Pagi hari di sekolah. Vanny baru melangkahkan kaki melewati pintu gerbang dan melihat Edo yang berjalan tidak jauh di depannya. Vanny mempercepat langkah, berusaha mendekati Edo, sampai akhirnya sudah tiba dan berjalan di sampingnya.
Edo yang tengah membuat balon-balonan dari permen karet kaget menyadari kedatangan Vanny yang tiba-tiba. Bola tenis yang dilemparnya pun terlepas, menggelinding bebas di tanah.
“Kehadiran lo tipis banget sih kayak hantu, gue enggak ngerasain.”
Vanny mendengkus, “Mana ada hantu yang cantik!”
Edo ketawa, lalu mengambil bola tenis dan melempar-lemparnya ke atas.
“Ngomong-ngomong, makasih kadonya, ya. Keren banget sumpah.” Vanny mengangkat jempol.
“Udahlah, biasa aja.” Edo menoleh, mengulurkan tangan yang langsung disambut Vanny. “Selamat ulang tahun, ya,” bisik Edo pelan.
Vanny tersenyum, terus melangkah dengan wajah ceria.
Seperti teringat sesuatu, Edo membuka dompet, mengambil selembar uang lima puluh ribu, lalu menyodorkan ke Vanny.
“Apaan nih?” Vanny mengerutkan kening, bingung.
“Utang gue. Sori cuman bisa bayar gocap dulu, sisanya gue usahain secepatnya.”
Vanny langsung ingat, dia lantas mendorong tangan Edo agar kembali memasukkan uangnya.
“Gue ikhlas kok, gak usah lo bayar. Uangnya lo pake aja.”
“Ih, enggak. Ini kan utang gue!” Edo masih menyodorkan uangnya supaya diterima Vanny. Namun, Vanny tetap bersikeras nolak.
“Kalo gue bilang gak usah, ya, gak usah.”
“Tapi, Van—“
“Mending cepet ke kelas aja yuk.” Vanny menggandeng tangan Edo.
Dengan perasaan sungkan, akhirnya Edo kembali memasukkan uangnya ke saku. Sementara itu, dari arah lapangan basket, Heri dan teman-temannya lagi pada kumpul. Dengan tatapan tajam, dia memandang Edo.
Edo yang tidak sengaja melihat Heri spontan menghentikan langkah, lalu menyuruh Vanny duluan ke kelas.
Kening Vanny mengerut, melihat Edo, lalu mengikuti arah tatapannya. Dengkul Vanny mendadak lemas ketika melihat gerombolan Heri kumpul di lapangan. Vanny yang mencium gelagat perkelahian mencoba menenangkan Edo.
“Do, udah ah. Gak usah ngurusin orang kayak dia lagi. Masuk kelas, yuk.”
Edo tak bereaksi, malah berjalan menghampiri Heri dan kawan-kawannya. Vanny yang mencoba menahan malah sempoyongan karena didorong Edo.
“Ngapain lo ngeliatin gue segitunya?” damprat Edo setelah keduanya saling berhadapan.
“Enggak, gue mau belasungkawa sebenernya sama lo. Cuman gak tahu harus mulai dari mana.” Heri tersenyum sinis.
“Belasungkawa apa, Kak?” tanya Ipan heran.
“Alah lo anak kelas satu diem aja!” Tedi menjitak kepala Ipan.
“Kasih tahu, Ted.”
“Tenang, Do. Meski lo bukan bagian geng lagi. Kita masih inget sekarang hari apa,” ucap Deden seraya menyimpan tangan di pundak Tedi.