Bel pulang sekolah berbunyi nyaring, setiap siswa pada berhamburan keluar setelah terkungkung beberapa jam di dalam kelas. Abel merapikan buku-buku, lalu cuek memasukkan ke tas Edo.
“Nitip, tas gue jebol.”
Edo hanya pasrah. Mereka berjalan keluar kelas dan berhenti sejenak di mading sekolah barangkali menemukan sesuatu yang unik. Setelah melihat-lihat sejenak, mereka kembali berjalan di koridor. Begitu mendekati pintu gerbang, mereka mendapati Vanny yang sedang berdiri mematung di sana.
“Belum pulang, Van?” tegur Abel.
Langkah Edo terhenti tepat di pintu gerbang, kepalanya memutar, mencari orang-orang yang biasanya berada di sini saat pulang. Tumben, Heri dan kawan-kawan tidak ada. Padahal sudah menjadi kebiasaan mereka memalak setiap murid yang hendak pulang.
“Gue lagi nungguin kalian.”
Abel dan Edo saling berpandangan.
“Emang mau ngapain?” tanya Abel.
“Gue mau ngundang kalian makan malem di kontrakan gue, mau kan?” tawar Vanny sambil menautkan kedua tangan.
“Kapan?” Dengan wajah polos Edo bertanya.
Seketika Abel menjitak kepala Edo. “Makan malem, ya, pasti malem bego!” Lalu Abel melirik Vanny. “Gue sih mau aja. Tapi kalo cuman lo sendirian ceweknya. Sori, gue enggak bisa.”
Senyum Vanny seketika mengembang, entah kenapa dia senang dengan perkataan Abel.
“Tenang, nanti gue ajak Bu Indah, yang punya kontrakan,” putus Vanny akhirnya.
“Emang ada acara apa, Van?” Edo kembali bertanya.
“Gak ada acara apa-apa. Gue cuman pengen kumpul-kumpul bareng kalian aja. Kalo mau dateng, gue tunggu jam tujuh, ya,” tutur Vanny. Tanpa menunggu persetujuan Abel dan Edo, dia langsung pergi.
Abel masih diam, begitu pula Edo.
“Ngapain, ya, dia ngajak kita makan-makan segala?” Kening Edo mengerut, terus memperhatikan langkah Vanny yang kian menjauh.
“Mana gue tahu.”
“Terus kita mau dateng enggak?”
Abel menoleh. “Emang lo pengen dateng?”
Edo mengangguk mantap.
“Sama, gue juga.”
Mereka tertawa, lalu meninggalkan sekolah yang mulai sepi.
Tanpa mereka sadari, ada sepasang mata yang mengawasi gerak-gerik keduanya sedari tadi. Sebuah pandangan dengan sorot mata yang tajam dan penuh kebencian. Sepasang mata yang bersumber dari sebuah wujud manusia bernama Heri Prasetya.
***
Malam hari selepas Maghrib, Abel sudah rapi dengan setelannya yang kece, siap-siap mau ke rumah Vanny. Dia memakai kaus hitam dirangkap kemeja panjang biru setengah digulung. Celana hitam juga, ditambah sepatu kets hitam kesayangannya yang secara khusus hanya dipakai di acara sakral.
Aroma parfum Abel pun wanginya cukup berkelas, entah dari mana dia mendapatkannya. Yang jelas, semakin menambah sempurnanya setelan Abel malam ini.
Padahal kalau dipikir-pikir, Abel hanya mau datang ke rumah orang yang mengajaknya makan doang. Namun, dandanan cowok itu justru seperti orang gedean yang mau pergi ke pesta ala konglomerat.
Memang cukup beralasan, karena orang yang mengundang Abel bukanlah sembarang orang. Tentu ada yang beda dan akan menjadi makan malam yang spesial baginya. Walau bisa dibilang dia adalah teman baru, tapi sebenarnya Abel memendam sebuah rasa yang spesial untuknya.
Jam dinding di kamar Abel menunjukkan pukul tujuh lebih. Abel bergegas keluar kamar, menenteng helm, mengambil kunci motor di meja, dan mengeluarkan motornya. Tidak berapa lama, Abel sudah santai mengendarai motornya menuju rumah Edo yang hanya terhalang beberapa rumah.
Ketika sampai, dia lantas membunyikan klakson.
Sang pemilik rumah pun muncul dengan gayanya yang cuek. Edo menghampiri Abel sambil mengeratkan tangan. Seketika Edo bengong begitu melihat setelan Abel yang rapi banget, lalu tertawa terbahak-bahak. Tawanya tidak terkontrol, bahkan melebihi ketawanya raksasa di wayang kulit.