Sore hari selepas Ashar, Edo pergi ke rumah Abel sambil membawa kantung keresek berisi boneka hadiah untuk Vanny. Dililihatnya Abel sedang duduk di kursi teras, Edo lantas menghampiri, duduk di sebelah Abel dan menyerahkan kereseknya.
Abel langsung membuka, mengamati boneka yang sudah dipermak rapi. Dengan huruf ‘A’ pada boneka Robin dan huruf ‘E’ di boneka Batman. Abel tersenyum puas.
“Keren Bu Lala, salut banget deh,” puji Abel seraya melihat kedua boneka itu tanpa berkedip, tapi sebentar kemudian, dia malah protes. “Tapi kenapa Batman pake inisial lo?”
“Lo tahu kan? Selain Magoroku, tokoh yang gue demen tuh Batman. Udah enggak usah protes!” kata Edo sambil memperlihatkan gambar Batman di bajunya.
Abel mendengkus, “Tapi kita lebih dikenal Abel dan Edo, bukan Edo dan Abel. Kalo disandingin Batman dan Robin, cocoknya gue yang pake Batman.”
“Elah, perihal gini aja diributin. Mau dipermak lagi malah lama, Bel. Lo nurut aja.” Edo melengos, melirik jam di pergelangan tangan. “Bel, lo sendiri aja, ya, ke rumah Vanny.” Ekspresi wajah Edo sedikit berubah. “Gue mau nenangin diri. Lo tahu kan besok hari apa? Terus, gue juga mau nganter adek gue ke dokter.”
“Emang Chika kenapa, Do?” Abel langsung tanya.
“Tadi tiba-tiba dia demam, panasnya tinggi banget.”
“Kalo gitu sama gue aja, gue anter ke dokter sekalian,” tawar Abel.
Edo lantas menolak halus. “Enggak usah. Gue ke dokternya nanti malem, nungguin Ibu pulang. Sekarang gue mau jagain Chika dulu. Lo ke rumah Vanny aja, anterin kadonya.”
Abel masih ragu.
“Udah lo berangkat aja, gak usah mikirin gue.” Edo berusaha meyakinkan.
Terpaksa Abel mengangguk. “Kalo ada apa-apa, kabarin gue, ya. Janji?”
Edo mengangguk cepat, lalu buru-buru pamit pulang.
Kemudian Abel memperhatikan barang yang akan diberikan ke Vanny, boneka Batman dan Robin yang tergeletak di meja. Secepat kilat, Abel mengambil kertas kado di ruang tengah, lalu membungkus hadiah spesialnya.
Selepas Maghrib, Abel bersiap-siap ke rumah Vanny. Tidak seperti kemarin yang memakai setelan rapi, kali ini dia cukup dengan kaus oblong dirangkap jaket dan levis sedikit robek.
Abel membawa bungkusan, lalu menggantungkannya di setang motor. Sejurus kemudian, Abel sudah tenang meluncur di jalan raya dengan kecepatan sedang.
Sementara itu di rumahnya, Vanny sedang asyik membaca novel. Dia duduk di sofa, lengkap dengan seragam kebangsaannya di malam hari. Tank top ditambah celana pendek. Vanny tidak ada feeling apa pun malam ini, sampai tiba-tiba terdengar suara derum motor tepat di depan rumahnya.
Seketika Vanny berjalan ke arah jendela, mengintip siapa yang datang. Wajahnya seketika memerah dengan jantung berdegup kencang begitu melihat Abel melepas helm, lalu mengibas-ibaskan rambut. Vanny langsung berlari ke kamar untuk mengganti pakaian.
Tak berselang lama, terdengar suara pintu diketuk. Vanny menghela napas, lalu membuka pintu. Matanya menangkap sosok Abel yang berdiri di hadapannya, dia pura-pura kaget.
“Abel? Kok enggak bilang mau ke sini.”
“Sengaja, biar ngasih kejutan buat elo.” Abel cengengesan.
Vanny lalu menyuruh Abel masuk, tapi secara halus Abel menolak.
“Di luar aja, ya, Van.” Abel tesenyum sambil menggaruk bagian belakang kepala, lalu melangkah dan duduk di kursi depan.
Vanny pamit ke belakang, meninggalkan Abel sendirian. Tak berselang lama, dia kembali dengan membawa secangkir teh hangat. Vanny lalu duduk di kursi sebelah Abel.
“Sendirian aja, Bel? Edo ke mana?” tanya Vanny heran, tak biasanya Abel lepas dari Edo.
“Tadinya dia juga mau ke sini, tapi adeknya keserang demam, jadi Edo mau nganter ke dokter. Terus besok juga—“ Seketika Abel menghentikan perkataannya.
“Besok apa, Bel?” Alis Vanny bertaut.
“Ah, enggak.”