Sore hari sepulang sekolah, Abel sibuk membantu ibunya membuat kue di dapur. Bu Risa terkenal jago bikin kue, jadinya suka dapat pesanan catering dari tetangga. Hasilnya pun terbilang lumayan, bahkan bisa buat tabungan.
Walau sudah ada pembantu, tapi tetap saja Bu Risa kerepotan, apalagi sekarang pesanan lagi banyak. Jadi mau enggak mau Abel harus turun tangan.
Kalau dicicipi, kue bikinan Bu Risa memang lain dari yang lain, beda saja rasanya. Seolah-olah lidah ikut bergoyang. Semua teman Abel sudah pernah mencoba kue atau masakan ibunya, dan mereka kompak menyebutnya masakan terlezat yang pernah mampir di lidah. Alhasil, kalau ada acara sama teman sekolah, semuanya sepakat menunjuk rumah Abel sebagai tempat makan-makan.
Tadinya, Bu Risa ada rencana buka warung demi melihat antusiasme orang-orang yang mencicipi masakannya. Namun, siapa yang mau jaga? Ngurus catering saja sudah repot, apalagi sambil buka warung. Minta Abel buat nungguin sama saja bohong, makanan di warung bisa habis dia makan sendiri.
Apalagi kalau ada Edo. Sudah kebayang bakal cepat bangkrut.
Maka untuk saat ini, Bu Risa fokus di bisnis catering saja, karena dari usahanya ini pun sudah cukup untuk menghidupi anak semata wayangnya. Apalagi di kampung halaman, Bu Risa memiliki sawah dan kebuh yang lumayan luas, membuatnya cukup tenang dalam mengurus keluarga.
Abel baru selesai nge-blender adonan, tangannya belepotan sama tepung terigu. Tiba-tiba Edo muncul. Begitu melihat beberapa kue lezat yang sudah tersaji, Edo jadi ngiler. Baru dia akan mencomot satu kue, Bu Risa buru-buru menghardik.
“Itu buat pesanan. Nanti aja Ibu bikin lagi.”
Edo cengengesan.
“Enggak apa-apa dong, Bu, cuman satu aja kok.” Edo mengacungkan telunjuk.
“Yee, anak bandel! Dibilangin jangan juga. Udah, pada keluar aja sana!” usir Bu Risa.
Edo masih protes, tapi langsung didorong Abel.
“Ayo keluar, nanti biar gue yang bikin.”
“Emang lo bisa?”
“Enggak.” Abel menggeleng.
Mereka ketawa, lalu berlalu meninggalkan dapur.
Jam sudah menunjukkan pukul setengah enam sore. Abel dan Edo sedang ngobrol di teras depan ditemani kue coklat keju buatan Bu Risa.
“Nanti lo ikut gue nganterin catering, ya, Do,” ajak Abel.
Edo mengangguk, mulutnya sibuk menghabiskan kue yang tersisa. Tak berselang lama, Bu Risa muncul dari dalam rumah sambil menenteng pesanan catering yang sudah terbungkus rapi.
“Bel, ini catering anterin udah Maghrib, ya. Alamatnya ada di dalem.”
“Siap, laksanakan!”
“Awas jangan nyasar, liat alamatnya yang teliti.” Bu Risa mengambil piring kue yang sudah bersih.
“Masa di Cirebon aja bisa nyasar sih, Bu.”
“Kamu lupa? Minggu kemaren disuruh nganter ke Tegalwangi, malah kamu bawa ke Tegalsari.”
Edo spontan tertawa terbahak-bahak, di mulutnya masih tersisa sedikit kue.
“Makanya Ibu suruh Edo buat temenin biar enggak nyasar.”
“Nyuruh Edo sih sama aja boong. Dia ke Bandung juga nyasar.”
“Seenggaknya gue nyasar di Bandung. Bukan di kota sendiri,” ejek Edo.
Seketika Abel memukul pipi Edo cukup keras saat cowok itu masih tertawa mengejeknya. Bu Risa kembali masuk ke rumah. Sepeninggal ibunya, Abel mengalihkan topik obrolan ke hal lain. Tentang apa yang ditemuinya tadi pagi saat datang ke sekolah.
Abel merogoh saku, membuka lipatan kertas yang sudah lecek, lalu diberikan pada Edo. Mata Edo menyipit, heran dengan kertas yang dikasih Abel.
“Ini kertas yang tadi? Gila lo. Saking cintanya sama Vanny sampe kertas yang dia pungut masih disimpen.” Edo menggeleng berulang-ulang.
“Sialan!” Abel melotot, kembali melancarkan pukulan ke paha Edo. “Bukan itu, ini beda lagi.”
Edo membuka kertas, membaca tulisan yang mulai sulit dibaca.