Friendship and Love

Aldy Purwanto
Chapter #7

7. Bentrokan

Saat istirahat tiba, Abel bergegas menuju kelas Heri seorang diri, ingin bicara empat mata dengan cowok itu. Sengaja dia tidak mengajak Edo, meminimalisir terjadinya perkelahian. Dengan mengatur mimik wajah agar tetap tenang, Abel mempercepat langkah. Menerebos setiap murid yang menghalanginya. Sesampainya di kelas, pandangan Abel lantas mencari keberadaan Heri.

Namun, Heri tidak ada di sana. Kata teman-teman sekelasnya, Heri enggak masuk kelas dari jam pertama. Abel menyimpan tangan ke pintu kelas, tatapannya mengarah pada bangku Heri yang kosong. Ke mana anak itu? Sejurus kemudian terlintas di pikiran Abel satu tempat yang biasa dijadikan markas di sekolah.

Segera Abel melangkahkan kaki pada tempat yang dimaksud, sebuah bangunan kecil serupa gudang di belakang sekolah yang tidak terpakai. Banyak tanaman liar di sana, juga beberapa balok kayu berukuran besar di sepanjang jalan.

Dugaan Abel benar, Heri memang sedang berada di sana bersama teman-temannya. Mereka tengah main kartu remi di luar gudang, Heri duduk di kursi tembok paling ujung, tidak ikut main. Kepulan asap rokok begitu pekat di tempat itu. Setiap orang dari mereka menyulut sebatang rokok, terlihat juga sebotol minuman keras tersimpan di meja yang sudah reyot. Entah bagaimana caranya mereka membawa barang-barang seperti itu ke sekolah.

“Lo kenapa enggak bilang ke gue kalo mau sikat si Edo?” tanya Tedi, kepalanya dibungkus perban akibat luka yang diterimanya setelah tawuran semalam.

“Gue cuman mancing doang, gak perlu sampe minta bantuan lo segala,” sahut Heri enteng sembari menyesap rokoknya. “Lagian kepala lo udah bocor, mau ditambah?” lanjutnya lagi seraya tertawa terbahak-bahak.

Tedi hanya menggerutu, kembali asyik main remi. Di saat yang sama, tiba-tiba Ipan berdiri dan berjalan mendekati Heri begitu melihat seseorang di kejauhan.

“Kak, kayaknya ada yang datang nyariin tuh.” Dagu Ipan bergerak, menunjuk pada seseorang yang berjalan mendekat.

Bibir Heri terangkat, menyunggingkan senyum sinis saat melihat Abel datang. Dia kembali menyesap rokok, lalu menyumpal pada tembok, membuangnya ke sembarang arah. Heri berdiri, memerintahkan teman-temannya untuk berhenti bermain.

Mereka memperhatikan tatapan Heri yang mengarah tajam ke Abel, sontak mereka bangkit, berdiri sempurna di depan Heri. Dengan langkah pasti, Abel berjalan mendekat sembari mengontrol emosi yang mulai tak tertahankan begitu melihat Heri dan komplotannya.

“Udah lama banget, ya, lo enggak ke sini. Tumben mampir.” Heri menyambut hangat.

Ekspresi Abel tidak berubah sedikit pun, terus menatap Heri dengan tajam.

“Maksud lo apa nuduh ibu gue?” damprat Abel langsung mengutarakan tujuannya. “Gue tahu lo mancing gue sama Edo, cuman jangan gini caranya!”

Heri tersenyum sinis. “Lo tahu kenapa waktu itu gue minta lo dateng ke tempat tongkrongan?”

“Lo mau ngasih gue kesempatan gabung lagi kan?”

“Cerdas.” Heri menjetikkan jari. “Terus kenapa lo enggak dateng? Kita tawuran lawan SMA Karejanan. Gue udah baik hati buka kesempatan buat lo sama Edo, biar kita bisa kayak dulu,” ucapnya sembari membuang ludah tepat ke depan kaki Abel, lalu menarik Tedi dan menunjukkan luka di kepalanya. “Lo liat! Kepala temen kita jadi korban! Mungkin lain cerita kalo ada kalian.”

Abel menyunggingkan senyum, seakan-akan tidak menaruh rasa bersalah sedikit pun.

“Gue bosen ngomong sesuatu berulang-ulang. Kan udah gue bilang, gue gak mau balik jadi pecundang yang cuman bisa keroyokan. Kalo lo mau nyerang gue, silakan. Gue udah gak peduli! Mau satu lawan satu, atau lo mau keroyokan juga gak masalah!” ucap Abel penuh intimidasi.

Seketika Heri terpancing, bibirnya terangkat tinggi dengan kedua tangan bergetar hebat. Baru dia akan bergerak, melancarkan serangan pada Abel. Tiba-tiba dari kejauhan, terlihat Edo berjalan menghampiri mereka. Wajah cowok itu begtitu tenang sambil melempar-lempar bola tenis serta membuat balon-balonan dari permen karet yang dikunyahnya.

“Udah gue duga, mana berani lo datang ke sini sendirian.” Heri berucap sinis.

Abel menoleh begitu melihat Edo sudah berdiri di sampingnya, lalu menghela napas panjang.

“Tadinya gue enggak pengen bawa-bawa elo. Lo-nya malah ke sini.”

Di saat yang sama, Edo melempar bola tenis sekuat tenaga melesat di sisi kepala Heri, memantul ke tembok dan kembali ke tangannya. Tanpa sedikit pun rasa takut, Edo memandang Heri dan kawan-kawan dengan sinis. Jantung Abel berdegup kencang seketika, dia menelan ludah demi melihat perubahan ekspresi geng Heri.

Niatnya agar tidak terjadi perkelahian runtuh seketika.

“Berengsek!”

Heri mengayunkan kaki, menerjang perut Edo, tapi gagal. Edo berhasil menangkis kaki Heri dan menahannya. Di saat yang sama, dia mengepal erat bola tenis, lalu melayangkan pukulan ke jidat Heri, membuat cowok itu mengerang kesakitan.

Bentrokan pun tak terhindarkan, pengikut Heri mulai menyerang Abel dan Edo membabi buta. Membalas perlakuan mereka terhadap Heri.

Perkelahian itu berlangsung cukup lama, karena memang tempat itu jarang sekali ada yang lewat. Membuatnya tidak ada yang mengganggu untuk memisahkan. Luka yang diterima Edo tadi pagi kembali terbuka, darah mulai mengalir di pelipisnya.

Melihat hal itu, Abel lantas menyeret Edo yang masih bernafsu melawan komplotan Heri. Membawanya menjauh meninggalkan tempat itu.

***

Dengan debaran napas yang memburu deras. Rasa sakit di sekujur tubuh yang kian terasa. Abel dan Edo duduk di sisi lapangan, di bawah pohon akasia yang rindang. Sesekali Edo mengusap pelipisnya yang semakin terasa nyeri.

“Masih sakit pelipis lo?” tanya Abel begitu mendengar Edo meringis.

“Gimana kalo gue transfer aja rasanya ke elo, Bel?” Edo menyahut ketus.

Abel ketawa, lalu menyandarkan tubuh ke batang pohon.

Lihat selengkapnya