Friendship and Love

Aldy Purwanto
Chapter #12

12. Perasaan

Selepas pelajaran terakhir selesai siang ini, Vanny pulang bareng Abel dan Edo. Kebetulan Abel enggak bawa motor, jadinya bisa pulang bareng bertiga. Dengan wajah ceria, mereka asyik menelusuri jalanan sambil ketawa-ketiwi.

Vanny yang kelihatan paling senang. Dia tertawa cukup kencang dan tidak terkontrol. Entah kenapa cewek anggun itu bisa menunjukkan ekspresi seperti itu. Dia tidak bisa menyembunyikan perasaannya yang selalu merasa tenang dan bahagia kalau sedang bersama Abel dan Edo.

Mereka berbelok menuju gang. Dari kejauhan, Vanny melihat ada warung yang menjual es krim, dia pun langsung membelinya tiga biji. Abel dan Edo lantas menyambut hangat.

“Duhh sering-sering aja, ya, Van.” Edo menggoda.

Vanny mencibir.

Sepanjang jalan, ketiga anak itu tidak berhenti bercanda. Apalagi ketika Vanny mengeluarkan ponsel untuk foto-foto. Suasana jadi tambah seru. Saat giliran Abel foto berdua bersama Vanny, keduanya merasa biasa saja. Tidak seperti hari-hari sebelumnya yang selalu berdebar-debar walau kulit mereka nempel doang.

Edo iseng memotret kodok yang kebetulan ada di pinggir jalan, lalu hasilnya direndengin dengan wajah Abel. Sontak Abel ngamuk dan langsung menjitak kepala Edo.

Vanny memegang perut, menahan tawa melihat kelakuan dua sahabatnya. Tiba-tiba, matanya menangkap sejumlah manusia yang bergerombol di kejauhan. Setelah samar-samar terlihat, Vanny membelalak, lalu menutup mulut, ternyata Heri dan teman-temannya.

Vanny mencari akal supaya Abel dan Edo enggak melihat, tapi terlambat. Heri cs sudah berjalan tegak menantang ke arah mereka. Edo yang pertama kali melihat.

“Kayaknya ada yang mau ngajakin kita maen, Bel.” Edo meletakkan tas, lalu mengambil bola tenis dari saku.

Vanny langsung panik, apalagi melihat Heri yang membawa pemukul kayu. Abel tersenyum sinis, menatap beberapa di antara mereka yang juga membawa pentungan.

“Beraninya cuma pake alat. Ternyata Heri yang ditakuti semua anak satu sekolah cuman sebatas ini.” Abel mengacungkan jempol ke bawah.

Wajah Heri memerah seketika, menepuk-nepuk pemukulnya, bersiap melancarkan serangan. Vanny buru-buru berdiri di tengah, di antara Abel, Edo, dan Heri.

Stop! Pokoknya kalo kalian sampe berantem, gue laporin ke kepsek!” teriak Vanny lantang.

Abel dan Edo berpandangan. Vanny lalu melirik ke Heri.

“Lo ngapain bawa-bawa pemukul segala? Kayak bukan anak sekolah aja.”

Heri tersentak kaget, tampak sekali dia enggak suka diomelin Vanny. Dengan kasar, dia meraih tangan Vanny lalu diseretnya hingga jatuh terjerembab.

Vanny memekik.

Melihat Vanny tersungkur, sontak amarah Abel dan Edo naik seketika.

“Kalo kalian udah bawa pemukul. Nih gue kasih bolanya.”

Sekuat tenaga Edo melempar bola tepat mengenai wajah Tedi, membuat cowok itu mengerang kesakitan. Secepat kilat Edo melesat, mengambil kembali bola tenisnya. Abel membantu Vanny berdiri, lalu berlari membantu Edo menghajar geng Heri.

Dalam hitungan detik, perkelahian tidak bisa dihindari.

Vanny berteriak meminta pertolongan, tapi tempat itu cukup sepi tidak ada orang yang lewat. Dia hanya menangis melihat Abel dan Edo yang terkena pentungan di beberapa bagian tubuhnya.

Stop! Kalo enggak, gue telepon polisi!” Tiba-tiba Vanny berteriak seraya mengeluarkan ponsel, wajahnya memancarkan keseriusan.

Semuanya kaget, perlahan mereka menghentikan perkelahian. Heri masih terlihat bernafsu, napasnya memburu tak karuan.

“Lagi-lagi elo yang jadi penghalang. Kalo bukan cewek, udah gue hajar lo!” Heri mengacungkan pemukulnya.

Melihat ada kesempatan, Edo melayangkan tinju menghujam pipi Heri, membuat cowok itu hilang keseimbangan. Teman-teman Heri tidak terima, akhirnya kembali menyerang Edo.

“Berhenti! Gue bilang berhenti!” Vanny kembali berteriak.

Edo melihat Abel yang sedang menenangkan Vanny, lalu beranjak mendekat. Heri pun memutar tubuh, setelah sesaat sebelumnya kembali mengancam mereka berdua.

Vanny mengusap-usap matanya, sesekali sesenggukan, masih terbawa perasaan khawatirnya akan perkelahian yang baru saja terjadi di depan matanya.

“Van, lo enggak apa-apa?” ucap Abel yang masih memegang bahu Vanny.

Vanny menghela napas sejenak, menyeka air mata yang masih tersisa, lalu menatap Abel dan Edo secara bergantian. Dengan tatapan kecut dia mulai berbicara.

“Gue gak mau kalian berantem, gue gak mau kalian kenapa-napa!” Vanny meninggikan suaranya membuat Abel dan Edo sedikit terlonjak.

Edo ikut berjongkok, secara perlahan mengusap punggung Vanny.

“Sori, Van. Kita emosi banget tadi.”

Lihat selengkapnya