Perangai dan sikap seseorang kadang bisa berubah dalam waktu sekejap. Lewat hal-hal sepele yang tidak pernah diduga sebelumnya. Abel contohnya, semenjak kejadian pesanan catering kemarin, dia mendadak jadi semangat dalam segala hal. Dia seperti menemukan sesuatu yang baru, yang bisa membuat hari-harinya semakin berwarna.
Buktinya pagi-pagi sebelum berangkat ke sekolah, Abel sibuk dandan, padahal sebelumnya boro-boro dia memperhatikan penampilan. Rambutnya yang biasa acak-acakan, sekarang disisir rapi pakai foamade. Parfum yang biasanya sabun mandi doang, kini ditambah minyak wangi milik ibunya. Hand body juga enggak ketinggalan, tapi anehnya malah dia pakai ke muka.
Hasilnya? Lumayan jadi sedikit cakep.
Abel melirik jam dinding kamarnya, masih jam setengah enam. Mau ngapain pagi-pagi buta ke sekolah? Dia baru sadar bangun terlalu pagi saking semangatnya.
Abel membuka jendela kamar, udara sejuk di pagi hari terasa nikmat dihirup. Abel melempar pandangan jauh ke depan, tersenyum, membayangkan wajah anggun Vanny yang sebentar lagi akan dia temui di sekolah.
Setelah beberapa menit terbuai dalam lamunan, Abel bersiap berangkat sekolah. Dia menyambar tas, mengambil kunci, kembali merapikan rambut, lalu berjalan keluar kamar. Abel melihat ibunya yang sudah sibuk di dapur bersama pembantunya, lalu menghampiri.
“Bu, Abel berangkat, ya,” ucapnya lembut seraya meraih tangan ibunya dan mengecup pelan.
Saking sibuknya, Bu Risa tidak menyadari gelagat Abel yang sedari tadi meminta uang jajan padanya. Sampai akhirnya dia paham setelah Abel memijat-mijat pundaknya. Segera dia mengambil dompet, mengeluarkan selembar uang berwarna hijau, diserahkannya pada Abel.
“Sana berangkat, nanti telat.”
Abel ketawa, lalu berjalan mengambil sepatu, dan melenggang di jalanan bersama sepeda motornya.
Jam setengah tujuh pagi Abel sampai di sekolah. Dengan wajah ceria, Abel keluar dari halaman parkir sambil memutar-mutar kunci motornya. Keningnya mengerut seketika begitu melihat Riri berlari tergopoh-gopoh mendekatinya. Wajah cewek itu terlihat panik.
“Bel, sini dulu, Bel!” Riri langsung menggamit tangan Abel dan menariknya.
Abel diam, membiarkan Riri membawanya menyusuri koridor.
“Apaan, sih?” Abel protes campur heran melihat wajah Riri yang sangat panik.
Riri mengatur napasnya yang terengah-engah. “Edo, Bel, Edo ...”
“Kenapa emang Edo?” kejar Abel penasaran.
“Edo berantem. Tadi pas gue liat udah rame, kirain gue bukan Edo.”
Seketika Abel terkejut. “Sekarang Edo di mana?”
“Di lapangan basket.”
Abel langsung melesat, darahnya tiba-tiba menggelegak. Dia bisa mendadak temperamen kalau ada apa-apa yang membuat sahabatnya celaka. Sesampainya di lapangan, banyak kerumunan orang di sana. Dengan langkah pasti, Abel mencari-cari Edo, tapi enggak ketemu.
Tiba-tiba pandangan Abel bersirobok dengan Heri yang kebetulan sedang melihat ke arahnya. Di hidungnya ada bekas darah. Abel memandang Heri tajam ketika cowok itu sedang melempar-lempar bola tenis. Abel seketika emosi, dia yakin itu bola tenis milik Edo.
Tidak ada orang lain di sekolah ini yang sering membawa bola tenis, kecuali Edo. Abel sudah menduga kalau Heri dalang dibalik semua ini. Apalagi kemarin dia tidak mengindahkan permintaannya. Abel segera menghampiri Heri yang masih meringis menahan sakit.
“Lo yang berantem sama Edo?” damprat Abel tanpa basa-basi.
“Kalo iya kenapa?” Wajah Heri terlihat begitu menantang.
Abel geram seketika, diraihnya kerah baju Heri. Baru saja dia hendak melayangkan bogem mentah ke arah Heri, tiba-tiba dia teringat apa yang terjadi di masa lalu. Tentang seberapa dekatnya dia dengan orang di hadapannya. Abel mengurungkan niat, melepas cengkeramannya.
Beberapa anak yang ada di sana langsung meraih tubuh Abel dan membawa menjauh.
“Udah, Bel, jangan diterusin.” Teman-temannya mencoba menenangkan.
Dada Abel terihat naik turun tak teratur, jantungnya berdetak kencang, kelihatan banget dia sedang memancarkan emosi yang memuncak. Dengan wajah penuh amarah, Abel mengacungkan jari tengah.
“Lo liat aja, kalo ada apa-apa sama temen gue, lo bakal ngerasain akibatnya!” Abel setengah mengancam.