir rambutnya tampak tidak rapi paripurna seperti biasanya sehabis dibawa berlari.
“Terus, Tata telat?” tanya Malik cepat, refleks.
Indy langsung memicingkan mata. Radarnya bekerja dengan cepat: Nah, kan! Bener! Pasti Malik nungguin Tata, deh!
“Tuh, kan... nyariin Tata,” ledek Indy, dia menaik-turunkan kedua alisnya, meledek cowok di hadapannya. Dia ketawa melihat air muka Malik yang berubah jadi serba salah. “Lo WA aja dia. Atau telepon. Kan enak, nggak usah nyari-nyari sambil nunggu begini.”
“Gue nggak nyariin Tata, kok. Perasaan lo doang kali. Ya udah, gue cabut, ya! Bye!”
“Malikkk, Likkk! Ntar gue bilangin Tata kalau lo nyariin dia, yaaa...!”
Malik meneruskan langkah tanpa berbalik, lalu melambaikan tangan ke udara, memberi tanda agar Indy tak menyampaikan kedatangannya pagi ini pada Tata.
Di depan kelas, Indy geleng-geleng kepala. Kenapa Malik mau- mau saja diajak putus oleh Tata? Jelas-jelas cowok itu masih punya perasaan buat Tata. Kenapa tidak mencoba mengejar Tata lagi? Tata juga, kok bisa-bisanya mutusin cowok yang peduli banget sama dia?
Tak ingin ambil pusing lebih jauh, Indy langsung masuk kelas. Detik berikutnya, dia ngibrit cepat-cepat ke bangkunya, baru ingat kalau dirinya belum mengerjakan PR Bahasa Indonesia!
***
Saat bel istirahat pertama berbunyi, Tata tidak langsung beranjak keluar kelas. Dia sibuk menyalin hitungan Matematika yang masih tertera di whiteboard. Di saat yang bersamaan, Indy menepuk jidat. Baru ingat ada yang ingin dia sampaikan dari pagi tadi pada Tata. Duo pelajaran ber-genre thriller—Kimia dan Matematika—berhasil menguras isi kepala Indy sampai pusing banget dan melupakan info penting buat sahabatnya.
“Tadi Malik nyariin lo,” ucap Indy ketika kelas mulai lengang.
Hanya tersisa dia dan Tata, juga tiga orang cewek di barisan paling depan yang masih sibuk membicarakan soal-soal Matematika. Lain halnya dengan cowok-cowok di dua barisan paling belakang, mereka langsung ngibrit keluar kelas begitu guru Matematika mereka yang memang selalu on-time—baik memulai atau mengakhiri pelajaran— pergi.
Kalau Tata sedang sibuk menulis, Indy malah sibuk memperbaiki posisi bandana yang dia kenakan sambil bercermin. Dipastikannya juga bedak yang dia poles ulang hanya terpoles tipis-tipis dan tidak terlalu tebal, hingga membuat mukanya itu tidak seperti adonan bertabur gula putih.
“Ada apaan dia nyariin gue?” tanya Tata yang duduk di sebelah Indy. Dia tampak tidak terlalu antusias membahas mantan pacarnya itu.
Indy menoleh, matanya menyipit. “Lo nggak merasa terlalu kejam, Ta? Lo udah mutusin dia sepihak, dan sekarang kayak jaga jarak banget gitu sama dia. Gue aja yang cuma penonton, prihatin lho sama dia.”
“Berlebihan deh lo, biasa aja. Dia baik-baik aja, begitupun dengan gue“ kilah Tata. Tangannya masih mencatat. Dia bicara tanpa menoleh pada Indy. “Daripada gue terus deket sama dia dan bikin dia berharap, mendingan gue kayak gini, kan? Lagian gue dan dia udah paham posisi masing-masing, kok. Sekarang kami temenan aja, nggak lebih. Kami fokus sama tujuan hidup masing-masing.”