Senin yang cerah, burung-burung dengan merdu melantunkan suara yang sangat khas terdengar di pagi hari. Sinar mentari mulai menyinari orang-orang yang beraktivitas, termasuk Abel, yang sedang menguap di atas sepeda motornya. Wajah remaja itu terlihat kuyu lantaran kurang tidur semalam. Matanya cukup berat untuk selalu terbuka.
Ibunya sudah memperingatkan berkali-kali agar tidak bergadang dan keluyuran setiap malam. Namun, untuk makhluk yang senang berkeliaran di malam hari seperti Abel, nasihat itu sangat sulit dipatuhi. Akibatnya, dia sering mengantuk saat di sekolah. Tak jarang dia suka tertidur saat pelajaran berlangsung.
Sesampainya di sekolah, Abel langsung memarkirkan motor dan berjalan menuju kelas. Sudah banyak murid yang berkumpul, nyalin PR. Abel yang juga belum mengerjakan PR, lantas mengeluarkan buku dan ikut berbaur dengan yang lain melakukan pekerjaan kotornya sebagai pelajar.
Tangan Abel bergerak dengan kecepatan yang tak terkira di atas buku tulisnya. Terlihat jelas dia sangat lihai di bidang yang satu ini.
“Bel, lo kan pinter. Ngapain nyontek segala?” protes Riri seraya membalikkan halaman yang dibuka Abel.
“Di kamus gue, enggak ada yang namanya PR. Kecerdasan gue cuman dipake buat sekolah. Enak aja di sekolah udah belajar, masa di rumah nambah lagi?” Abel berkata judes.
“Songong lo!” dengkus Ela. “Baru pinter matematika aja udah belagu.”
“Daripada elo, enggak pinter apa-apa tetep aja belagu.”
Ela mencak-mencak, menarik kerah baju Abel, lalu mencekik lehernya. Membuat cowok itu belingsatan karena pegangan tangan Ela sangat kuat. Sekuat mungkin Abel melepas cekikan Ela, lalu mengatur suaranya yang seperti menghilang.
“Ya, tapi enggak ada salahnya lo kerjain. Gue, kan, bisa nyontek sama elo.” Riri cengengesan.
Abel mencibir, “Lagian, gue cuman demen matematika. Gue enggak suka sama pelajaran purba kayak gini.”
Aneh memang seseorang yang memiliki tampilan urakan seperti Abel sangat pintar pelajaran matematika. Dia sama sekali jarang belajar, lebih banyak keluyuran daripada membuka buku. Namun, dalam pelajaran yang satu ini, entah kenapa otak Abel sangat encer.
Selesai menyalin PR, Abel baru sadar sedari tadi Edo hanya diam membisu di bangku sambil menelungkupkan kepala. Tidak ikut mencontek bareng yang lain. Tumben, biasanya dia yang paling heboh di saat seperti ini. Abel lantas menghampiri seraya memukul bangku cukup keras.
“Bangun! Bangun! Pak Bobi dateng!”
Seketika Edo terlonjak dengan mata terbuka lebar. Dia menatap Abel yang tengah cengengesan. Edo hanya tersenyum lebar, menampilkan deretan gigi putihnya dengan dua taring yang menonjol.
“Lo kenapa pagi-pagi udah error?” Abel melempar tas ke kursi, lalu memakai dasi ketika dilihatnya anak-anak kelas lain berjalan ke lapangan upacara. “Udah nyalin PR belum?”
“Gue lagi males, bolos upacara yuk. Gue nyalin di kantin deh,” sahut Edo malas.
“Enggak enak ah, udah dua minggu bolos upacara.”
Edo cuek tak mendengarkan perkataan Abel. Dia membuka tas, mengambil buku, lalu menarik tangan Abel meninggalkan kelas. Ketika melewati ruang guru, secara tak sengaja Abel melihat sosok cewek yang seperti tidak asing di matanya. Dia menghentikan langkah, mencoba melihat lebih jelas, tapi Edo kembali menariknya cukup keras.
Hampir setiap bulan, mereka selalu bolos upacara minimal dua kali. Memilih menghabiskan waktu di kantin untuk nyalin PR atau sekadar tiduran di kursi panjang, daripada harus berdiri di lapangan. Anak bandel seperti mereka selalu punya siasat jika ada guru yang mengecek situasi di kantin, mencari-cari jika ada murid yang bolos.
Jika sudah seperti itu, Abel dan Edo lantas bersembunyi di bawah etalase warung. Beruntung, Bi Minah selaku pemilik warung langganan mereka bisa diajak kompromi. Maka selamatlah mereka dari hukuman jika ketahuan.
Setelah upacara selesai, dengan lihai mereka berbaur bersama yang lain seolah-olah tidak membuat kesalahan.
Sesampainya di kelas, baru beberapa saat mereka meletakkan pantat di kursi. Bu Ani, wali kelas mereka tiba-tiba masuk. Sontak semua murid memandang kaget, perasaan jam pelajaran pertama bukan Bu Ani, tapi kenapa dia masuk?
“Tenang, enggak usah kaget gitu dong mukanya. Ibu ke sini mau kasih pengumuman penting,” ujarnya sembari menatap semua murid.
Anak-anak hanya menganggut-anggut sambil berujar serempak, “Oohh.”
“Pengumuman apa, Bu?” Edo menceletuk.
“Mulai sekarang di kelas kita akan ada murid baru. Dia siswi pindahan dari Jakarta, dia ini—“
“Laki-laki apa perempuan, Bu?” Edo memotong pembicaraan.
“Bego! Yang namanya siswi, ya, pasti cewek lah,” bisik Abel menenangkan Edo.
Bu Ani menghela napas sejenak melihat tingkah muridnya, lalu tatapannya mengarah ke luar kelas, mempersilakan sang murid baru untuk masuk. Semua anak memperhatikan penasaran. Murid baru itu pun masuk, dengan percaya diri dia melangkah dan berdiri sempurna di samping Bu Ani.
Melihat kedatangan siswi itu, mata Abel membulat sempurna. Dia terus memperhatikan murid baru itu tanpa berkedip.