Sudah hampir seminggu Vanny sekolah di SMA Angkasa. Berusaha berbaur dengan teman-teman barunya. Selama itu pula terlihat beberapa cowok mendekati, mencoba menarik perhatiannya. Namun, Vanny bukan cewek yang mudah begitu saja jatuh pada rayuan cowok. Dia memang baik, selalu menyambut hangat siapa pun yang datang padanya.
Akan tetapi, Vanny selalu menjaga jarak dari para cowok yang setiap hari mengajaknya pergi kencan. Apalagi Tedi, salah satu antek-antek Heri yang paling getol menggoda. Meski berasal dari kelas berbeda, tapi dia merasa aman karena ada Heri di belakangnya. Cowok yang disegani di SMA Angkasa.
“Van, malam minggu nanti kamu ada acara enggak?” Kembali, cowok berambut plontos itu melancarkan serangan.
Abel yang duduk di belakang Vanny mendadak geram mendengar Tedi yang sok akrabnya memanggil ‘kamu’ pada Vanny.
“Aku yakin, kamu belum tahu banget Cirebon kayak gimana. Aku ajak kamu jalan-jalan, mau?” lanjutnya lagi yang kini menyuruh Mala untuk pergi.
Mala pasrah, tak berani membantah. Bukannya takut pada Tedi. Jika satu lawan satu, dia mungkin masih bisa melawan. Masalahnya, Tedi selalu mencari perlindungan pada kawan-kawannya di geng Heri.
Dengan santai Tedi duduk di sebelah Vanny sambil bertopang dagu. Vanny memegang tas, bersiap memberi perlawanan jika Tedi berbuat macam-macam.
“Ah, kamu takut, ya, sama aku? Karena aku nahan kamu di pintu gerbang waktu itu?” Tangan Tedi bergerak hendak mengusap rambut Vanny. Sontak Vanny sedikit menjaga jarak. Tedi ketawa. “Maaf, deh. Biasa, kan kalo murid baru harus dikerjain dulu. Sekarang kamu jangan khawatir, enggak ada yang bakal berani ganggu kamu. Apalagi kalo kamu jadi pacar aku.”
Vanny mendelik, untuk kali pertama dia melemparkan tatapan kesal sejak kepindahannya. Tedi terkekeh melihat perubahan ekspresi Vanny, dia semakin tergoda untuk mendekatinya.
Edo tiba-tiba berdiri, lalu berjalan mendekati Tedi dan menarik kerah bajunya. Wajah Edo terlihat sangat kesal, tangannya mengepal bersiap melancarkan pukulan pada Tedi. Beruntung, Abel segera mencegahnya.
“Apa-apaan nih? Lo mau nyari gara-gara?” protes Tedi sambil membenarkan kerah seragamnya. “Gue enggak nyari masalah, ya. Lo yang mulai duluan!”
“Mikir goblok! Lo sekarang lagi di kelas mana? Jangan berani macem-macem lo di kelas gue!”
Tedi menyeringai, menatap Edo dengan sinis.
“Udah, jangan diterusin.” Abel menempelkan kepala di kening Edo, mencoba menenangkan, lalu menyeretnya menjauh. “Lo juga, baiknya pergi sekarang sebelum babak belur.”
Tangan Tedi mengepal, hendak memukul Abel. Namun, begitu teringat dengan perintah Heri agar tidak menyerang dulu, dia mengurungkan niat. Dia menatap Vanny, mengatur ekspresinya.
“Aku balik ke kelas dulu, ya. Kalo ada apa-apa, panggil aku aja,” ucapnya sambil mengedipkan sebelah mata, lalu pergi meninggalkan kelas.
***
Malam Senin yang cukup terang. Musim kemarau memang enggak ngeselin semuanya. Jika di siang hari banyak orang kompak mengutuk hari dengan sumpah serapahnya. Enaknya justru ketika malam hari, udaranya sejuk, langit cerah dipenuhi bintang, juga suasana nyaman dari sapuan angin yang menerpa.
Banyak pasangan remaja atau kawula muda menghabiskan malam dengan jalan-jalan atau sekadar nongkrong di pinggir jalan. Namun, keindahan malam ini tidak berlaku bagi Abel dan Edo. Di saat yang lain asyik keluyuran, dua sahabat itu malah ribut ngegosip di kamar Edo.
Bukan, bukan ngomongin pelajaran. Dua anak itu mana mau membahas PR atau hal-hal lainnya yang berkaitan dengan pelajaran sekolah. Paling yang diributin hanya cewek, cewek, dan cewek.
Cewek malang yang kini menjadi bahan gosipan mereka tiada lain adalah Vanny. Meski baru seminggu di SMA Angkasa, dia sudah menjadi idola kaum cowok menyingkirkan kandidat-kandidat lain selama ini. Selain wajahnya yang cantik, Vanny juga enggak belagu, tetap ramah dan hangat pada siapa pun.
Untungnya, meski pada cowok lain dia sedikit menjaga jarak. Namun, pada Abel dan Edo, Vanny cukup terbuka menceritakan kehidupannya. Meski hanya sesekali mengobrol saat di kelas atau kebetulan pulang bersama.
Mungkin di mata cowok seusia Abel dan Edo, Vanny adalah cewek idola sepanjang zaman. Sempurna segala-galanya. Apalagi, ayah Vanny katanya Direktur di sebuah perusahaan terkemuka dan seorang pelaku bisnis di Jakarta. Pastilah kebayang gimana kayanya, tapi Vanny tetap sederhana.
Sekarang, dua anak itu dengan semangatnya ngomongin Vanny. Edo yang paling heboh, dengan gayanya yang khas kalau lagi cerita. Tangannya diacung-acungkan mirip Bung Tomo sedang pidato. Dia mulai mengumbar bacotnya.
“Gue yakin, dia pasti ada rasa sama gue. Buktinya waktu gue ngedadahin dia, tuh cewek ngebales sambil senyum-senyum.”
Abel hanya mesem, Edo melanjutkan perkataannya.