Siang yang panas di Kota Cirebon. Matahari memancarkan sinar yang terasa sangat membakar kulit, membuat setiap manusia enggan keluar rumah. Musim kemarau memang masih berlanjut, musim yang membuat dunia seakan-akan berada di Neraka jika siang hari.
Di kamar, Abel begitu gelisah. Kipas angin mini yang selama ini tersimpan rapi di lemari bufet tiba-tiba hilang entah ke mana. Seluruh pelosok kamar sudah digeledah, tapi tidak ketemu.
“Kipas sialan! Giliran mau dipake malah enggak ada,” gerutunya sambil mengibas-ibaskan kaus.
Kesal karena tak kunjung ketemu, Abel akhirnya membuka jendela kamar. Maksudnya biar ada angin yang masuk, tapi setelah matanya terkena debu kotoran yang beterbangan, Abel jadi mengurungkan niat.
Abel menyambar handuk kecil di dekatnya, membasuh wajah yang berkeringat. Tangannya bergerak mengambil ponsel yang tergeletak tidak begitu jauh. Ada pesan masuk dari Edo. Sambil menghela napas panjang, Abel membaca pesan itu.
“Bel, lo udah berangkat belum?”
“Lo masih di mana?”
“Jadi maen nggak, sih? Gue capek nih nungguin.”
“Awas aja! Pas ketemu nanti gue jitak pala lo!”
Seketika Abel termangu membaca pesan yang dikirim Edo. Sudah tiga jam berlalu. Dia benar-benar lupa janji main sama anak itu. Dia mendengkus, lalu mengirim pesan pada sahabatnya.
“Sori, Do. Gue tadi ketiduran, lo masih di sana apa udah pulang?”
Setelah beberapa saat, tak kunjung ada balasan dari Edo, padahal statusnya sedang online. Abel jadi enggak enak, Edo pasti marah karenanya. Dia coba menelepon pun enggak diangkat. Fix, Edo benar-benar ngambek!
Jelas saja Edo ngambek, siapa yang mau nunggu orang di tengah terik matahari yang menyengat seperti sekarang? Membayangkannya saja sudah kepanasan sendiri, tapi mau bagaimana lagi, Abel lupa. Dia pun berniat ke rumah Edo, coba meminta maaf.
Selepas Maghrib, setelah semua pekerjaan rumahnya selesai, Abel jadi juga pergi ke rumah Edo. Dengan cekatan dia mengambil kunci motor yang tersimpan di meja, lalu berteriak pada ibunya untuk pergi main.
“Bu, Abel main dulu. Tadi siang enggak sempet, panas. Jadi sekarang aja, ya.”
Tanpa menunggu jawaban dari sang ibu, Abel gegas membuka pintu pagar, mengeluarkan motor, lalu menuju rumah Edo. Sementara ibunya yang masih memakai mukena ngomel-ngomel karena Abel selalu keluyuran malam meski besok sekolah.
Tak berselang lama, Abel tiba di rumah Edo yang hanya berjarak beberapa meter dari rumahnya. Dia menepi, memasuki pekarangan rumah, dilihatnya Bu Lala, ibunya Edo yang berada di pintu depan, sedang bersama tetangga. Setelah turun dari motor, Abel lantas menghampiri.
“Abel? Bukannya tadi udah main sama Edo?” tanya Bu Lala heran.
“Tadi enggak jadi maen, Bu. Abel lupa janji sama Edo. Jadi Abel dateng ke sini, takut dia ngambek.” Abel cengengesan.
“Oh, pantes pas pulang tadi bibirnya manyun.” Bu Lala mengulum senyum, membuka pintu, menyuruh Abel masuk. “Ke kamarnya aja, Bel. Paling lagi tiduran.”
Benar saja, ketika Abel masuk kamar, dilihatnya Edo tengah tiduran di kasur sambil membaca komik The Pitcher. Begitu tatapannya menangkap sosok Abel, dia lantas menutup komik, mengubah posisi tidur membelakangi Abel.
“Do, lo marah, ya?” Abel berjalan ke dekat jendela dan membukanya, membiarkan angin masuk.
Tak ada jawaban, Edo memejamkan mata.
“Sori, sori. Gue tahu lo kesel nungguin lama. Mana panas lagi. Kulit lo yang terawat jadi item, kan? Tapi sumpah gue lupa! Enggak boong.”