Wajah Abel sedikit terangkat, terdorong oleh pemukul kayu yang menekan dagunya. Dia membiarkan tanpa memberi perlawanan. Hanya terus menatap beberapa orang yang berdiri di depannya dengan tatapan kosong.
Sementara Heri, yang tengah memegang pemukul itu, memandang Abel sangat tajam. Memancarkan aura kebencian yang terlihat jelas di sorot matanya. Beberapa saat berlalu, Heri menarik kembali pemukulnya, menghirup udara sejenak, lalu mengembuskannya secara perlahan.
“Gue bisa aja abisin lo sekarang. Cuman sebagai mantan rekan, gue kasih lo kesempatan buat nyiapin diri lawan gue.” Heri menyunggingkan senyum.
“Udahlah, Her, gak usah kayak gini. Gue keluar dari geng elo bukan mau membelot. Gue cuman udah gak mau lagi tawuran,” jelas Abel dengan memasang wajah serius. “Kita bentar lagi lulus, lo mau gini terus?”
“Lo lupa tujuan awal kita buat nguasain seluruh Cirebon?” Deden menyahut, turut membela Heri. “Walau udah lulus sekolah, tujuan kita gak bakal ilang.”
“Mau jadi apa lo nantinya? Bukannya mikirin masa depan, malah tawuran yang diutamain. Lo nyadar, kita udah kelas tiga.”
Alis Deden menjulang tinggi, dengan sunggingan sinis tercetak di bibirnya, tak suka dengan jawaban Abel. Dia berdiri, hendak memulai keributan dengan Abel, tapi langsung ditahan Heri.
“Lo lupa Heri udah nyelametin nyawa lo? Dan sekarang lo mau ninggalin dia gitu aja?” kata Tedi, cowok berkepala plontos yang duduk di sebelah Heri.
“Iya gue paham, gue utang nyawa sama dia. Tapi bukan berarti gue harus nurutin semua keinginannya. Lagian, gue juga udah ngajak dia buat berhenti, salahnya sendiri enggak mau gue ajak.” Abel tetap kuat dengan pendiriannya.
“Dasar gak tahu terima kasih lo!”
Tangan Abel mengepal, geram. Ditatapnya Tedi dengan tajam, memancarkan raut kebencian yang terlihat jelas.
“Kalau bukan karena lo, mungkin Heri gak bakal kayak sekarang!”
Abel melangkah mendekati Tedi, hendak memukul cowok itu.
Seketika Heri kembali mengacungkan pemukulnya, mengarah ke dagu Abel. Langkah Abel terhenti, menelan ludah, menatap Heri dengan gamang. Tanpa sedikit pun melihat Abel, Heri mengayunkan pemukulnya ke arah kanan, menyuruh cowok itu pergi.
“Mending lo pergi sekarang sebelum gue berubah pikiran buat ngabisin lo detik ini juga!” ucapnya dengan napas sedikit terengah.
Abel diam sejenak, menatap tubuh Heri yang terlihat bergetar. Detik selanjutnya, Abel mulai melangkah menjauhi mereka. Hatinya sedikit sakit mengakhiri hubungan pertemanannya dengan Heri. Jika bisa, dia tidak ingin semua ini terjadi. Namun, Heri sudah tenggelam semakin dalam pada kenakalan remaja di luar batas.
Ketika berada di belokan gang, Abel bertemu dengan seorang cewek yang berdiri mematung di depannya. Cewek itu sedikit terlonjak dengan tubuh yang gemetaran begitu Abel mendekatinya.
“Lo enggak apa-apa? Wajah lo kok pucet gitu?” tanya Abel.
Cewek itu tidak menjawab, hanya menunduk dengan kaki yang terus gemetar. Sesekali dia melirik ke samping, raut wajahnya terlihat gelisah.
“Lo mau lewat sana, tapi takut sama anak-anak itu?” Abel coba menerka. “Tadi lo liat gue sama mereka?”
Namun, cewek itu masih enggan membuka mulut, hanya gerak-geriknya saja yang membuat Abel yakin dengan apa yang dikatakannya. Dia mengamati penampilan cewek itu dari ujung kaki sampai ujung kepala.
“Gak usah takut, gue bukan komplotannya. Oh, iya, rumah lo di mana? Ayo gue anterin.”
Seketika cewek itu mengangkat wajah, menatap Abel tak percaya.
“Eh, enggak usah. Udah lumayan deket kok.”